"Di stasiun metro," akhirnya aku mengaku.
"Jangan pindah lagi, tetap di situ sampai anakku datang.' perintahnya.
Waduh, aku sulit melarikan diri. Aku kehilangan akal mau berbuat apa. Selagi aku termangu, aku melihat sesosok pria menuruni anak tangga dan bergegas berjalan ke arahku. Ia sambil berbicara dengan telepon genggamnya.
"Rani?" Tanyanya sambil tersenyum.Â
Aku mengangguk perlahan. Rupanya dia adalah putra Ibrahim. Aku memperhatikan sejenak lelaki muda yang berdiri di hadapanku, raut wajahnya tampan dengan jenggot bersih habis dicukur.
"Aku Fatih, putra Ibrahim," ia menyodorkan tangan. Kami pun bersalaman.
Tak berapa lama kemudian aku sudah mengikuti langkahnya. Kami kembali naik ke atas. Ia akan membawaku ke rumah keluarga. Untuk itu kami harus menggunakan bus kota.
Kami pun berlarian di antara hujan. Ia tak segan menarik tanganku sambil mengajak berbincang seakan sudah lama berkenalan. Â Ia membawakan ransel sehingga langkahku lebih ringan.Â
Duduk berdampingan di dalam bus kota dengan lelaki ini membuat aku merasa aneh. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa yang sedang aku perbuat? Apa yang sedang aku alami?
Hujan justru semakin deras ketika kami turun dari bus kota.Â
"Mau berteduh dulu?" Fatih menawarkan.