Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita yang Melanggengkan Duka

25 Maret 2024   22:16 Diperbarui: 25 Maret 2024   22:20 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang wanita menyeruak dari kerumunan massa di depan gerbang Istana Presiden itu. Tubuhnya kurus dengan rambut sebahu yang telah memutih. Matanya nanar menatap jauh ke bangunan istana puluhan meter di depannya.

"Adili penjahat HAM," jerit wanita itu dengan suara serak.  "Hukum mati!"

Lantas, puluhan pemuda di sekitarnya dengan jaket almamater  sebuah universitas menyambut dan mengulang perkataannya seperti gema bergema, lebih lantang disertai caci maki kepada presiden. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan "Turunkan presiden".

"Turunkan presiden," teriak mereka. "Gulingkan presiden!"

Mereka mulai membakar ban bekas yang sengaja dibawa. Asam hitam dan bau mengepul dari karet tebal yang terbakar tersebut. Mereka tambah bersemangat dan mengeraskan volume toa agar tambah berisik.

Matahari bersinar garang di tengah hari itu. Si wanita berambut putih berkali-kali menyeka keringat dengan saputangan kumal dari dalam tas selempangnya. Tetapi ia tetap bergeming dari tempatnya berdiri. Sedangkan pemuda-pemuda itu seolah tak peduli dengan panasnya cuaca. Mereka  berteriak-teriak memekakkan telinga. 

Polisi terlihat sibuk, berusaha menertibkan demonstrasi  agar tidak mengganggu lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan. Beberapa orang wartawan hanya sesekali memotret dengan wajah jemu. Sebagian di antaranya justru langsung pergi dari tempat itu mencari berita lain yang lebih menarik. 

Banyak mobil yang terpaksa menepi dan bergerak tersendat-sendat karena terhalang para pemuda yang dengan sengaja berjingkrak-jingkrak ke tengah jalan. Meskipun polisi telah berulang kali memberi peringatan, mereka membangkang dan melanjutkan aksinya.

Mereka tambah beringas, melompat ke atas mobil yang disewa sembari berorasi menuntut penggulingan presiden. Sahut menyahut dengan jeritan si wanita kurus yang sudah nyaris kehilangan suaranya. 

Namun ada sosok yang memperhatikan kejadian itu dari balik sebuah pohon. Seorang wanita yang juga sudah tidak muda lagi, mengenakan jilbab sportif dengan pakaian kasual. Ia menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan ulah para demonstran. Setelah itu ia beranjak pergi dengan langkah tak bersuara. 

Hampir tengah malam ketika si wanita kurus kembali ke rumah. Wajahnya tampak sangat lelah saat turun dari mobil ojek online. Dengan tubuh oleng ia berusaha membuka pintu pagar besi. Tetapi jemari tangannya yang gemetar membuat dia mengalami kesulitan.

Tetiba ada sebuah tangan dari belakang yang membantu membuka kunci besi pagar. Si wanita kurus terperanjat, seketika menoleh ke belakang. Ia menangkap wajah yang tenang dari seorang wanita dengan jilbab sederhana. 

"Maaf, saya hanya ingin membantu,' kata wanita tersebut sambil tersenyum. 

"Terima kasih. Kebetulan saya lelah sekali," jawabnya lemah. 

Wanita berjilbab itu menuntun dia hingga ke teras, lalu mendudukkannya di kursi. Dengan tatapan penuh terima kasih, wanita berambut putih itu menarik nafas lega. 

"Nama ibu siapa? Saya Maria." Ia memperkenalkan diri kepada wanita asing tersebut. 

"Maria Liem, bukan?" Wanita itu menegaskan tanpa menjawab pertanyaannya. Ia kemudian duduk di sebelahnya dengan perlahan. 

Maria terkejut. Ia merasa was-was. Bagaimana wanita itu mengetahui namanya? Apakah dia polisi atau intel yang membuntuti dia? 

"Darimana ibu tahu?" 

"Dari media. Ibu kan sering ada di media massa karena sering ikut demonstrasi bersama para mahasiswa. Ibu adalah orang tua dari Jonathan Liem, korban peristiwa kerusuhan Mei 1998."

Maria menghela nafas. Ingatannya melayang kembali pada wajah putera tercinta yang gugur dalam peristiwa tersebut. Beberapa tetes air bening mengembang di sudut matanya.

"Betul, anakku jadi korban kebiadaban dalam kerusuhan itu. Dia ditembak mati oleh tentara," wajahnya berubah memancarkan kemarahan. "Anakku satu-satunya, direnggut secara kejam oleh mereka!"

"Bu Maria, itu sudah 26 tahun yang lalu," kata wanita itu lembut.

"Ya, tapi keadilan tidak berjalan. Jenderal pelanggar HAM dibiarkan bebas berkeliaran. Sudah berapa kali pergantian presiden, tidak ada yang memenuhi janji mengungkap kasus itu. Saya sangat kecewa."

Wajah wanita itu menunjukkan simpati yang mendalam. Ia meraih tangan Maria dan menggenggamnya erat. Tangisan Maria pecah, ia sesenggukan dan merintih pilu. Luka di dadanya tak pernah mengering, meratapi kepergian sang putera tersayang. 

Wanita berjilbab itu memberikan tepukan menenangkan di bahunya. Ia mengulurkan beberapa lembar tisu untuk menghapus air matanya yang mengalir deras. Setelah beberapa saat, Maria mulai bisa mengendalikan diri. 

"Maaf, saya tidak bisa menahan tangis,"

"Saya mengerti. Sangat berat bagi seorang ibu kehilangan anak yang sangat disayangi,"

"Akan tetapi," wanita itu melanjutkan. "Apakah ibu akan hidup seperti ini hingga akhir hayat? Apakah ibu tidak ingin hidup tenang pada sisa usia?"

Maria menatap kesal,"Bagaimana  bisa hidup tenang jika pembunuh anak saya masih saja bebas?"

"Ibu tampak sangat ingin membalas dendam."

"Tentu saja. Saya ingin pembunuhnya diberikan hukuman setimpal."

Wanita itu mengangguk-angguk, "Bu Maria, ingatlah bahwa kematian adalah takdir Tuhan. Ibu percaya pada Tuhan kan?"

"Ya. Tapi bukan berarti kejahatan dibiarkan," sergah Maria.

"Ibu tidak ikhlas dengan kepergian anak yang telah ditentukan Tuhan?"

"Apa maksud anda mengatakan ini? Supaya saya berhenti memperjuangkan keadilan?" Nada suaranya meninggi.

Wanita itu tersenyum tenang. "Bukan begitu. 26 tahun telah ibu lalui tanpa kedamaian karena dipenuhi dendam. Ibu tidak ikhlas dengan kepergian Jonathan. Padahal itu adalah takdir Tuhan. Berarti ibu menentang apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan."

Wajah Maria memerah dalam keremangan malam. Perasaannya campur aduk, antara marah dan malu. 

"Memang mudah bicara ikhlas karena anda tidak mengalaminya. Anda tidak mengerti bagaimana peristiwa itu terjadi," suaranya tertahan di tenggorokan. 

"Bu Maria, maafkan saya. Namun coba pikirkan, Jonathan sudah bersama Tuhan. Apakah ia bisa tenang di alam sana jika ibu masih saja tidak merelakan kepergiannya? Saya yakin Jonathan juga tidak ingin ibu hidup menderita dengan selalu berduka."

Maria terisak-isak. Air matanya kembali bercucuran. Tangannya berusaha merogoh ke dalam tas, mencari saputangan kumal miliknya. Dengan cekatan, wanita berjilbab itu mengeluarkan beberapa lembar tisu lagi yang diterima Maria dengan tangan gemetar. 

"Bu Maria, percayalah bahwa Tuhan Maha Penyayang telah memeluk Jonathan. Karena itu tidak perlu dirisaukan lagi kepergiannya. Jonathan pasti ingin ibu hidup bahagia. Biarkanlah peristiwa itu berlalu. Lupakan dan ikhlaskan." Wanita itu berhenti sejenak.

"Tuhan juga Maha Adil. Jika manusia tidak bisa dipercaya menegakkan keadilan, mengapa tidak menyerahkan sepenuhnya kepada keadilan Tuhan? Cepat atau lambat pasti akan berjalan. Tapi tidak perlu ditunggu."

"Saya mohon Bu Maria belajar untuk ikhlas. Bukan untuk kemenangan siapapun yang menembak putera ibu, tetapi untuk kedamaian ibu sendiri," dia berkata lembut. 

"Saya akan mencoba," kata Maria terbata-bata.

"Mintalah bantuan Tuhan untuk menguatkan hati dan jiwa ibu," wanita itu kemudian berdiri.

"Sudah larut, saya izin pulang. Maaf jika saya menyinggung perasaan Bu Maria. Ini karena kepedulian saya terhadap penderitaan ibu," dia tersenyum tipis.

"Oh ya, sekadar informasi, saya tahu apa yang terjadi pada kerusuhan Mei 98 itu. Saat itu, saya adalah salah satu wartawan yang sedang meliput."

Maria terpana. Ia memandangi kepergian wanita berjilbab itu tanpa bisa berkata-kata. Bahkan ketika wanita itu lenyap melangkah dalam kegelapan malam, ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Lama ia merenung dan menangis lagi.  Mulutnya menyebut nama Jonathan berulang-ulang. 

Pagi masih belum mengeringkan embun ketika Maria memasuki halaman sebuah gereja. Bangunan tua yang tampak terawat dan bersih. Ia ingat, di gereja inilah puteranya Jonathan dibaptis. Dengan ragu ia membuka pintu. 

Ruangan gereja sangat sepi, tak ada seorangpun berada di dalam. Ya, karena hari itu bukan waktu untuk beribadah. Justru Maria memang tidak ingin bertemu dengan orang lain. Ia ingin sendirian. Maria lalu duduk di bangku paling depan, memejamkan mata. Keheningan menyelimuti, ia merasa tenang dan damai. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun