Liem berusaha berkelit. Sayang peluru lebih cepat dari gerakan kungfunya. Tembakan ketiga mengenai dadanya. Helen menjerit histeris. Ia melepaskan diri dari tangan si serdadu, berlari menghambur ke tubuh kekasihnya yang tergeletak di lantai peron  bersimbah darah.Â
"Liem, bertahanlah. Jangan tinggalkan aku," tangis Helen.Â
"Nona minggir, saya harus menyelesaikan tugas," perintah serdadu tersebut.Â
Serdadu itu berusaha menarik Helen dari tubuh Liem yang mengerang kesakitan. Pistolnya segera menyalak kembali, menghambur ke tubuh Liem yang tak berdaya. Helen melolong pedih. Tiba-tiba ia bangkit melabrak sang serdadu. Helen menekan pelatuk pistol dan mengarahkan ke dadanya sendiri.Â
"Dor,"Â Helen pun terjatuh di sisi kekasihnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, ia bergeser memeluk pemuda Tionghoa itu.Â
Si serdadu tak menyangka putri majikannya akan berbuat senekad itu. Ia terbengong melihat pasangan tersebut tewas berpelukan. Pistolnya terjatuh dari tangannya.
Gemas dengan kekejaman serdadu Belanda, aku melompat keluar dan hendak menghajar dia bela diri yang aku kuasai. Tetapi sebelum aku berhasil melayangkan kaki, serdadu itu tiba-tiba berubah wujud. Tubuhnya semakin membesar, kulit wajahnya terkelupas, hidungnya hancur dan kedua bola matanya jatuh satu persatu. Darah menetes dari lubang yang ditinggalkan.Â
Aku berteriak ngeri. Tubuhku terasa kaku tidak bisa digerakkan. Lamat-lamat aku berusaha mengingat dan membaca doa-doa pelindung. Angin dingin menerpa. Lalu, aku tidak ingat apa-apa lagi.Â
Adzan Subuh terdengar ketika aku merasa pipi ditepuk-tepuk seseorang. Samar-samar aku melihat petugas KAI perempuan memandangku dengan cemas.Â
"Ibu mengapa tidur di sini?" Tanya diaÂ
Aku melihat sekeliling. Ternyata aku terbaring di depan pintu kantor kepala stasiun. Dengan menggosok mata aku menggelengkan kepala.Â