"Saya mohon Bu Maria belajar untuk ikhlas. Bukan untuk kemenangan siapapun yang menembak putera ibu, tetapi untuk kedamaian ibu sendiri," dia berkata lembut.Â
"Saya akan mencoba," kata Maria terbata-bata.
"Mintalah bantuan Tuhan untuk menguatkan hati dan jiwa ibu," wanita itu kemudian berdiri.
"Sudah larut, saya izin pulang. Maaf jika saya menyinggung perasaan Bu Maria. Ini karena kepedulian saya terhadap penderitaan ibu," dia tersenyum tipis.
"Oh ya, sekadar informasi, saya tahu apa yang terjadi pada kerusuhan Mei 98 itu. Saat itu, saya adalah salah satu wartawan yang sedang meliput."
Maria terpana. Ia memandangi kepergian wanita berjilbab itu tanpa bisa berkata-kata. Bahkan ketika wanita itu lenyap melangkah dalam kegelapan malam, ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Lama ia merenung dan menangis lagi. Â Mulutnya menyebut nama Jonathan berulang-ulang.Â
Pagi masih belum mengeringkan embun ketika Maria memasuki halaman sebuah gereja. Bangunan tua yang tampak terawat dan bersih. Ia ingat, di gereja inilah puteranya Jonathan dibaptis. Dengan ragu ia membuka pintu.Â
Ruangan gereja sangat sepi, tak ada seorangpun berada di dalam. Ya, karena hari itu bukan waktu untuk beribadah. Justru Maria memang tidak ingin bertemu dengan orang lain. Ia ingin sendirian. Maria lalu duduk di bangku paling depan, memejamkan mata. Keheningan menyelimuti, ia merasa tenang dan damai.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI