Vivian juga masih memenuhi kebutuhan biologisku, walau dia melakukannya dengan keterpaksaan. Gestur tubuhnya bercerita tentang  itu, di setiap sesi percintaan kami.Â
Hubungan kami menjadi benar-benar beku, ketika di awal musim semi, sepulangnya  dari menghadiri festival bunga, dia memergokiku berada di kamar kami. Waktu itu aku sedang bermandi peluh bersama Clark, di ranjang kami.
 "You son of a bitch!" makinya kasar. Dia memandang kami dengan ekspresi jijik.Â
Aku lupa jika Vivian pembenci kaum pelangi. Itu pernah diungkapkannya padaku. Dia pasti marah melihat apa yang dibencinya, kini terpampang di hadapan dia, di tempat tidurnya. Terlebih pelakunya adalah aku, suaminya sendiri.
 "Mereka kaum menjijikkan karena sudah menentang kodrat sebagai manusia, melampaui batas, dan melanggar aturan Tuhan. Kalau mereka dibiarkan terus berkembang, lama-lama manusia akan punah."Â
Tak lama pintu kamar kami dia tutup dengan keras. Waktu seolah terhenti. Namun, itu tak lama. Tiba-tiba saja terdengar benda jatuh dan teriakan Vivian. Saat aku keluar kamar, kudapati Vivian di bawah tangga, sepertinya dia terjatuh saat dia hendak naik ke lantai dua.
 "Panggilkan Dokter Demitri ..." ujarnya lemah. Tak lama dia pingsan.Â
#
Mata indah Vivian telah terpejam sempurna. Dia pasti telah tertidur pulas. Segera aku mendekati jendela kamar dan menutupnya. Hari ini tanggal 31 Mei dan besok 1 Juni. Aku ingin sekali menemaninya, tidur disisinya malam ini. Aku takut semua ucapannya akan terbukti. Jika dia akan mati besok, sebab esok adalah tanggal 1 Juni. Aku khawatir dia melakukan hal-hal yang bisa membuatnya celaka.Â
Ah, sayangnya aku tak cukup punya nyali untuk melakukan itu. Diri ini tak berani mengganggunya. Vivian mood-nya pasti akan rusak jika aku memaksakan diri tidur bersamanya. Sejak peristiwa itu, kami tidur di kamar terpisah.Akan sia-sia semua keceriaan yang tercipta sore ini.Â
Sore tadi Vivian memintaku mengantarkannya berjalan-jalan ke taman dekat rumah. Dia mengajakku duduk di bawah pohon maple. Tangannya  menggenggam erat tanganku, wajahnya terlihat bahagia. Kupikir  setelah ini hubungan kami akan membaik. Itu harapan yang tersemat saat senja bersiap meninabobokan matahari.Â