Mohon tunggu...
Muhammad Tri Sutrisno
Muhammad Tri Sutrisno Mohon Tunggu... -

Hi my name Is Muhammad Tri Sutrisno, You could call me Emtri. I am a traveller and culinary lover (Foodee). I am also love to meet others travelers and foodees from all over the world. Let's travel together!

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Renungan Diri 1: "Sampai Kapan Aku untuk Indonesia?!"

10 Mei 2016   15:45 Diperbarui: 19 Mei 2016   12:05 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya menuliskan tulisan ini saya pertama-tama ingin menyampaikan bahwa saya tidak bermaksud untuk menyindir atau menghujat siapapun. Tulisan ini hanya bermaksud untuk menjadi bahan renungan diri bagi diriku sendiri.

Tulisan ini terinspirasi dari "Negara Kesatuan Republik Indonesia".

Indonesia adalah republik-ku tercinta. Tempat dimana aku berasal. Tempat dimana aku tumbuh. Tempat dimana sumber daya alam melimpah ruah. Bahkan hingga umurku saat ini tak mampu menjelajahi satu per satu keindahan alam Republik Indonesia.

Photo courtessy: emtris

Jakarta merupakan Ibukota Indonesia. Apa yang tak bisa aku dapatkan disini, begitu banyak hal yang dimiliki kota terpadat di Indonesia ini. Temanku menyebut kota ini sebagai kota 24 hours. Kemacetannya yang menurutku begitu parah ini tetap saja tak menghalangiku untuk mengais rejeki di kota ini.

Ada yang bilang siapa kuat dia yang akan bertahan. Aku tak mau menyimpulkannya mentah-mentah. Toh hanya "katanya". Karena menurutku "katanya" tak berarti benar. "Katanya" hanyalah sebuah opini seseorang. "Kata si A" belum tentu sama dengan "Kata si B". "Kebenaran" akan aku ketahui jika aku yang mengalaminya sendiri, ketika aku yang melihatnya sendiri, ketika aku yang merasakan nya sendiri. Begitupun dengan orang lain.

Aku sebagai warga Indonesia secara sengaja atau tidak sengaja pernah melakukan kesalahan. Sangking sibuknya aku mengurus kehidupan orang lain aku sampai lupa mengurus hidupku sendiri. Bagaimana bisa aku baru menyadari ini jika tak ada yang mengingatkanku.

Ah sudahlah; "Nasi sudah menjadi bubur". Tapi bukan berarti "bubur" tak dapat dinikmati. Semua itu tergantung dari bagaimana aku memandang suatu hal. Semua itu tergantung bagaimana persepsi ku akan suatu hal. Jika aku berfikir negatif, maka hal yang akan aku kerjakan akan menjadi negatif. Jika akau berfikir positif, makan hal yang aku kerjakan akan berubah menjadi hal yang positif pula.

Aku tak perlu muluk-muluk membahas soal Koruptor, aku tak perlu muluk-muluk membahas tentang siapa yang salah, siapa yang benar, aku tak perlu muluk-muluk membahas tentang kemacetan di Jakarta karena siapa, aku tak perlu muluk-muluk membahas siapa yang layak jadi gubernur DKI Jakarta, aku tak perlu muluk-muluk membahas ekonomi Indonesia yang masih "begini.. dan begitu", aku tak perlu muluk-muluk menghitung kurs rupiah saat ini.

"Aku ini siapa? Orang yang sempurna?"

Tentu saja tidak.

Aku muak jika harus terus berdebat di media sosial seperti Facebook dan Twitter tentang politik Indonesia  yang ketika menurutku tidak sesuai dengan persepsiku, aku seenaknya berkata tentang A, B, C yang belum tentu benar.

Aku boleh berpendapat. Aku boleh berbicara. Aku boleh berkomentar. Tetapi aku terkadang lupa bahwa terkadang pendapat dan komentarku hanya akan membangun kebencian dalam diriku.

Apakah komentarku yang sok benar ini akan merubah Indonesia menjadi lebih baik? Tentu saja tidak, jika aku hanya berkomentar, tanpa berbuat.

Aku muak sekali dengan diriku yang selalu berkata "Kenapa Jakarta selalu banjir" kepada pihak pemerintah. Tapi aku sendiri masih sering membuang sampah sembarangan. Terkadang aku tak sadar jika aku telah membuang sampah sembarangan meski hanya "sebungkus permen karet".

Apakah komentarku tentang kenapa Jakarta selalu banjir akan membuat Indonesia menjadi lebih baik? "Ah lagi-lagi aku terlalu sibuk berkomentar tanpa sadar untuk berbuat dari hal terkecil.

Aku muak sekali dengan diriku yang berkomentar "Kenapa Jakarta Selalu Macet?" "Kenapa kemacetan Jakarta tidak bisa teratasi dengan baik?" Aku terlalu muluk-muluk berkomentar untuk pemerintah dalam mengatasi kemacetan seolah aku merupakan seorang ahli dibidangnya. Lah wong aku saja masih menggunakan kendaraan pribadi setiap hari di kota Jakarta.

Aku terlalu malas untuk berjalan kaki, sampai-sampai ketika aku akan pergi ke warung di depan gang rumah ku saja, aku akan menggunakan kendaraan pribadi. Lagi-lagi sikap kritis ku tentang kemacetan terhadap orang lain tak sejalan dengan perbuatanku "untuk Indonesia lebih baik".

Ketika aku di Facebook, aku dengan semangat nya berkata kepada orang lain untuk menggunakan kendaraan umum yang disediakan oleh pemerintah dan swasta. Tapi aku sendiri menggunakan kendaraan pribadi. Dengan beribu alasan agar persepsiku terasa benar di kepala, Aku berdalil dengan seribu kalimat.

Lagi-lagi aku terlalu sibuk mengomentari orang lain tentang kemacetan, tetapi dari hal terkecil saja aku tak berbuat.

Aku muak terhadap diriku yang selalu sibuk meminta air bersih kepada pemerintah, tetapi aku lagi-lagi melakukan kesalahan baik disengaja atau tidak disengaja membuang sampah bagaimanapun bentunya itu.

Lantas siapakah "Tukang Sampah" di negeri ini. Tentu tindakanku membuang sampah sembarang ini lebih pantas disebut tukang sampah. Dan yang membersihkannya merupakan "Tukang bersih".

Ah.. lagi-lagi aku terlalu sibuk berkata A,B,C tentang air bersih di Indonesia, tetapi aku sendiri secara sengaja atau tidak sengaja "mengotori" air itu. Aku tak mau membanding-bandingkan dengan negara A,B,C yang memiliki air bersih. Aku rasa jika aku sadar sejak lama pasti saja Indonesia menjadi salah satu negara dengan Air Bersih terbaik.

Aku muak dengan diriku yang asyik menuding siapa koruptor. Berkomentar "si A", "Si B" dengan hujatan pedas dan bertubi-tubi, dan berpendapat banyak hal seolah-olah aku tahu yang sebenarnya secara langsung apa yang terjadi.

Ah... lagi-lagi kesibukan ku untuk berkomentar, membuatku lupa bahwa aku pernah korupsi, aku pernah korupsi waktu saat sekolah, saat bekerja, atau saat janji kepada orang lain. Aku mungkin pernah secara sengaja atau tidak sengaja mengambil sedikit uang kembalian saat orang tua dulu menyuruhku belanja ke warung.

Aku rasa jika aku sadar sejak dulu, jika aku sadar dari hal yang terkecil saja. Tanpa perlu berkata "bla-bla" kepada para koruptor tentu saja para koruptor tak akan ada.

Renungan Diri 1: "Sampai Kapan Aku Untuk Indonesia?!"

Aku dalam tulisan ini adalah renungan diriku.

Andai aku adalah seluruh warga Indonesia. Maka "Aku" untuk "Indonesia" dan "Indonesia" menjadi "Lebih baik"

Note: Berani sadar, Berani berbuat! Tidak ada manusia yang sempurna, tetapi Tuhan telah menciptakan Akal dan pikiran untuk berfikir. Maka gunakan fikiran itu untuk menjadi diri yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun