Mohon tunggu...
Emoef Abdu Somad
Emoef Abdu Somad Mohon Tunggu... Guru - Guru yang punya hobby nulis

Nama pena yang biasa digunakan EMOEF ABDU SOMAD. Sampai sekarang saya masih aktif sebagai pengajar di SMP N 11 Tegal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengkhianatan

2 Oktober 2020   09:46 Diperbarui: 2 Oktober 2020   09:47 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pengkhianatan

By Emoef Abdu Somad 

Para bajingan itu melampiaskan syahwat binatang mereka di depanku. Pertama bapak, kemudian simbok. Tebasan senjata tajam membuat orang-orang yang paling kukasihi meregang nyawa di depan mata. Bau anyir darah menguar, memenuhi ruangan, mengiringi sukma yang terpisah dari raga kedua orang tuaku. 

Aku terus tak bergerak, pura-pura mati. Sekuat hati menahan torehan rasa sakit, nyeri badan, dan perih yang merajam hati.  Hal paling menyakitkan adalah saat menyaksikan perlakuan enam penjahat tersebut pada Yu Sri, kakak kandungku. 

Aku yang masih berusia sembilan tahun, terpaksa melihat peristiwa nista tersebut, walau hanya dengan cara mengintip.  Raungan dan permohonan setitik iba dari bibir Yu Sri, tak menghentikan perlakuan iblis mereka. Isi perut terasa mau keluar, saat melihat selangkangan para bedebah tersebut, secara bergantian mengoyak dan merenggut kehormatan kakakku. Yu Sri digilir beberapa kali, diiringi derai tawa iblis para budak setan ini. Waktu bergulir lambat, semesta mendadak senyap. Suara Yu Sri tak terdengar lagi, hilang bersama merah darah yang mengalir dari raganya. 

"Waktunya kita pergi. Juragan Barja pasti senang dengan hasil kerja kita malam ini." 

Lelaki pertama dan terakhir yang melampiaskan nafsu bejadnya di tubuh Yu Sri menaikkan kolor hitamnya. Satu nama terekam di memori otakku. Tiba-tiba saja dia melepas topeng yang dikenakan. Dalam keremangan lampu teplok, kupindai wajahnya. Wajah durjana yang perlakuannya paling kejam di antara rekan dia yang lain. 

"Kang Tama, Ning pulang dulu, ya." 

Lamunanku lesap, seiring sebuah kecupan lembut dari Kemuning mendarat di pipi ini. Kupandangi perempuan di depanku. Tubuh sintalnya begitu molek. Beberapa saat yang lalu tangan dan bibir liarku menjamah setiap inci tubuhnya. Setelahnya, ingatan akan masa lalu pasti datang menyiksa. 

"Aku isih kangen, Ning. Jangan pulang dulu, ya, Cah Ayu." Tanganku mengelus leher jenjangnya, hasratku kembali meletup, memandangi tubuhnya yang hanya terbalut kebaya tipis. Apalagi Kemuning sengaja membiarkan pakaian yang dia pakai sedikit terbuka di bagian atas.

 "Sssttt. Tiga hari lagiNing balik lagi, sabar yo, Kang."

 "Yo wis, kowe hati-hati yo. Itu kotak perhiasan di atas meja buatmu. Oleh-oleh dari kota kadipaten kemarin." 

Kemuning beringsut ke meja di sudut kamar, mendekati kotak yang dimaksud. Matanya yang ndamar kanginan membeliak indah ketika melihat isinya. 

"ini tenan buat aku, Kang?" 

"Iyo, Cah Ayu. Suka?" tanyaku sambil membelai rambutnya. Kemuning mengangguk.

 "Suwun yo, Kang. Ini cantik banget." 

"Secantik kamu, Sayang." Kutarik tubuh indah di hadapan, Kemuning tak menolak. Sekotak perhiasan itu pasti jadi penyebabnya. Kami kembali melakukan pergumulan penuh dosa. 

# 

Lelaki di hadapanku tampak mengiba, air mata berlinang. Lenyap sudah wajah iblis yang dulu dia tunjukkan belasan tahun silam, saat  menghabisi keluargaku. Dia bajingan terakhir yang menjadi sasaran dendamku. Kelima kawannya telah terlebih dahulu melolong di neraka. 

"Kau bunuh saja aku, tapi jangan kau sakiti putriku. Dia tak bersalah," pintanya dengan memelas. Bibirnya gemetaran. 

Cuih! Kuludahi wajah bopeng dengan bekas luka memanjang yang terpatri di pipinya. Wajah serupa iblis yang terekam kuat dalam benak. Rambut lelaki yang kini tak lagi muda ini terjambak kuat. Sejak malam jahanam tersebut, rasa welas asih dalam diriku telah terbunuh mati. 

"Kemana rasa ibamu waktu kau gagahi Yu Sri, anak Juragan Darso? Kemana rasa belas kasihmu setelah kau berpesta merusak kehormatan kakakku, kau memperkosanya bersama kelompok bajinganmu, dan setelah itu kau membunuhnya. Kemana waktu itu hatimu, hah?" Aku berteriak marah, kilatan peristiwa itu kembali datang, mengobarkan rasa dendam yang semakin membara. 

Dia tampak kaget, matanya membeliak. "Kau ... kau .... "

 "Ya, aku Tama. Anak laki-laki juragan Darso yang kalian kira telah mati malam itu. Kau dengar, Bajingan! Hari ini aku akan mengantarmu menemui Bapak dan Simbok, menjumpai Yu Sri, orang-orang yang kau perlakukan seperti binatang. Orang-orang yang kau antar pada kematian mereka dengan penuh kepongahan, dengan nafsu iblismu."

 "Aku hanya disuruh. Tolong ampuni aku, jangan sakiti anakku ...." 

Bibir hitam itu terus mengiba, dan aku tak peduli. Mataku gelap, hatiku lebih gelap. Setan menabuh genderang, saat diri ini mendekati tubuh gadis yang kini tampak ketakutan. Sebelum aku memulai aksiku, seringai kejam kuhadihkan untuk sang bapak. 

"Bapaaak, tolong Ayu. Sakiiit ...." Lolongan gadis itu bak orkestra di telinga. Saat aku mencabik keprawanannya, Yu Sri seperti hadir di kamar ini. Suara-suara itu kembali memenuhi ruang gelap hatiku, menyulut bara dendam dan kebencian yang telah mengakar kuat. Tak ada kenikmatan yang kurasa, hanya rasa sakit dan kesedihan saja setelah aku usai membalas derita kakak tercintaku. Gadis itu masih menangis, sedang si tua bangka tampak mendelik kaku melihat balasan perbuatannya di masa lalu. Aku yakin, sebentar lagi malaikat akan datang, menghadiahinya dengan kematian yang paling busuk. 

# 

Dengan uang dan kekayaan yang kupunya, segala keinginan sangat mudah terpenuhi. Banyak yang antre, berbanjar, ingin dijadikan teman. Tentu saja mereka cuma ingin uang, uang dan uang. Diriku terkenal sangat royal dan tidak pelit. Aku tak pernah peduli dengan orang-orang di sekelilingku. Bagiku wajah mereka semua sama, munafik! Namun, mereka bisa dimanfaatkan untuk menemukan para pembunuh keluargaku. Mengawasi gerak-gerik mereka selama dua puluh empat jam. Aku puas sudah bisa memusnahkan mereka, tinggal biangnya. Dia target istimewaku. 

Kemuning tampak ternganga saat aku bercerita semuanya. Dia mendekapku erat, menyembunyikan wajah. "Kenapa kau ceritakan semua ini padaku, Kang?"

 "Karena aku percaya padamu. Aku sangat mencintaimu. Tak ada orang yang kupercaya selain kamu dan Lik Sarno, adik kandung almarhum bapak." Aku membelai pundak telanjang milik Kemuning. 

"Kalau boleh tau, siapa pembunuh keluargamu, Kang?" tanyanya dengan sedikit takut.

 "Kamu pasti tak akan percaya kalau kuberitahu siapa orangnya." 

Kemuning terlihat menunggu jawabanku. "Siapa dia, Kang. Apa aku mengenalnya?"

 Aku menatap lekat wanita di hadapan, mencoba meyakinkan hati kalau dia bisa dipercaya. Kemuning mengangguk, meyakinkan bahwa rahasia besar ini aman padanya. 

"Juragan Barja, suami kamu." Bibir merekah itu tampak ternganga. Dia terlihat sangat kaget. Aku tak bisa menafsirkan ekspresi wajahnya. 

"Maafkan aku, Dek. Dulu aku mendapatkanmu hanya untuk balas dendam. Namun, aku sadar bila kau telah merebut seluruh cinta di hati ini. Aku ingin membebaskanmu, agar tak menjadi simpanan bajingan sialan itu. Aku ingin menikah denganmu. Bukankah kau mencintaiku?"

 Kemuning terdiam, wajahnya terlihat aneh. Kudekap kembali ia dalam pelukan. "Apa ... apa Kang Tama juga yang membunuh orang-orang kepercayaan Juragan Barja?" Suara Kemuning terdengar gemetar. 

Aku mengangguk. "Jangan membenciku, Ning. Bantulah aku. Kau tak layak menjadi milik si Barja. Bantu aku tuk melepas segala amarah ini. Hanya dengan membunuh Barja maka dendamku akan selesai. Setelahnya kita akan menikah, punya anak, dan bahagia selamanya." Kemuning tak menjawab. Pandangan matanya kosong. Malam ini dia sangat berbeda. Namun, perempuan ini tak menolak ketika aku kembali mencumbunya, membawanya kembali menapaki surga dunia. 

# 

Kemuning bersedia membantuku. Segala rencana jadi lebih mudah karena bantuanya. Dia memberikan info yang berguna mengenai suaminya. Mengalahkan Juragan Barja harus melalui hitungan yang matang. Dia orang paling berpengaruh di kawedanan ini, bahkan juga di kadipaten. Dengan kekayaan yang dimilikinya, mudah saja bagi dia menyumpal mulut para penguasa. Bajingan ini benar-benar kebal hukum. Aku yakin, akan tiba waktunya bisa membunuh laki-laki ini. Beberapa orang kepercayaan si bangsat berhasil kusuap. Mereka tergiur pundi-pundi emas yang ditawarkan. Mereka siap menjadi budakku. 

Mulailah aku menabur bencana untuk musuhku ini. Kawedanan geger, ketika tetiba ternak Juragan Barja bertumbangan, mati karena diracun. Prajurit kadipaten tidak bisa menangkap pelakunya. Bukan hanya sampai di situ, begal bayaranku sukses merampok kereta kuda yang mengangkut dagangan milik si Barja. Pertanian tembakau milik dia habis kubakar. Si tua bangka di ambang kebangkrutan.

 Keberuntungan mulai menjauhinya. Kemenangan mulai menampakkan senyumnya untukku. Malam ini aku berhasil menculik laki-laki sialan itu dari rumahnya. Kemuning berhasil membuat tidur pengawal di bangunan gedong itu. Aku pandangi wajah laki-laki tua yang kini terikat di tiang besar salah satu gudangku. Dalam kondisi tak berdaya, wajahnya masih terlihat arogan. Tak ada sorot takut di kedua matanya. 

"Siapa kamu anak muda, apa maumu?" tanyanya dengan tatapan tajam. 

"Siapa aku itu tidak penting, Bangsat! Aku cuma menginginkan nyawamu." 

"Hah pemuda cacat sepertimu tak mungkin mampu membunuhku. Cuh!" Bajingan itu meludahi wajahku. 

Seketika darahku menggelegak. Kubalas perbuatannya dengan satu tusukan di telapak tangan dia. Setan alas, dia tak bersuara sama sekali, juga tak menunjukkan rasa sakit. Darah mulai mengalir membasahi lengannya.

 "Itu untuk kaki yang telah kau buat pincang seumur hidup, Bajingan! Dan ini untuk nyawa Bapak, Simbok, dan Yu Sri yang telah kau ambil beberapa tahun silam!" 

Aku seperti kesetanan. Kutusuk berkali-kali laki-laki tua ini dengan senjata yang ada di genggaman. Air mata mengalir, nafas memburu, setan mengendalikkanku kini. Darah mengalir di mana-mana. Bangsat sialan ini meregang nyawa. Aku tak mau berlama-lama membiarkan dia hidup.

 "Hahaha ... kau temuilah bapak dan simbokku. Mereka telah menunggumu. Juga Yu Sri. Aku puas ... aku puasss!" Setan menari bersamaku, merayakan kemenangan ini. Tiba-tiba saja, bug! Seseorang memukulku dari belakang. Darah mengucur dari belakang kepalaku. Aku limbung karena kepala ini dihantam benda berat. 

Samar-samar, sebelum kesadaran hilang, aku melihat sosok semampai berbaju serba hitam, berdiri di atasku. Perlahan dia membuka kain yang menutupi wajahnya. Aku terkejut. Itu Kemuning! 

"Kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau mengkhianatiku?" Aku mencoba menjaga kesadaran, di antara rasa sakit yang menyerang. 

Kemuning tersenyum sinis. "Kau memperkosa dan membunuh adikku, Kang. Aku benci kamu!" 

"Membunuh adikmu? Sss -- siapa adikmu?" 

"Aku tak masalah kau bunuh si tua bangka itu, Cak Dikun, orang kepercayaan si Barja. Bahkan aku sangat bahagia kau bunuh si Barja.  Namun, aku tak terima saat kau bunuh Gayatri." 

"Gayatri?" 

"Kenapa? Kenapa kau rubah rasa cinta ini menjadi benci, Kang? Kenapa?" Kemuning sesenggukkan. "Ayu Gayatri adikku. Kami sekandung walau beda bapak. Si Dikun ayah tiriku. Dia menjualku pada si Barja. Gayatri anak kandungnya, hasil pernikahan dengan ibuku. Aku menyayangi adikku. Kenapa kau melampiaskan dendammu pada gadis yang tak bersalah. Kenapa, Kang? Jawab aku!"

 Ada godam yang terasa menghantam dadaku. Sakit. Kemuning kini merasakan hal yang sama seperti yang pernah aku rasakan beberapa tahun lalu. Bibirku mendadak terkunci. Tanpa sadar,  aku telah menyakiti perempuan yang begitu kucintai ini. 

"Maafkan aku, Kang. Kamu juga harus mati. Tapi aku tak akan mengotori tanganku, seperti yang kau lakukan pada adikku. Kamu yang memadamkan seluruh cintaku karena dendammu yang tak berkesudahan." Kemuning berlalu. Tak berapa lama beberapa bayangan hitam mulai membakar gudang ini. Api mulai berkobar. Api dendam di mataku meredup. Setan bersorak karena telah sukses menjadikkan aku sekutunya. Dendam ini akhirnya membunuhku. Aku akan melolong bersama Juragan Barja dan anak buahnya yang telah habis kubantai, di kerak neraka. 

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun