Saya sempat pesimistis ketika mendapati kenyataan bahwa visi besar almarhum ingin menjadikan Lamakera sebagai Epicentrum Peradaban Islam di NTT akan tenggelam seiring berpulangnya almarhum. Tapi pesimisme saya tersebut sedikit tertepis, ketika dari celah-celah harapan yang nyaris punah itu, muncul secercah sinar terang yang akan kembali memberi suluh (sinar) untuk mengibarkan kembali semangat, spirit perubahan menuju Era Baru Lamakera, melalui adik Ahmad Johan.
Saya juga percaya bahwa adik Ahmad Johan, meski sedikit dengan langgam dan gaya berbeda, tapi substansinya tetap sama, ingin melakukan tajdid, perubahan (tepatnya pembaruan) ke arah suasana yang lebih baik bagi Lamakera sebagai sebuah entitas sosial dan juga entitas politik. Politik dalam konteks dan pengertian yang luas, tidak terjebak pada politik sekteraian, politik sectoral, apalagi politik praktis-parokial tanpa norma dan etika. Pendek kata ingin membentuk Lamakera sebagai entitas yang civilized society, sebagai komunitas sosial yang berkeadaban dengan menerapkan politik tingkat tinggi (high politic).
Romantisme Historis
Judul artikel (tulisan) ini, secara sepintas dapat membuat siapa saja yang merasa sebagai anak Lewotanah Lamakera akan merasa gerah, geram dan marah! Tapi dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya menggunakan frase, seperti tertulis pada judul, sebagai sebuah otokritik. Meski dengan apologie otokritik, sebagai orang terdidik, saya perlu menyampaikan permohonan maaf, jika dan kalau, ada yang merasa risih dengan judul tulisan ini.
Pernah pula (baca di sini), saya mengingatkan agar dalam rangka ingin mewujudkan "kebesaran" Lamakera, maka jangan hanya terjebak pada romanstime historis, yang cenderung hanya memberi sensasi temporer. Jangan terlalu "mengkerdilkan" Lamakera dengan mencoba meng-glorifikasi Lamakera, "seolah-olah!" semua harus berpusat di Lamakaera (Lamakera centries). Karena hal itu hanya memberi efek simptomatis, yang bersifat tidak ajeg (tidak langgeng dan sementara).
Bahwa dalam latar sejarah, Lamakera pernah dikenal dan menjadi pelopor peradaban Islam regional NTT. Kepeloporan itu terekam secara jelas dalam dokumentasi pustaka (tekstual), visual, maupun dalam budaya tutur (lisan, verbal). Itu memang satu fakta historis.
Tapi fakta lain hari ini, seiring dengan gerak perubahan yang terjadi pada hampir semua lapisan masyarakat dan komunitas lain di luar Lamakera sebagai sebuah entitas (sosial) budaya maupun politik, maka romatisme historis itu hendaknya perlu kaji ulang. Muncul tanya, "Mengapa demikian?" Katakanlah sebagai sebuah kilas balik introspekif, Â supaya kita tidak terjebak pada romantisme yang bersifat semu. Romantisme sentimental yang hanya memberi efek kebanggaan simbolik yang tidak mengakar, dan tidak pula membekas (menyejarah).
Anomali Lamakera sebagai Epicetrum PeradabanÂ
Lamakera, jauh sebelum kemunculan Kakanda alm. Dr. M. Ali Taher Parasong, kemudian dilanjutkan oleh adik Ahmad Johan, juga pernah memiliki tokoh-tokoh kharismatik dalam klan suku Kampung Lamakera (Sinun Ona dan Parak Ona, mohon koreksi kalau saya keliru!). Hal itu bisa terjadi karena secara faktual dari dua klan inilah yang memiliki akses yang paling besar dan memungkinkan untuk mendapatkan pencerahan melalui transformasi pendidikan dan budaya (juga spiritualitas). Mengapa demikian? Karena mereka memiliki setidaknya dua keuntungan sejarah, sebagai otoritas pemerintahan (kerajaan), yang beresonansi secara linier dan positif terhadap keuntungan sebagai otoritas keagamaan. Â Â Â
Melalui sayap pendidikan dan institusi keagamaan para "tokoh" dari dua klan ini melakukan transformasi pendidikan dan budaya terhadap entitas dan komunitas budaya dan politik di luar Lamakera. Sehingga wajar melalui investasi pendidikan dan keagamaan ini kemudian secara tidak langsung memberi dan atau mendapat appresiasi sebagai implikasi positif, terhadap nama Lamakera dalam konteks regional NTT, yang terekam secara apik dalam catatan historis. Â