Mohon tunggu...
Emoef Abdu Somad
Emoef Abdu Somad Mohon Tunggu... Guru - Guru yang punya hobby nulis

Nama pena yang biasa digunakan EMOEF ABDU SOMAD. Sampai sekarang saya masih aktif sebagai pengajar di SMP N 11 Tegal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanggal 1 Juni, Aku Mati

14 Januari 2021   07:13 Diperbarui: 14 Januari 2021   11:30 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanggal 1 Juni, Aku Mati 

By Emoef Abdu Somad

Dia masih duduk di sana, di atas kursi rodanya, dengan tatapan hampa. Perempuan itu Vivian, istriku. Bunga poppy dan blue bells yang bermekaran indah di musim semi ini seolah tertutup kabut dalam pandangannya. Tak ada lagi tatapan takjub darinya saat menatap si lonceng biru ini menari gemulai karena tiupan angin, atau pekik bahagianya ketika sekawanan goldfinch membentuk brikade membelah langit. Kesukaannya menghidu aroma mawar di pagi hari juga telah pergi entah ke mana. 

"Aku akan mati tanggal satu Juni ini. Ya, aku akan mati." Itu yang dikatakannya pagi tadi, saat aku menyediakan teh hangat beraroma mint kesukaannya. Perkataan yang sama, yang terus dia ulang setiap hari, seminggu, dua minggu, dan berbulan yang lalu. 

Vivian seperti itu karena aku. Aku yang telah menenggelamkan rembulan di wajahnya, dan hanya menyisakan warna gulita. Wanita yang telah begitu setia menemani, menghadiahiku dengan cinta yang tulus, dari kami melarat sampai sesukses ini, dari kami tak punya apa-apa hingga memiliki puluhan kebun bunga di berbagai kota. 

Waktu itu satu hari di musim panas, Vivian berdiri mematung di pintu kamar. Pandangannya begitu terluka, saat memergokiku sedang menindih Jelena, perempuan Rusia yang menjadi salah satu karyawan kami. Aku tak menyangka Vivian akan pulang secepat itu, dari waktu seminggu yang dia janjikan di satu acara seminar petani bunga. Kukira dia akan mengamuk, menyerangku dan Jelena. Nyatanya dia membalikkan badan, menjauh dan naik ke lantai atas rumah kami. Saat aku menyusulnya, dia tengah duduk di dekat jendela. Pandangannya lurus pada rimbun bunga lily di pojok taman. 

"Vivi, aku ... aku bisa menjelaskannya. Aku dan Jelena---" Vivian mengangkat tangannya menyuruhku diam. Mata birunya tampak begitu redup, dan aku benar-benar semakin merasa bersalah. Perempuan itu kemudian beranjak, mengambil segelas wine, dan kembali duduk di dekat jendela.

 "Apakah bayi dalam perut Abigail juga anakmu?" 

Pertanyaan yang menusuk tapi tak bisa kusangkal. Terbayang gadis berkulit hitam yang beberapa waktu lalu dipaksa keluar dari rumah kami. Abigail menangis di kaki Vivian saat mengaku jika bayi yang ada di rahimnya adalah benihku. Namun, istriku lebih mempercayaiku. Aku menyangkal semua pengakuan Abigail kala itu. 

"Keluarlah, aku ingin sendiri sekarang." 

Setelahnya Vivian menjadi pendiam. Dia seperti bangau yang terasing dari kawanannya, mematung di sebuah kolam besar, membisu, dan mengasingkan dirinya dalam keheningan. Namun, dia masih melayaniku, membuatkan jus apel kesukaanku di pagi hari, mengiris barra de pan, mengisinya dengan chistorra yang sudah digoreng terlebih dahulu, mencampurnya dengan keju dan telur, kemudian memanggangnya sampai menjadi bocadillo de chistorra  sebagai sarapan pagiku yang lezat. 

Vivian juga masih memenuhi kebutuhan biologisku, walau dia melakukannya dengan keterpaksaan. Gestur tubuhnya bercerita tentang  itu, di setiap sesi percintaan kami. 

Hubungan kami menjadi benar-benar beku, ketika di awal musim semi, sepulangnya  dari menghadiri festival bunga, dia memergokiku berada di kamar kami. Waktu itu aku sedang bermandi peluh bersama Clark, di ranjang kami.

 "You son of a bitch!" makinya kasar. Dia memandang kami dengan ekspresi jijik. 

Aku lupa jika Vivian pembenci kaum pelangi. Itu pernah diungkapkannya padaku. Dia pasti marah melihat apa yang dibencinya, kini terpampang di hadapan dia, di tempat tidurnya. Terlebih pelakunya adalah aku, suaminya sendiri.

 "Mereka kaum menjijikkan karena sudah menentang kodrat sebagai manusia, melampaui batas, dan melanggar aturan Tuhan. Kalau mereka dibiarkan terus berkembang, lama-lama manusia akan punah." 

Tak lama pintu kamar kami dia tutup dengan keras. Waktu seolah terhenti. Namun, itu tak lama. Tiba-tiba saja terdengar benda jatuh dan teriakan Vivian. Saat aku keluar kamar, kudapati Vivian di bawah tangga, sepertinya dia terjatuh saat dia hendak naik ke lantai dua.

 "Panggilkan Dokter Demitri ..." ujarnya lemah. Tak lama dia pingsan. 

#

Mata indah Vivian telah terpejam sempurna. Dia pasti telah tertidur pulas. Segera aku mendekati jendela kamar dan menutupnya. Hari ini tanggal 31 Mei dan besok 1 Juni. Aku ingin sekali menemaninya, tidur disisinya malam ini. Aku takut semua ucapannya akan terbukti. Jika dia akan mati besok, sebab esok adalah tanggal 1 Juni. Aku khawatir dia melakukan hal-hal yang bisa membuatnya celaka. 

Ah, sayangnya aku tak cukup punya nyali untuk melakukan itu. Diri ini tak berani mengganggunya. Vivian mood-nya pasti akan rusak jika aku memaksakan diri tidur bersamanya. Sejak peristiwa itu, kami tidur di kamar terpisah.Akan sia-sia semua keceriaan yang tercipta sore ini. 

Sore tadi Vivian memintaku mengantarkannya berjalan-jalan ke taman dekat rumah. Dia mengajakku duduk di bawah pohon maple. Tangannya  menggenggam erat tanganku, wajahnya terlihat bahagia. Kupikir  setelah ini hubungan kami akan membaik. Itu harapan yang tersemat saat senja bersiap meninabobokan matahari. 

Kembali kupandangi wajah wanitaku. Perlahan kukecup keningnya. Embus nafasnya begitu lembut dan hangat menerpa wajahku. Tak  lama aku beranjak kembali ke kamar kami di lantai bawah. 

Mungkin  malam ini ini aku  akan menikmati beberapa teguk wine. Sampai kamar, aku meminum beberapa gelas anggur malam ini hingga  mabuk dan tertidur. Tengah malam aku terbangun karena lampu kamar dinyalakan oleh seseorang. Vivian berdiri di ujung ranjang. Dia benar-benar berdiri. Tentu saja aku terkejut dan bermaksud bangun. Bagaimana mungkin Vivian bisa tegak berdiri setelah dinyatakan lumpuh oleh Demitei? Saat itulah kusadari jika tangan dan kakiku terikat kuat.

 "Sa ... Sayang, apa yang kau lakukan? Kenapa kau mengikatku?" tanyaku gugup. 

"Rupanya bercinta dengan banyak jalang tak mampu memuaskanmu. Hingga Clark pun kau ambil dariku." 

Vivian memandang sinis ke arahku. Tuhan, jadi selama ini Vivian pura-pura lumpuh. Bodohnya aku. Pasti istriku bekerja sama dengan Demitri. Bukankah mereka sangat dekat dari zaman sekolah dulu? Dan Clark? Aku bisa melihat kilat kemarahan dan juga cemburu di mata Vivian.

 "Kau dengar, Bas. Tak ada yang boleh menyentuh Clark selain aku. Dia milikku, hanya milikku." 

"Vivi, lepaskan aku. Kita bisa bicara baik-baik. Kita---" 

Vivian menutup bibirku dengan bibirnya. Setelahnya dia turun dari tidur dan duduk di sofa yang ada di dekat ranjang. Kaki jenjangnya dia naikkan ke meja. Sebatang rokok diselipkan ke bibir ranumnya. Tak lama asap nikotin meluncur dari bibirnya. 

"Aku sudah lama bersabar dengan skandal-skandalmu, tapi kali ini aku sudah benar-benar muak denganmu, menjijikkan! Kau pantas untuk dienyahkan." 

Aku meronta-ronta, berusaha melepas ikatan kuat di kaki dan tangan ini, tapi tak berhasil juga. Vivian bangun dan melangkah anggun saat berjalan ke tombol lampu dan menekannya. Tak lama kamar ini gelap. Selanjutnya  terdengar pintu kamarku dibuka oleh seseorang. 

"Aku akan membantumu, meredakan hasratmu yang selalu bergelora saat melihat wanita, bahkan pria," ujarnya sambil menutup mulutku dengan kain. Aku sudah tak mampu bersuara lagi kini. 

"Tenang, Sayang. Ini tidak akan sakit," bisiknya di telingaku dengan lembut. Dia kemudian mengecup keningku. 

"Lakukan sekarang, Clark. Jangan sampai gagal!" perintahnya tegas. 

Aku berusaha meronta karena sadar akan bahaya yang mengancamku. Namun tenagaku benar-benar lemah. Apalagi semalaman diri ini meminum beberapa gelas anggur. Tak lama seseorang meraba tanganku. Aku tahu itu Clark. Sebuah jarum menempel di kulitku. Clark menyuntikan sesuatu ke tubuhku. 

"Tidak sakit kan, Sayang? Tidurlah. Aku akan menemanimu hingga kau benar-benar terpejam. Tidurlah ...." Vivian menarik selimut dan menutupi tubuhku. Dia juga memeluk dan menyandarkan kepalanya di dadaku. 

"Tidurlah, ini tak sakit. Betul kan, Sayang, ini tak sakit?" 

Dadaku terasa basah, sepertinya Vivian menangis, bersamaan dengan rasa mual yang menguasai perutku. Nafasku juga tersengal, rasanya seluruh saraf di tubuhku lumpuh. Entah apa yang Clark suntikan di tubuh ini. Kematian kini tengah menari di depanku. Ah, bodohnya. Bukankah ini tanggal 1 Juni? Bukankah Vivian sering meracau jika aku akan mati tanggal 1 Juni? Dan ternyata yang dikatakannya benar, bahwa aku akan mati esok hari, di tanggal 1 Juni. 

Tamat 

Wine = anggur 

Goldfinch = burung khas dari Eropa 

Blue bells = bunga lonceng biru 

Barra de pan = roti untuk membuat sandwich 

chistorra = sosis babi 

You son of a bitch = makian kasar 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun