"Tidak, kau tak boleh pergi. Kau tinggal bersamaku di sini," katanya keras.
Aku bingung. Dia tak mau mendengarkan alasanku. Sementara aku merasa waktu yang singkat ini tidak cukup untuk merencanakan masa depan.Â
Aku bertekad untuk pulang. Tiket pesawat telah dipesan dengan diam-diam. Pada hari H aku mengirimkan pesan kepada Ibrahim bahwa aku akan pulang. Saat Fatih berangkat bekerja, aku mengangkat ransel. Aku pun pamit pada ibu Fatih yang tampak kebingungan.Â
Aku tiba di airport dua jam sebelum waktu keberangkatan. Gerimis mengiringi selama perjalanan ke bandara ini. Untunglah aku menggunakan taksi sehingga tidak perlu kehujanan.
Tetapi saat mau memasuki pintu lobby aku mendengar seseorang meneriakkan namaku. Aku menoleh. Ya Tuhan, itu Fatih.
Fatih berlarian di antara gerimis dari arah parkiran mobil menuju tempat aku berdiri. Aku terkejut, langsung berbalik mempercepat langkah menuju pintu masuk bandara.Â
"Rani, tunggu. Jangan pergi," teriak lelaki muda itu. Aku memperlihatkan tiket pada petugas bandara, lalu berlari masuk.
Fatih berteriak sekencang kencangnya memanggil. Aku menulikan telinga menuju meja check in. Petugas melarang dia masuk. Ia seperti kesurupan memanggil-manggil namaku.Â
Dan aku melihat wajahnya di balik kaca. Matanya yang kehijauan itu mengalirkan air seperti gerimis yang jatuh dari langit. Aku menguatkan hati, melangkah ke ruang keberangkatan tanpa menoleh lagi.