Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kereta Terakhir Itu

25 Mei 2024   20:12 Diperbarui: 25 Mei 2024   20:17 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kereta terus melaju. Aku berdiri melihat kembali ke gerbong sebelah kiri dan sebelah kanan. Keduanya sepi tanpa penumpang, petugas pun tak tampak batang hidungnya. 

Dalam kebingungan, aku duduk lagi. Kalau benar pulang ke Dipo, berarti kereta ini berhenti di Depok. Ah ya sudah, tidak apa. Sudah dekat dengan tujuan rumahku di Citayam. Aku pun memejamkan mata lagi. 

Selagi terkantuk-kantuk, aku merasa tiba-tiba kereta berhenti. Pintu membuka. Kereta ini berhenti di stasiun yang tampak tua. Aku membaca tulisan di atas "Pondok Cina". Aku bertambah bingung. Bukankah stasiun Pondok Cina sudah modern? Ini seperti belum pernah direnovasi. 

Beberapa penumpang  naik. Anehnya, mereka berpakaian kuno. Ada yang berpakaian khas Betawi dengan baju Koko dan celana komprang dan wanita-wanita yang mengenakan kebaya. Pedagang membawa pikulan berisi buah-buahan. Mataku menangkap sepasang kekasih yang kemudian berjalan ke arahku dan duduk di depanku. 

Mereka berdua, yang  pria  kelihatannya keturunan Tionghoa, parasnya tampan, wajah lonjong, hidung mancung, mata sipit dan kulit kuning. Pria muda ini mengenakan pakaian sejenis Tang suit, yang biasa dipakai oleh laki-laki Cina . Sedangkan sang gadis, berparas cantik dengan rambut pirang dan bermata biru, memakai gaun panjang yang mengembang di bawah, seperti bangsawan Eropa. 

Aku berusaha tersenyum kepada mereka, tapi mereka seolah tak melihat. Kedua sejoli itu bercakap-cakap dengan intim. 

"Liem, aku takut ayah marah jika melihatmu," kata si gadis gusar.

"Tenanglah Helen. Aku tak bisa bersembunyi selamanya. Lambat atau cepat, aku harus menghadapi ayahmu untuk meminta restu hubungan kita," jawab si pria.

"Tapi ayahku benci orang Cina," gadis bernama Helen itu mulai terisak.

Liem, pemuda Tionghoa itu tersenyum sambil menggenggam jemari Helen untuk menenangkan. 

Kereta melaju tanpa terasa. Tahu-tahu berhenti di sebuah stasiun kuno dengan tulisan Depok di atasnya. Belum sempat aku berpikir, tiba-tiba sekelompok orang dengan pakaian serdadu Belanda meloncat masuk. Mereka menyerbu ke arah pasangan muda-mudi itu. Liem spontan berdiri, sedangkan Helen menjerit ketakutan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun