Sudah lewat tengah hari ketika bus yang aku tumpangi masuk ke Otogar,  terminal besar  Istanbul bagian Eropa. Hujan tercurah deras menyambut kedatanganku.Â
Sekali lagi aku membaca pesan dari Ibrahim, lelaki Turki yang menemaniku selama di Dogubeyazid. Â Ibrahim setiap satu jam sekali memantau perjalananku sehingga aku merasa menjadi anak kecil yang diawasi ayahnya.
"Jangan kemana-mana, tunggu saja di depan kantor biro travel itu. Nanti anakku akan datang menjemput,' begitu bunyi pesan terakhir.
Aku ragu-ragu untuk menunggu putra dari Ibrahim. Apakah aku harus menerima perjodohannya? Lelaki setengah baya ini sangat menyukai aku sehingga menginginkan aku menjadi menantu.
Padahal aku bukan tipe orang yang suka dijodohkan. Aku butuh waktu yang lama untuk menyukai seseorang, apalagi untuk jatuh cinta. Â Sebetulnya aku tidak serius mengatakan iya saat Ibrahim menyodorkan sehelai foto putranya. Meskipun dalam foto itu tampak wajah seorang lelaki muda yang tampan.
Hujan semakin deras, para penumpang berbasah-basah sambil menyeret kopernya. Aku hanya menyandang ransel sambil memperhatikan mereka. Ah, apakah aku akan menunggu orang yang tidak aku kenal?
Kegelisahan mulai menyerang, buat apa aku menunggu sesuatu yang tidak pasti? Mungkin dia tidak datang karena hujan. Setengah jam berlalu, rasanya sudah lama. Aku memang bukan orang yang senang menunggu.
Akhirnya aku berlari menembus hujan sambil menutupi kepala dengan jaket. Â Aku memutuskan melanjutkan perjalanan ke stasiun kereta metro di bawah tanah.Â
Lega rasanya menyusuri stasiun metro. Mudah-mudahan Ibrahim tidak marah karena aku tidak ingin bertemu putranya. Aku duduk di kursi menunggu kedatangan kereta.
Tetiba telepon genggam berdering, Ibrahim. Dengan enggan aku mengangkatnya.
"Kau dimana? Anakku mencari-cari?"