Menik nama wanita itu. Dia masih sendiri dalam usia yang sudah kepala empat. Teman-temannya tidak pernah tahu, mengapa Menik lebih suka sendiri.
Satu-satunya yang diketahui dengan pasti adalah, bahwa wanita itu senang berkaca. Di manapun dia lewat, kalau ada kaca ia pasti berkaca. Entah itu kaca jendela, kaca pintu, kaca mobil, atau bahkan dinding kaca toko di pinggir jalan.
Tetapi ia berkaca bukan untuk berdandan sebagaimana wanita lain. Tidak ada perangkat kecantikan yang dikeluarkan seperti bedak atau lipstik.
Jika Menik melihat kaca, dia berhenti sejenak untuk berkaca. Ia memandang jauh pada bayangan dirinya. Menatap tajam menembus ke dalam diri sendiri.
"Dia itu sejenis narcisus di zaman modern," komentar Reni kepada Martha. Mereka berdua adalah teman kuliah Menik.
"Dia mengagumi dirinya sendiri. Mentang-mentang tinggi, langsing dan pintar," sahut Martha.
Pendapat mereka adalah gambaran penilaian kebanyakan orang kepada Menik. Wanita itu bukan tidak tahu. Tapi dia tidak menggubris bisik-bisik seperti itu selama puluhan tahun.Â
Kini, meski sudah mendekati usia setengah abad, Menik masih senang berkaca. Bahkan ia kini semakin senang berlama-lama di depan kaca. Para tetangga menyebut dia sebagai wanita kaca.
Namun sejatinya tidak ada yang tahu mengapa wanita itu hobi berkaca. Sampai pada suatu hari Menik terpaksa menginap di rumah temannya karena hujan badai menghalangi dia pulang ke rumah.
"Kamu nginep di apartemenku aja," kata Dina, teman satu profesi.
"Aku tidak ingin merepotkan orang lain," sahut Menik pelan.
"Tapi sekarang sedang hujan badai, lihat tuh jalanan mulai banjir. Kamu mau bunuh diri?"
Dina benar, sejak sore tadi hujan deras tak kunjung berhenti. Bahkan disertai petir dan angin kencang. Beberapa pohon besar di pinggir jalan sudah tumbang sehingga menambah kemacetan.
Dina, tinggal di apartemen di pusat kota. Ia tidak kesulitan untuk pulang karena sangat dekat. Meski belum terlalu akrab, Dina tak sampai hati jika ada teman yang mengalami kesulitan.
"Aku tidak punya baju ganti, Din," kata Menik.
"Gampang, aku pinjami. Ukuran kita kan sama," senyum Dina.
Akhirnya Menik menerima tawaran Dina untuk bermalam di apartemennya. Jujur, ia suka rikuh jika berada di rumah orang lain. Tapi apa boleh buat, keadaan telah membuat dia tak berkutik.
Apartemen Dina tidak besar. Hanya satu kamar tidur dengan kamar mandi di dalam. Lalu satu ruang tamu yang tersambung dengan dapur.
Menik meletakkan tas di atas meja tamu. Ruang ini penuh kaca untuk memberi kesan yang luas. Secara refleks ia memperhatikan bayangan dirinya di kaca. Diam-diam Dina melihat dari sudut matanya, tapi ia tak berkata apa-apa.
Mereka minum teh hangat untuk mengusir hawa dingin karena hujan. Dina juga menggoreng pisang untuk cemilan. Kedua wanita itu menikmati malam tanpa banyak berbicara. Dina lebih fokus ke film di televisi, sedangkan Menik memandang ke samping, ke jendela kaca.Â
Dina mengajak Menik untuk tidur bersamanya di ranjang. Namun Menik menolak, ia memilih tidur di sofa, depan televisi. Dina tidak memaksanya, barangkali Menik lebih nyaman sendiri.
Pukul dua dini hari Dina mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Pastilah itu Menik. Mungkin dia mau shalat Tahajud, mengingat wanita itu sangat rajin beribadah.
Entah mengapa Dina tak bisa tidur lagi. Karena itu ia turun dari ranjang, mau ke kamar mandi. Tak sengaja ia melihat Menik sedang memandang dirinya sendiri di dalam kaca. Menik masih mengenakan mukena.
Dina tertarik untuk mengetahui mengapa Menik berkaca. Apalagi saat itu ruangan temaram karena hanya lampu balkon yang dinyalakan. Dalam keremangan Dina melihat Menik meneteskan air mata.Â
Dengan penasaran, Dina mendekat ke pintu tanpa bersuara agar Menik tidak tahu jika sedang diawasi. Dina mendengar Menik berkata lirih sambil memandang ke dalam kaca.
"Ya, Allah yang Maha Pengampun. Ampunilah hamba." Bisik Menik. "Hamba adalah makhluk yang penuh dosa,"
"Setiap kali hamba melihat ke dalam diri ini, hamba teringat dosa-dosa yang telah dilakukan. Hamba tidak maksimal mengabdi kepada orang tua sampai Engkau memanggil mereka," air mata Menik semakin deras mengalir.
"Ya Allah, hamba masih saja suka mengeluh terhadap takdir Mu. Hamba masih suka berprasangka kepada orang lain, belum belum bisa maksimal membantu orang lain," rintih Menik.
"Bahkan sekarang hamba menyusahkan orang lain, menjadi tamu yang tak direncanakan, merepotkan dia. Kalau dia menjadi kesulitan, ampunilah hamba ya Allah, hamba tidak sengaja,"
Dina terharu mendengar rintihan Menik. Ya Allah, banyak teman yang berprasangka bahwa wanita ini senang berkaca karena narsis. Ternyata dia hanya ingin selalu melihat dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukannya.
Tanpa sadar, Dina meneteskan air mata. Baru kali ini ia memiliki teman yang begitu takut untuk berbuat dosa. Sedangkan wanita-wanita yang lain tidak peduli. Dina merasa dirinya begitu kecil dibandingkan dengan Menik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H