"Ya, siapa?" tanyaku.
Tak ada jawaban. Jantungku berdesir. Aku berusaha kembali memusatkan perhatian pada tasbih di tanganku.
Ketukan itu terdengar lagi. Disusul dengan salam yang nyaris berbisik," Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh".
"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawabku berdebar.
Mengapa ada yang mengetuk pintu dan mengucap salam? Sedangkan setahuku tidak ada orang lain kecuali kakak-kakaku yang berada di rumah ini. Dengan memberanikan diri, aku bertanya.
"Siapa?". Â Tapi tak ada jawaban.
Aku menunggu beberapa menit, barangkali ia akan kembali mengetuk pintu. Namun hanya keheningan yang ada. Rasa penasaran membuatku bangkit dari sajadah dan membuka pintu. Ternyata, tak ada seorang pun di depan kamarku. Aku pun menjadi tegang.
Aku menengok kamar satu persatu, yang kulihat adalah kakak-kakakku yang tetap tertidur pula di pembaringannya masing-masing. Kemudian aku menjenguk ibunda, matanya pun masih terpejam. Jantungku berdebar, siapakah yang mengetuk pintu dan mengucap salam?
Untuk beberapa lama aku meneruskan zikir di kamar ibunda. Wajah ibunda tampak damai. Senyuman tipis membayang di wajahnya yang pucat. Aku mengecup pipinya tanda kasih sayang. Oh, betapa aku menyanyangi ibunda.
Menjelang dini hari, aku kembali ke kamar untuk menunaikan shalat Tahajud. Baru saja selesai shalat witir, aku mendengar suara pintu kamar ibunda yang terbuka. Seseorang membuka pintu. Aku segera keluar kamar dan menjenguk ibunda.
Tapi tak seorang pun kutemui di sana. Hanya ibunda yang terbaring. Matanya masih terpejam. Hanya saja wajahnya semakin pucat. Ketika aku menyentuh kakinya, terasa dingin. Sangat dingin.