Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketukan di Tengah Malam

22 Maret 2018   21:14 Diperbarui: 22 Maret 2018   21:37 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak ibunda jatuh sakit beberapa bulan yang lalu, aku jarang tidur malam. Bagaimana bisa tidur jika sewaktu-waktu ibunda merintih dan memanggil namaku. Ya, hanya namaku. Ibunda tidak mau memanggil nama-nama yang lain. Padahal ada dua kakak yang berada dalam rumah ini. Satu kakak perempuan beserta suaminya, dan satu kakak laki-laki beserta istrinya.

Mungkin karena aku anak bungsu. Mungkin juga karena aku satu-satunya anak yang belum menikah, sehingga tidak direpotkan untuk mengurus suami dan anak-anak. Namun mungkin juga karena akulah anak yang paling dekat dan peduli kepada ibunda. Apapun permintaan ibunda, sedapat mungkin aku kabulkan.

Aku memang sangat menyayangi ibunda. Aku tahu juga bahwa aku merupakan anak yang paling disayanginya. Ibunda akan selalu mengutamakan aku dibandingkan anak-anak yang lain. Misalnya, memasak masakan kesukaanku tanpa mempertimbangkan selera yang lain. Sebaliknya, aku juga sering membawakan makanan kesukaan ibunda sebagai oleh-oleh sepulang kerja.

Maka, ketika ibunda jatuh sakit, aku memutuskan menghentikan semua kegiatan. Aku berhenti mencari uang dan vakum dari organisasi-organisasi yang aku ikuti selama ini. Masalahnya aku tahu pasti, tidak ada yang bisa merawat ibunda dengan sepenuh hati dan sepenuh waktu. Aku sadar, alasan pekerjaan dan mengurus keluarga menjadi andalan kakak-kakakku.

Boleh dikatakan, aku mengurus ibunda sepanjang hari. Ibunda terbaring tanpa daya di tempat tidur. Aku menyuapinya makan, memandikannya dan membimbingnya untuk tetap sholat. Namun setidaknya, pada siang hari aku masih bisa bergantian dengan kakak ipar yang membantu memasak dan mengurus keperluan lainnya. Sesekali aku bisa istirahat.

Kakakku yang lain hanya bisa menggantikan aku pada hari Minggu atau hari libur. Apalagi kakak-kakak yang letak rumahnya jauh dari kami, hanya menengok sesekali.  Bahkan ada yang sebulan sekali. Sementara yang berada jauh di provinsi lain, hanya menelepon, menanyakan perkembangan kesehatan ibunda.

Pada malam hari, sulit untuk mengharapkan bantuan yang lain.  Setelah pukul sepuluh, mereka akan jatuh tertidur. Tinggallah aku menjaga ibunda, dan bersiaga sepanjang malam. Aku mengisinya dengan membaca kitab suci, sholawat dan berzikir. Ada saja panggilan ibunda di tengah malam, entah itu untuk minum atau buang hajat. Sebagai anak berbakti, aku melayani dengan kasih sayang.

Sudah beberapa malam ini aku merasakan nuansa yang berbeda. Keheningan yang menggigit, bahkan tak ada satu pun suara binatang malam. Hanya suara dengkur kakak-kakaku yang terdengar halus. Sementara di luar, seakan waktu berjalan sangat lambat. Jam di dinding pun malas berdetak. tetapi aku berusaha menghalau rasa heran dengan terus mendekatkan diri kepadaNya.

Namun malam ini terasa sangat berbeda. Aku tak tahu kenapa. Belum lewat jam sembilan, kakak-kakakku telah tertidur nyenyak. Setelah makan dan minum obat, ibunda juga telah tertidur. Lalu aku masuk ke kamar sendiri, melakukan ritual ibadah seperti biasa sambil memasang telinga kalau-kalau ibunda terbangun.

Tengah malam suasana semakin mencekam. Tak ada satu pun suara yang ditimbulkan oleh makhluk seperti cicak atau nyamuk. Sunyi senyap. Rumah seperti diselimuti hawa asing yang tidak aku ketahui. Aku merasakan keanehan itu. Tetapi aku berusaha menghalau berbagai perasaan yang berkecamuk di dadaku dengan lebih khusyuk dalam berzikir.

Lewat tengah malam, dunia seakan berhenti. Sebuah ketukan di pintu kamar mengagetkan aku.

"Ya, siapa?" tanyaku.

Tak ada jawaban. Jantungku berdesir. Aku berusaha kembali memusatkan perhatian pada tasbih di tanganku.

Ketukan itu terdengar lagi. Disusul dengan salam yang nyaris berbisik," Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh".

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawabku berdebar.

Mengapa ada yang mengetuk pintu dan mengucap salam? Sedangkan setahuku tidak ada orang lain kecuali kakak-kakaku yang berada di rumah ini. Dengan memberanikan diri, aku bertanya.

"Siapa?".  Tapi tak ada jawaban.

Aku menunggu beberapa menit, barangkali ia akan kembali mengetuk pintu. Namun hanya keheningan yang ada. Rasa penasaran membuatku bangkit dari sajadah dan membuka pintu. Ternyata, tak ada seorang pun di depan kamarku. Aku pun menjadi tegang.

Aku menengok kamar satu persatu, yang kulihat adalah kakak-kakakku yang tetap tertidur pula di pembaringannya masing-masing. Kemudian aku menjenguk ibunda, matanya pun masih terpejam. Jantungku berdebar, siapakah yang mengetuk pintu dan mengucap salam?

Untuk beberapa lama aku meneruskan zikir di kamar ibunda. Wajah ibunda tampak damai. Senyuman tipis membayang di wajahnya yang pucat. Aku mengecup pipinya tanda kasih sayang. Oh, betapa aku menyanyangi ibunda.

Menjelang dini hari, aku kembali ke kamar untuk menunaikan shalat Tahajud. Baru saja selesai shalat witir, aku mendengar suara pintu kamar ibunda yang terbuka. Seseorang membuka pintu. Aku segera keluar kamar dan menjenguk ibunda.

Tapi tak seorang pun kutemui di sana. Hanya ibunda yang terbaring. Matanya masih terpejam. Hanya saja wajahnya semakin pucat. Ketika aku menyentuh kakinya, terasa dingin. Sangat dingin.

Bergegas aku berada di sisi ibunda, menggenggam tanganya sambil membaca dua kalimat Syahadat. Aku merasakan tangannya perlahan juga semakin dingin. Lalu kulihat dadanya yang diam, seiring dengan jantungnya yang berhenti berdetak. Lalu....nafasnya hilang.

"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," 

Dan air mata ini mengalir deras tak tertahankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun