Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ketika Engkau Meminta Maaf

29 April 2020   22:00 Diperbarui: 29 April 2020   22:14 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (dok.mehmet)

Tak ada yang lebih melukai hati ketika mengetahui bahwa aku dikhianati. Ya, apalagi jika yang berkhianat adalah orang yang kusayangi, yaitu engkau.

Mungkin bagi kaum lelaki, cinta hanya sebagai hiburan. Tetapi aku sungguh-sungguh mencintaimu, sehingga aku menaruh kepercayaan penuh kepadamu. Aku percaya bahwa cintamu sebesar cintaku kepadamu. 

Maka ketika aku mendapati engkau telah merayu perempuan lain, hatiku serasa ditusuk sembilu. Aku tidak bisa memaafkanmu. Setidaknya untuk masa yang cukup lama.

Kita memang harus berpisah. Aku harus mengeluarkanmu dari kehidupanku. Karena itu aku memblokir semua nomor teleponmu, akun media sosial yang kau miliki, dan membakar fotomu.

Bahkan aku terpaksa pindah rumah agar engkau tidak bisa menemukan aku. Biarlah, toh kau sudah memiliki pengganti. Mungkin dia lebih cantik dan menarik daripada aku.

Sungguh, setelah itu aku bisa berbahagia. Aku melakukan berbagai petualangan yang aku suka. Berpergian kemana saja sampai menjalin hubungan dengan orang-orang baru. Apalagi kemudian aku mengenal si Dia yang "cool dan smart". 

Aku sudah lupa denganmu, betul-betul tidak pernah mengingatmu. Karena itu aku kaget ketika menerima pesan dari seseorang yang tak dikenal melalui inbox Instagram. Ternyata itu dari engkau yang telah menggunakan nama lain.

Oh, tidak. Jangan berharap aku mau melanjutkan hubungan kita yang kandas. Itu sudah menjadi masa lalu. Tak perlu heran jika aku tidak mau membalas pesanmu, apalagi menerima pertemanan denganmu.

Aku kembali melanjutkan kehidupan tanpa menghiraukan pesan-pesan yang kau kirimkan. "The life must go on" adalah prinsip yang aku terapkan.

Seperti pada malam ini, aku menyeruput kopi sambil membaca buku yang baru kubeli.  Aku begitu tenggelam dalam cerita di buku ketika bel pintu berdering.

Cangkir kopi aku letakkan di meja. Tergopoh-gopoh aku menuju ke pintu. Mungkin itu pesanan makanan yang datang. Aku memang sedang malas masak, jadi memesan saja secara online.

Dan hampir tak percaya aku mendapati engkau yang berdiri di depan pintu. Sejenak aku tidak bisa berkata-kata. Hingga suaramu menyadarkan aku.

"Maaf, aku datang tanpa pemberitahuan. Bolehkah aku masuk?" Tanyamu dengan perlahan.

"Untuk apa kau kemari?" Aku cemberut.

"Jangan marah. Aku ingin membicarakan sesuatu hal penting. Setelah itu aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi."

Suaramu yang memelas membuat aku melunak. Akhirnya aku membiarkan kau masuk. 

"Mau minum apa?" 

"Tidak usah, aku tidak haus. Lagipula aku hanya sebentar. Aku tak mau menyita waktumu yang berharga".

"Oh, baiklah," aku menarik nafas lega.

Kita lalu duduk berhadapan. Sepintas aku memperhatikan tubuhmu yang tampak kurus dan wajahmu yang pucat. Apakah engkau sakit? Aku bertanya dalam hati.

"Aku senang melihat kau hidup bahagia," kau memulai. 

"Alhamdulillah. Aku mensyukuri apa yang diberikan Allah untukku," jawabku.

Engkau tersenyum. Ya Tuhan, senyummu masih mampu menggetarkan hati. Apakah itu pertanda aku masih mencintaimu? Hush, aku mengusir pikiran itu.

"Begini, aku datang untuk meminta maaf kepadamu," suaramu bertambah pelan. Hanya lebih keras dari sebuah bisikan.

"Maaf untuk apa?" Aku memperjelas.

Engkau menarik nafas panjang. "Aku minta maaf untuk semua perbuatan yang telah melukai hatimu. Maukah kau memaafkan aku?"

"Aku bisa memaafkanmu. Tapi bukan berarti aku bisa menerima mu kembali," aku berkata datar.

"Oh tidak. Aku sama sekali tidak berharap engkau menerima aku kembali. Aku tidak pantas untuk itu. Engkau patut mendapatkan lelaki yang lebih baik dari aku. Aku hanya membutuhkan maaf darimu,"

Aku terdiam beberapa saat. Engkau kelihatan bersungguh-sungguh. Ah, mana mungkin aku menolak permintaan maaf yang tulus? Justru nanti aku yang berdosa.

"Oke. Aku maafkan,"

"Betul?" Engkau meyakinkan. Aku mengangguk tegas.

"Alhamdulillah, terima kasih. Aku lega sekarang, tidak ada lagi beban yang memberati selama ini," engkau tersenyum gembira.

Kemudian engkau berdiri,"Seperti janjiku tadi, aku tidak lama. Aku akan pergi. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Semoga engkau selalu berbahagia".

Aku menutup pintu sambil memikirkan mu. Diam-diam aku menyesal tidak pernah membalas pesanmu. Padahal kau hanya ingin minta maaf. Aku terlalu angkuh. Untunglah sekarang tidak ada persoalan di antara kita.

Akhirnya aku tidur dengan engkau memenuhi pikiran. Ah sudahlah, bab itu telah berlalu.

Karena larut malam baru tertidur, aku terlambat bangun. Sinar matahari sudah terang benderang ketika aku membuka jendela.

Ketika aku menyeduh kopi, hapeku berdering. Eh, siapa sih yang telepon. Aku kan tidak suka ditelepon. Melihat nomornya, ternyata sahabatku Rahma. 

"Ngapain kamu telepon?" Sergahku. "Bisa lewat WA gak? Chatting aja seperti biasa. 

"Nggak, aku ada kabar penting," suara Rahma terdengar serius.

"Kabar apa?" 

"Kamu masih ingat mantanmu?" Tanya Rahma.

Aku mengerenyitkan kening. Tentu saja aku ingat dia. Bahkan semalam kami baru bertemu.

"Ya. Ada apa dengan dia?"

"Nah, mantanmu itu telah meninggal dunia kemarin karena kecelakaan mobil. Aku dapat kabar dari kakaknya. Ia menanyakan tentang kamu!" 

Bagai disambar petir aku mendengar kata-kata Rahma. Lalu pikiran menjadi blank. Tanpa sadar, hapeku terjatuh ke lantai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun