Di samping kananku, ada seorang ibu muda yang sedang memangku putri kecilnya. Ia sibuk merapikan jilbab mungil milik putrinya. Melihat mereka, membuatku ingin memiliki anak. Ups! Mengapa pikiranku jadi sejauh itu sih? Halah Tiara, mau punya anak bagaimana, berpegangan tangan dengan Alif juga belum pernah? Sungguh pikiran yang konyol. Aku memukul kepalaku sendiri.
"Mengapa Teh? Teteh sakit, ya?" tanya Keyla sambil memegang tanganku. Dari nada bicaranya, dia terlihat khawatir.
"Tidak Key, Teteh hanya sedikit pusing, efek mabuk perjalanan," kilahku.
Kajian sepertinya sudah dimulai. Aku mendengar seorang pria mencoba pengeras suara di bagian Ikhwan. Aku melihat Keyla mengeluarkan buku kecil dan sebuah pulpen.
Aku jadi kagum pada Keyla, Dia sudah paham mengenai agama, tapi dia masih sungguh-sungguh dalam belajar.
Aku mulai menyimak materi tausiya dari Ustadz Adnan. Setiap kalimat yang keluar dari  beliau, bak sindiran halus atas apa yang telah aku lakukan selama ini. Apalagi tema kali ini tentang pernikahan yang menyangkut kewajiban suami istri.
Di akhir kajian, ada sesi tanya jawab. Ustadz Adnan memberikan kesempatan kepada para jamaah untuk bertanya. Refleks aku mengangkat tanganku.
"Teteh, mau bertanya?" tanya Keyla.
Astaghfirullah, tangan ini mengapa terangkat sendiri sih. Jelas saja aku tidak berani bertanya. Dengan cepat aku menurunkan tanganku kembali.
"Tii...dak jadi, Key." Aku menggelengkan kepala.
"Iya, silahkan akhwat yang di depan!" Ustadz Adnan menunjuk ke arahku.