"Yo wis, kowe hati-hati yo. Itu kotak perhiasan di atas meja buatmu. Oleh-oleh dari kota kadipaten kemarin."Â
Kemuning beringsut ke meja di sudut kamar, mendekati kotak yang dimaksud. Matanya yang ndamar kanginan membeliak indah ketika melihat isinya.Â
"ini tenan buat aku, Kang?"Â
"Iyo, Cah Ayu. Suka?" tanyaku sambil membelai rambutnya. Kemuning mengangguk.
 "Suwun yo, Kang. Ini cantik banget."Â
"Secantik kamu, Sayang." Kutarik tubuh indah di hadapan, Kemuning tak menolak. Sekotak perhiasan itu pasti jadi penyebabnya. Kami kembali melakukan pergumulan penuh dosa.Â
#Â
Lelaki di hadapanku tampak mengiba, air mata berlinang. Lenyap sudah wajah iblis yang dulu dia tunjukkan belasan tahun silam, saat  menghabisi keluargaku. Dia bajingan terakhir yang menjadi sasaran dendamku. Kelima kawannya telah terlebih dahulu melolong di neraka.Â
"Kau bunuh saja aku, tapi jangan kau sakiti putriku. Dia tak bersalah," pintanya dengan memelas. Bibirnya gemetaran.Â
Cuih! Kuludahi wajah bopeng dengan bekas luka memanjang yang terpatri di pipinya. Wajah serupa iblis yang terekam kuat dalam benak. Rambut lelaki yang kini tak lagi muda ini terjambak kuat. Sejak malam jahanam tersebut, rasa welas asih dalam diriku telah terbunuh mati.Â
"Kemana rasa ibamu waktu kau gagahi Yu Sri, anak Juragan Darso? Kemana rasa belas kasihmu setelah kau berpesta merusak kehormatan kakakku, kau memperkosanya bersama kelompok bajinganmu, dan setelah itu kau membunuhnya. Kemana waktu itu hatimu, hah?" Aku berteriak marah, kilatan peristiwa itu kembali datang, mengobarkan rasa dendam yang semakin membara.Â