Adalah wajar jika banyak pendapat warga, baik warga darat maupun warga maya, mengenai padamnya listrik di sebagian wilayah Pulau Jawa hari minggu (4/8/19) kemarin dan berlanjut padam bergilir pada hari ini.
Karena abad ini, listrik sudah merupakan sebuah kebutuhan vital dalam kehidupan manusia modern, dan ini merupakan tanggungjawab wajib pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Apapun itu alasannya, memang dalam hal pemenuhan kebutuhan pelayanan publik, seperti salah satunya kebutuhan listrik, adalah pemerintah melalui PLN yang bertanggungjawab.Â
Bahkan di Korea Selatan pernah menterinya mundur karena hanya mati lampu di negaranya selama tiga puluh menit. Hal serupa juga terjadi dibeberapa negara lain. Bentuk pertanggungjawaban pelayan publik terhadap warga yang dilayani.
Namun dalam kesempatan ini saya tidak membahas standar dan kualitas pelayanan publiknya PLN, saya hanya berbagi kisah ringan, tentang lampu.
Saat mati lampu siang kemarin sampai malam, kebetulan saya tidak kemana mana. Saya, istri dan anak bungsu hanya dirumah saja, kami bertiga di huma istana kecil, menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing.
Tiba-tiba suasana menjadi hening, tadinya TV yang selalu hidup berhenti bersuara, lampu yang menerangi ruangan tiba-tiba redup tak bercahaya, suara adzan berhenti menggema.
Anak saya memang sedikit gelisah, tapi tidak sampai menggerutu. Dia hilir mudik membuka pintu beranda, memastikan apakah listrik tetangga sudah menyala, dia bolak balik membalik saklar listrik, dia buka berita online mencari kabar berita dengan sinyal yang redap redup.
Saya hanya memperhatikan tingkahnya tanpa bersuara, saya biarkan dia dengan segala kegelisahannya, saya sendiri tetap melanjutkan pekerjaan membersihkan lemari buku, memaku dinding menukar lukisan yang dipajang, memperbaiki saluran mesin cuci yang sudah macet dan mengerjakan hal lainnya dihari libur.
Listrik belum juga menyala, setelah capek dari beres-beres, saya istirahat duduk dikursi depan televisi, ada istri, juga anak saya, kebetulan anak saya duduk disamping, kami saling tatap tatapan, saling terpaku dengan pikiran masing-masing dalam suasana hening.
Di tengah hampa dalam kesenyapan, saya sampaikan kepada anak saya.
"Dek enak juga kalau mati lampu yaa ?"
Anak saya agak sedikit kaget dan menatap saya, dan berkata "kok enak pa?" Jawabnya dengan ekspresi keheranan.
Saya tertawa kecil, saya sudah menduga ekspresinya. Saya bahagia dalam hati, inilah kesempatan saya berbagi kisah, berbagi pelajaran hidup dan hikmah dengan anak saya.
Kebetulan diatas lemari buku, saya memajang lampu storokiang (petromax) asli punya orang tua saya yang saya bawa dari rumah orang tua saya di kampung halaman.
Sengaja saya taruh lampu petromax itu disitu, diatas lemari buku didepan ruang tamu, sebagai pengingat dan penegur diri saya, keluarga dan anak-anak saya agar tidak lupa dengan asal muasal diri di masa lalu. Sekaligus sebagai doa dan prasasti pengingat jasa dan keringat orang tua dalam membesarkan dan memperjuangkan anaknya agar bisa bersekolah dan memiliki ilmu.
Saya ceritakan kepada anak saya, Â itu lampu petromax adalah lampu termewah saya dulu dalam belajar, lampunya pakai minyak tanah, bola lampunya dari kain yang dibakar dengan spiritus tapi bisa menyala bak lampu neon, untuk menghidupkannya harus dipompa, dengan energi ekstra, hidupnya tidak bisa lama, tergantung ketersediaan minyak tanah dan ketahanan kain bola lampunya.
Kemudian saya diam sejenak, saya lanjutkan berbagi kisah, itu lampu petromax tidak tiap malam dihidupkan, jika dihidupkan itupun hanya dari maghrib paling lama sampai jam sembilan malam. Setelah itu dilanjutkan memakai lampu togok.
Mendengar lampu togok anak saya tertawa kecekikan, karna waktu kami pulang kampung saya pernah melihatkan lampu togok kepada anak-anak saya.
Lampu itu biasanya dibuat dari kaleng cat ukuran kecil, kemudian penutupnya dilubangi dan dikasih kain sebagai sumbunya, kain sumbunya biasanya dari singlet putih yang sudah robek tidak terpakai lagi.
Dan dipagi hari, disaat bangun pagi maka lubang hidung kita akan dipenuhi asap dari api lampu, bak sarang laba laba hitam menggantung di bulu hidung.
Alhasil, disaat mati lampu itu, kesempatan saya menuangkan dan menumpahkan memori indah saya diwaktu kecil nan belum pernah menikmati kilaunya listrik didalam rumah.
Kebetulan anak saya, saat ini kelas 1 SMA, saya katakan saya baru mulai merasakan listrik, adalah saat saya memasuki kelas 1 SMA, saat saya kos jauh dari rumah orang tua.
Pengalaman saya pertama kali menikmati lampu listrik, saya hampir mati kesentrum, saat saya mau menukar bola lampu yang putus, saya pegang ujung lampunya yang ada besi alumuniumnya. Tangan dan tubuh saya bergetar, jantung saya berdebar serasa mau copot, untung saya bisa melepaskan.
Tiga hari tiga malam saya membisu, membeku dalam ketakutan diselingi rasa kedunguan, anak kampung merasakan hidup berlampu listrik.
Anak saya termangu....
Tibalah malam, listrik masih belum menyala, anak saya katanya mau membuat PR, kami hidupkan lilin hampir disetiap sudut. Sepertinya anak saya juga belum enjoy, saya bergumam dalam hati sambil tertawa kecil, ini kesempatan lagi berbagai kisah belajar dengan nyala lampu lilin sekelas lampu togok.
Saya ajak anak saya mengambil buku, kemudian saya ambil lilin, saya katakan, dulu guru papa mengatakan jika belajar lampunya taruh disebelah kiri, yang perlu diperhatikan jangan sampai tertidur karna jika tertidur bisa bahaya jika lampunya tersenggol, minyaknya tumpah dan bisa berakibat fatal, kebakaran.
Saya lihat anak saya mempraktekkan apa yang dulu pernah saya rasakan, diambilnya buku tulis, ditaruhnya lilin yang paling besar disebelah kiri tempat duduknya. Saya perhatikan dari jauh, ternyata, tidak sampai dua menit, dia mengambil HP nya lalu berlalu, menuju kursi ruang tamu, lalu dia terpaku dengan diam membisu seribu kata, kelu....
Setiap zaman, ada masanya
Setiap zaman, ada peradabannya
Setiap zaman, ada tekhnologinya
Setiap zaman, ada kisahnya
Setiap zaman, ada hikmahnya
Zaman seiring derak waktu selalu berputar, kita hanya mampu memaknai, menikmati dan mensyukuri apapun itu masa dan suasana era yang kita lalui...
Semua berkembang dan berubah, karena yang abadi adalah perubahan itu sendiri...
Kita bisa tahu dan menikmati 'terang' karena adanya 'gelap...' Gelap dan terang, dua fenomena yang selalu membawa hikmah dan berkah dalam kehidupan dan alam semesta...
Selamat menikmati mati lampu...
Foto : dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H