Mohon tunggu...
Albertus Indratno
Albertus Indratno Mohon Tunggu... -

Content developer di www.gudeg.net. Content developer di hatimyu...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Penundaan yang Menyelamatkan

17 Agustus 2010   01:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:58 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya mengamati Feri mengepak pakaiannya ke dalam tas punggung. Dia dan beberapa orang temannya berencana untuk berlibur ke Gunung Bromo. Rencana yang digagas dua minggu lalu ini akhirnya menjadi kenyataan hari ini. Feri melihat lagi coretan-coretan yang dibuat diatas selembar block note. Ada berpuluh barang yang ditulis, diperiksa dan dipastikan keberadaannya di dalam tas. Sebut saja uang, baju, sepatu, peta, kamera digital dan celana dalam tertulis rapi di kertas usang itu. Feri menarik tali, mengencangkan beberapa bagian lalu siap bersenang-senang. “Sampai sana pagi, langsung liat sunrise, kembali ke hotel, tidur, makan, sore harinya ke Malang. Yes! Yes! Yes,” pekiknya kegirangan sambil mengepalkan tangan.

Dia berpamitan kepada bapak ibunya. Adiknya yang sedang menonton TV tak lupa disalaminya. “Selamat ujian ya. Doakan aku mengingatmu dalam liburanku,” katanya.” Oh ya, mau oleh-oleh apa. Yang murah meriah mau ya. Pasir sama cerita dan foto-foto aja. Sip kan,” katanya meledek. Adiknya menjulurkan lidah sambil menyuruh Feri cepat pergi.

Sebelum melangkah keluar, telepon genggamnya berbunyi. Feri buru-buru menekan tombol yes. “Oh, Indra,” katanya dalam hati setelah melihat ke layar.

“Ya halo,” katanya.

“Hei, aduh, sori banget nih. Sorry, bener sorry banget,” kata Indra dari seberang.

“Ya, ya, emang kenapa,”

“Ini tiba-tiba saudaraku datang dari Jakarta. Aku harus menemani mereka. Sorry banget ya. Sorry banget. Aku ngga bisa ikut. Gimana kalau minggu depan aja. Ya? Adi juga ngga bisa ikut katanya. Sepi.”

“Ah, ya, ehm, kok…”

“Aduh sorry banget. Namanya juga mendadak.”

“Ya. Kan. Tapi. Kita sudah,”

“Maaf ya. Minggu depan ya. Janji. Bener janji. Kita pasti berangkat.”

“Ya. Ehm. Aku minggu depan belum,”

“Aduh sudah ya. Aku mau pergi dulu. Bye.”

Telepon dari seberang mati.

Sekarang giliran Feri lesu. Liburan tinggal kenangan. Feri melangkah ke kamarnya yang sepi. Lampu yang tadi dimatikan lalu dihidupkan kembali. Dia meletakkan tas punggungnya termasuk harapan dan impiannya ke Bromo di lantai kamarnya yang dingin. Dia merebahkan badannya di kasur tipis kusam dan berdebu itu. Pikirannya terbang kemana-mana. Hantu bernama seandainya dan hantu bernama aku pasti mulai masuk ke dalam hati dan pikirannya: ah sendainya aku di Bromo aku pasti senang, ah seandainya aku jadi berangkat aku pasti bisa melupakan masalah-masalahku, ah seandainya teman-temanku menepati janjinya aku pasti bisa melihat sunrise. Dia terus mengulang-ulang mencari kombinasi untuk dua hantu bernama seandainya dan aku pasti. Sampai dia tertidur.

Pagi hari. Bapak dan ibu Feri masih santai di depan televisi. Mereka menyaksikan berita pagi: sebuah kereta jurusan Surabaya-Jember-Banyuwangi terguling. Lima orang tewas. Belasan luka-luka. Kereta anjlok ke sawah karena beberapa bantalan rel telah rusak. Feri membisu. Dia kembali ke kamar lalu mengambil kertas coretan rute perjalanan dan transportasi yang akan digunakan.

Glek.

Feri terdiam mengamati kembali catatannya. Dia berkata dalam hati: seandainya tetap berangkat, mungkin aku yang jadi mayat. Feri memang merencanakan untuk pergi dengan kereta yang sama. Feri lalu memanjatkan syukur atas penundaan itu. Orang pertama yang ingin sekali ia temui adalah saudaranya Indra. “Untung mas, untung, sampeyan datang. Aku jadi batal mati,” begitu kira-kira.

***

Siapa yang belum pernah mengalami penundaan dalam hidupnya? Kalau belum saya mau bertanya lagi. Anda manusia apa batu? Batu memang tidak pernah mengalami penundaan karena mereka mati dan diam. Apapun, siapapun yang bergerak selalu mengalami penundaan. Benar bukan? Entah manusia atau mesin selalu pernah berada dalam situasi meleset dari rencana. Apa iya Harley Davidson tidak pernah mogok? Apa benar Singapore Airlines selalu terbang sesuai jadwal? Apa benar pasangan yang sudah merencanakan menikah akan selalu melangsungkan acara suci itu di waktu yang disepakati? Apa benar bintang kelas selalu mendapat beasiswa sesuai waktu yang direncanakan? Jawabannya satu: PASTI TIDAK.

Selama rencanamu berhubungan dengan orang lain atau terkait pihak-pihak yang berbeda, selalu ada kemungkinan untuk tertunda. Rasa kecewa, marah, jengkel, mulai pesimis adalah perasaan yang wajar bagi siapa saja yang mengalami penundaan. Nah, apa sebabnya? Pertama, penundaan melebarkan jarak antara harapan dan kenyataan. Ini yang sering disebut sebagai stress. Kedua, rasa takut untuk melihat kemungkinan yang lebih baik.

Nah, lalu bagaimana cara mengatasinya. Stress hanya akan berakhir jika individu-individu yang mengalami berani keluar dari lingkaran kenyamanan ini. Keberanian untuk keluar dari kotak kesengsaraan menjadi jalan satu-satunya untuk mengubah kemalangan menjadi keberuntungan, isak tangis menjadi tawa gembira. Seperti anak kecil yang belajar berenang pertama kali. Pilihannya hanya lompat atau duduk manis di pinggir kolam. Konsekuensinya jelas: tidak akan bisa berenang selamanya atau kadang kelelep tapi belajar sesuatu. Percayalah, melompat saja, melompat saja. Percayalah bahwa kadang pikiran ini perlu diistirahatkan, diganti dengan nyali dan keyakinan tentang gambaran hidup yang lebih baik.

Penundaan merupakan pertanda bahwa sesuatu yang kamu rencanakan sangat-sangat berharga. Percayalah! Pernahkah kamu menekan tombol pause pada mesin MP3 mu? Apa alasannya? Kemungkinan karena kamu ingin mendengarkan kembali syair lagu atau irama yang diputar. Iya kan? Sama dengan penundaan. Ini saatnya kamu sejenak untuk melihat ke belakang, kadang diam lalu duduk manis untuk menuliskan rencana hidupmu dengan lebih detail.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam situasi ini yaitu akumulasi, saran dan keputusan. Penundaan yang terlalu lama membuat situasi hidup seseorang semakin gelisah. Mintalah ketegasan. Buatlah dateline. Semakin cepat semuanya jelas maka semakin cepat kamu memulai rencana hidupmu yang baru. Penundaan merupakan situasi sulit. Ibarat berjalan dalam gelap, kamu memerlukan senter atau teman berjalan. Ada seseorang yang bisa menggandengmu ketika hampir terjatuh. Ada cahaya ketika gelap sudah semakin gulita. Saran dari teman dekat akan memandumu sedikit demi sedikit untuk keluar dari situasi yang menyesakkan ini. Pandai-pandailah memilih teman. Jangan sampai kamu malah terbakar dan terjerumus lalu mati karena saran-sarannya.

Terakhir, keputusan. Keputusan yang baik dibuat berdasarkan informasi yang lengkap. Informasi yang lengkap berasal dari berbagai sumber. Sumber yang lengkap berasal dari keingintahuan yang besar tentang sebuah persoalan. Pertanyaan besarnya: Apa hal terbaik yang akan aku dapatkan setelah penundaan ini? Percayalah, pintu-pintu kemungkinan akan terlihat dan kebahagiaan siap menyambutmu. Selamat membukanya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun