Kembali kupandangi wajah wanitaku. Perlahan kukecup keningnya. Embus nafasnya begitu lembut dan hangat menerpa wajahku. Tak  lama aku beranjak kembali ke kamar kami di lantai bawah.Â
Mungkin  malam ini ini aku  akan menikmati beberapa teguk wine. Sampai kamar, aku meminum beberapa gelas anggur malam ini hingga  mabuk dan tertidur. Tengah malam aku terbangun karena lampu kamar dinyalakan oleh seseorang. Vivian berdiri di ujung ranjang. Dia benar-benar berdiri. Tentu saja aku terkejut dan bermaksud bangun. Bagaimana mungkin Vivian bisa tegak berdiri setelah dinyatakan lumpuh oleh Demitei? Saat itulah kusadari jika tangan dan kakiku terikat kuat.
 "Sa ... Sayang, apa yang kau lakukan? Kenapa kau mengikatku?" tanyaku gugup.Â
"Rupanya bercinta dengan banyak jalang tak mampu memuaskanmu. Hingga Clark pun kau ambil dariku."Â
Vivian memandang sinis ke arahku. Tuhan, jadi selama ini Vivian pura-pura lumpuh. Bodohnya aku. Pasti istriku bekerja sama dengan Demitri. Bukankah mereka sangat dekat dari zaman sekolah dulu? Dan Clark? Aku bisa melihat kilat kemarahan dan juga cemburu di mata Vivian.
 "Kau dengar, Bas. Tak ada yang boleh menyentuh Clark selain aku. Dia milikku, hanya milikku."Â
"Vivi, lepaskan aku. Kita bisa bicara baik-baik. Kita---"Â
Vivian menutup bibirku dengan bibirnya. Setelahnya dia turun dari tidur dan duduk di sofa yang ada di dekat ranjang. Kaki jenjangnya dia naikkan ke meja. Sebatang rokok diselipkan ke bibir ranumnya. Tak lama asap nikotin meluncur dari bibirnya.Â
"Aku sudah lama bersabar dengan skandal-skandalmu, tapi kali ini aku sudah benar-benar muak denganmu, menjijikkan! Kau pantas untuk dienyahkan."Â
Aku meronta-ronta, berusaha melepas ikatan kuat di kaki dan tangan ini, tapi tak berhasil juga. Vivian bangun dan melangkah anggun saat berjalan ke tombol lampu dan menekannya. Tak lama kamar ini gelap. Selanjutnya  terdengar pintu kamarku dibuka oleh seseorang.Â
"Aku akan membantumu, meredakan hasratmu yang selalu bergelora saat melihat wanita, bahkan pria," ujarnya sambil menutup mulutku dengan kain. Aku sudah tak mampu bersuara lagi kini.Â