[caption caption="Lombok dan Misteri Hukum Rakyat VS Rakyat (Surat Jaul Beli dan Laporan Polisi)"][/caption]Kepada siapa Saya harus mengadukan rasa kasian ini?. Saya seorang Kompasianer, tak paham hukum, apalagi Amaq Sahuni (Penjual) yang tak bisa baca tulis.Dalam surat jual belinya, Amaq Sahuni (AS) menggunakan cap Jempol, bukan tanda tangan. Tapi beliau berani menempati tanahnya yang sudah dijualnya itu sampai kasus ini masuk ke meja hijau. Siapa dibalik semua itu? Ikuti penelusurannya di “Misteri Hukum Rakyat VS Rakyat”.
(Bagian 1)
Dalam problema antara rakyat yang membeli tanah (Yasin) dengan rakyat yang menjual tanah (AS) yang terjadi di dusun Wates desa Ketangga Jeraeng Kecamatan Keruak, Lombok Timur NTB, sudah berlangsung sejak 3 (tiga) tahun silam, sekitar Mei 2013. (catatan Mei 2015, saat proses gugatan)
Waktu yang cukup panjang terutama dirasakan oleh pembeli yang kini sedang (saat itu) berikhtiar mendapatkan putusan Pengadilan terhadap tanah yang dibelinya sekitar tahun 2002. Jual beli saat itu hanya menggunakan suara dan kesepakatan, karena memang iktikad baik antara penjual dan pembeli disertai tradisi jual beli berlandaskan kejujuran dinilai sah-sah saja, bahkan menurut hukum Islam juga demikian (saat itu).
Khawatir terjadi sesuatu yang tidak dinginkan, maka pembeli membuat surat jual beli pada 8 Desember 2004 bersama keterbatasan pengetahuna hukum yang dimiliki oleh rakyat dari dusun ini, sebagai bukti di kemudian hari atas kepemilikan yang sah turun temurun berlandaskan hukum yang ditetapkan di Negara ini.
Pantauan Terakota, (Koran Mingguan tempat cerita ini dimuat pertama kali), bukti tertulis berupa surat jual beli dalam problema ini memang ada, di cap jempol (bukan tanda tangan) dua orang penjual yang merupakan saudara kandung, beserta tanda tangan kepala Dusun sebagai pemerintahan terdekat dengan dibubuhi materai tempel 6000 Rupiah.
Dalam jarak waktu sampai terjadi problema ini, pembeli bisa dikatakan tidak pernah mengelola tanah yang sudah dibeli karena keterbatasan waktu dan kesempatan yang berbenturan dengan tugasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka penggarapan atau pengelolaan tanah tersebut digarap oleh saudara terdekat (sampu/misan) bernama Jafar (alm), kadang juga oleh orang tua pembeli (dengan proses yang luput dari catatan) yang juga ikut membeli tanah tersebut kemudian langsung diberikan kepada Yasin dengan bukti atas nama sebagai pembeli dalam surat Jual Beli itu.
Sekitar tahun 2009, Yasin membutuhkan uang untuk biaya pendidikan anaknya, “karena saya dan keluarga saat itu butuh uang maka tanah itu saya gadaikan ke H. Yusuf,” cerita Yasin. Belum genap 3 (tiga) tahun sejak tanah tersebut digadai ; gelagat kurang baik hadir dari beberapa oknum yang diduga sebagai provokator atas perkara ini, maka H. Yusuf tidak tahan menggarap tanah itu dan menawarkan Yasin untuk menebusnya kembali. “Saya sering dihina dan tidak tahan mengerjakan tanah itu,” cerita H. Yusuf.
Pembeli, (Yasin) yang juga mengaku terganggu dengan perbuatan tidak menyenangkan oleh oknum (diduga) provokator (bertahun-tahun) ditambah kondisi keuangan keluarga saat itu, memilih tidak menebus gadai tanah itu, melainkan kembali menggandaikan tanah itu kepada Amaq Sahuni, penjual yang kini sebagai lawannya dalam berperkara, dengan pola (pindah gadai) dari H. Yusuf ke Amaq Sahuni.
Sekitar tahun 2013, gelagat tidak menyenangkan ditunjukkan Amaq Sahuni dan keluarganya dengan berbagai cerita miris yang didengar tetangga, dan tetangga (yang mendengarkan) menyampaikan kepada pembeli bahwa tanah tersebut tersangkut niat tidak baik dari Amaq Sahuni dan keluarga.