Kalau kerajaan fiktif hanya memengaruhi sekelompok kecil dari masyarakat yang ingin hidup dalam imajinasi. Tapi kalau korupsi, telah merugikan bangsa dan negara ini.
Korupsi tak ubahnya seperti lintah yang terus menghisap darah korban sampai puas. Para koruptor itu menghisap darah rakyat hingga kurus kering. Seluruh rakyat kecil yang merasakan penderitaannya.
Bayangkan, uang rakyat yang untuk membangun dan menyediakan fasilitas menjadi raib. Baik itu fasilitas pendidikan, kesehatan dan fasilitas sosial lainnya. Tak heran jika semakin banyak rakyat yang kekurangan gizi, tidak bisa sekolah atau mati karena penyakit yang tak bisa diobati akibat mahalnya biaya.
Pemerintah terkesan tidak serius dengan pemberantasan korupsi. Hukum tebang pilih, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Para koruptor banyak yang masih menghirup udara bebas, menikmati hasil jarahannya dengan tenang.
Hukum sulit ditegakkan karena lembaga-lembaga tinggi negara dikuasai partai yang memiliki banyak pelaku korupsi. Ini disebabkan kontrak politik, atau politik balas budi yang mengabaikan kepentingan rakyat.Â
Malah seakan korupsi adalah dianggap sesuatu lumrah dan bukan kriminal. Hanya di Indonesia korupsi dijadikan sebagai gaya hidup. Hanya di negeri ini preman Tanjung Priok dianggap lebih kriminal dari para koruptor. Jika terus seperti ini, kapan kita bisa bangkit dari keterpurukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H