"Tapi sekarang sedang hujan badai, lihat tuh jalanan mulai banjir. Kamu mau bunuh diri?"
Dina benar, sejak sore tadi hujan deras tak kunjung berhenti. Bahkan disertai petir dan angin kencang. Beberapa pohon besar di pinggir jalan sudah tumbang sehingga menambah kemacetan.
Dina, tinggal di apartemen di pusat kota. Ia tidak kesulitan untuk pulang karena sangat dekat. Meski belum terlalu akrab, Dina tak sampai hati jika ada teman yang mengalami kesulitan.
"Aku tidak punya baju ganti, Din," kata Menik.
"Gampang, aku pinjami. Ukuran kita kan sama," senyum Dina.
Akhirnya Menik menerima tawaran Dina untuk bermalam di apartemennya. Jujur, ia suka rikuh jika berada di rumah orang lain. Tapi apa boleh buat, keadaan telah membuat dia tak berkutik.
Apartemen Dina tidak besar. Hanya satu kamar tidur dengan kamar mandi di dalam. Lalu satu ruang tamu yang tersambung dengan dapur.
Menik meletakkan tas di atas meja tamu. Ruang ini penuh kaca untuk memberi kesan yang luas. Secara refleks ia memperhatikan bayangan dirinya di kaca. Diam-diam Dina melihat dari sudut matanya, tapi ia tak berkata apa-apa.
Mereka minum teh hangat untuk mengusir hawa dingin karena hujan. Dina juga menggoreng pisang untuk cemilan. Kedua wanita itu menikmati malam tanpa banyak berbicara. Dina lebih fokus ke film di televisi, sedangkan Menik memandang ke samping, ke jendela kaca.Â
Dina mengajak Menik untuk tidur bersamanya di ranjang. Namun Menik menolak, ia memilih tidur di sofa, depan televisi. Dina tidak memaksanya, barangkali Menik lebih nyaman sendiri.
Pukul dua dini hari Dina mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Pastilah itu Menik. Mungkin dia mau shalat Tahajud, mengingat wanita itu sangat rajin beribadah.