Dikamar itu, kini kendali ini mulai hilang. Aku dibaringkan lembut. Matanya menatap mesra. Tubuh ini gemetar. Lesu tapi bergairah. Bu Sachiko bukan lagi seorang Ibu. Wajahnya membuat nafsu ini tertantang. Sachiko tak lagi terbayang, masalah hilang. Wajah orang tuaku lenyap. Prinsip itu tak lagi berharga.
“Bu, Ibu mau ngapain?
“Syuuuut, jangan panggil Aku Ibu,” jawabnya sambil menempelkan telunjuknya di bibirku
“Ja,,ja, jaaangan bu?, sambutku menatapnya sayu.
“Panggil namaku, Tiiniii atau saayaaang,”
“Iyyaaa, bu,
“Kok Ibu?, sergahnya sambil membuka bajuku. Ternyata nama Ibunya Sachiko adalah Tini.
“Nama kamu siapa?, tanyanya sambil membuka satu-satu kancing baju seragamku. Memang, sejak berangkat dari sekolah, Tini belum tau namaku.
“Riko bu,,,Bu kasian Sachiko bu, jangan bu,” ujarku mencegahnya, sambil sesekali menepis tangannya yang kini mulai melepaskan lengan bajuku dari tangan yang lemah ini.
Kini hanya celana Abu yang masih tertempel di tubuh ini. Tini menatapku sambil tersenyum kemudian berlalu keluar kamar. Datang kembali sambil membawa segelas Air. Warnanya sama dengan air yang sudah membuatku pusing dan kehilangan akal sehat.
Benar-benar dimanjakan menit ini. Tini memberiku minum sambil meraba dadaku. Minuman itu dituangkan kemulut ini perlahan, sambil sesekali kami saling tatap mesra. Belum selesai pada tetesan terakhir tiba-tiba ada yang ingin permisi keluar dari senjataku yang sebenarnya entah mengapa pelan menegang.
“Kamu pernah mengalami hari seindah ini?”
“G’ pernah bu, jangan Bu,,,”
“Bloon sekali sih kamu jadi brondong,”
“Jangan Bu,,,
“Kalu berdua di ruang mesra seperti ini?. Tini menjejalku dengan ragam pertanyaan dahsyat.
Kadang menjawab, kadang diam sambil menunggu apa yang akan dia lakukan dan terjadi siang itu, sambil menahan mimis lumrah senjata ini yang semakin tak bisa ditahan.
“Ups bu,,mau pipis bentar, kebelet nih”
“Silahkan, sambut Tini.
Aku pun keluar sempoyongan. Berlalu dari kamar. Padahal dikamar itu lengkap dengan fasilitas MCKnya. Sambil meraba dinding mencoba mencari dimana harus mengeluarkan sesuatu yang secara tiba-tiba ingin segera muncrat.
Sudah menjauh 3 meter dari kamar itu. Tini tidak mengikuti. Sedikit menoleh tapi sudah tidak terlihat. Sempat terlintas mengapa dia tidak menemani. Apa yang sesungguhnya ingin dilakukan. Jika bermaksud tidak baik mengapa saat ini Tini tidak membuat gelora kembali. Bertingkah meransangku seperti sebelumnya. Atau mungkin membuka celanaku sampai polos. Dia Juga tau jika Aku tidak tau dimana posisi kamar kecil.
“Brak,,,” Aku terjatuh, Tolooong,,,,,” menjerit.
****
Lingkar paha ini basah, gatal dan membuatku terbangun. Hanya bayang hitam yang terlihat. Tangan ini spontan menyapu mata, mengamati seteliti mungkin dimana kini berada. Dinding dan plafon yang asing membatasi tatapanku. Sepi, hanya nyanyian burung ceria yang menemani. Tak kan pernah mengerti apa yang kualami.
Aku perlahan bangun sambil mengingat waktu dan pristiwa itu. Apakah tadi Aku bermimpi, gumamku dibenak ini. Tidak, Aku tidak bermimpi. Ini nyata. Kini Aku berada di tempat Asing. Mana Ibunya Sachiko?. Apa yang sudah Dia lakukan padaku? Mengapa aku basah seperti ini? Ini air apa kok bau pipis?. Baju seragamku mana?. Mengapa hanya celanaku saja yang kini basah.
Melonjak segera bangun, berlari kecil menuju kamarnya Tini. Mencari baju seragam, mencari Tini. Pintu itu terbuka tapi sepi. Kamar itu gelap. Mungkin karena mata ini yang belum sempurna memandang atau waktu yang sudah tak seperti siang tadi.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H