Pengantar
Saya membutuhkan waktu yang relatif cukup lama untuk mengumpulkan dan memulihkan memori dan sebagian kekuatan yang nyaris hilang untuk memulai menuliskan "kisah" ini.Â
Mengingat ketika untuk pertama kali mendengar berita duka yang mengabarkan tentang kepergian keharibaan Ilahi Rabbi, Saudara, Kakak, Opuklake, teman, sahabat, rekan (seperjuangan), dan (pada batas tertentu, saya anggap sebagai), maaf, "kompetitor" (dalam tanda petik), alm. MALIK KADIR K.S., membuat saya berada pada sebuah situasi, "bagai runtuh bumi yang sedang dipijak."Â
Sementara di saat yang bersamaan, atas berita itu, saya tidak memberikan reaksi dan respon  apapun, tertunduk lesu, terdiam dalam bisu, terutama berita duka di lini massa, media sosial (terutama WA, IG, dan FB).
Bahwa saya tidak memberikan reaksi dan respon terhadap berita duka yang datang, terutama menanggapi berbagai ungkapan duka, simpati, dan doa tulus dari berbagai kalangan atas kepergian almarhum, meski hanya berupa gambar emoticon (khusus di media sosial), bukan berarti saya kehilangan perspektif keluarga.Â
Justru pada kondisi itu, saya ingin mengatakan bahwa saya berada dalam sebuah kondisi, lebih dari apa yang mungkin dirasakan semua orang, kegamangan, bergulat sangat keras dengan bathin saya, dan terus bertanya, bahwa sungguh kenapa AJAL itu begitu cepat datang?
Semua ungkapan, pernyataan duka, belasungkawa, simpati, dan doa yang mengalir (seperti terungkap oleh berbagai kalangan (keluarga maupun lainnya)) di media sosial, tidak cukup menggerakkan bathin saya untuk turut melakukan hal yang sama.Â
Bagi saya ekspresi duka, belasungkawa, simpati, dan doa yang disampaikan oleh berbagai kalangan tidak cukup mewakili dan menggambarkan apa yang sedang bergolak dalam bathin saya. Semua perasaan berkecamuk dan menyatu hingga saya tak mampu, meski hanya sekedar untuk menarasikan secara eksplisit apa sesungguhnya yang bergolak dalam nurani saya.
Masa Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar
Saya dan almarhum (Malik Kadir) lahir pada bulan dan tahun yang sama (Februari 1970). Hal ini merujuk  pada tanggal kelahiran yang tertera pada Ijazah SD, yang kemudian diperkuat oleh Akte Kelahiran yang diterbitkan belakangan.Â
Hanya saja berdasarkan kronologi tanggal yang "dibuatkan" Kepala Sekolah SD, ketika kami tamat, 1982 dan 1983, maka almarhum lebih tua lebih kurang tiga minggu ketimbang saya. Selisih umur yang relatif tidak signifikan membuat kami bertumbuh dan berkembang secara bersama-sama dari SD hingga perguruan tinggi.
Meski secara bersama-sama mendaftar dan sekolah pada tahun yang sama, tapi waktu kemudian membuktikan bahwa almarhum tamat terlebih dahulu sebagai angkatan pertama (1982) ketimbang saya.Â
Hal itu disebabkan karena ketika pada tahun pertama sekolah tersebut saya menderita sakit yang cukup lama, sehingga membuat saya harus tertinggal selama satu tahun. Hingga pada akhirnya saya berhasil menamatkan sekolah di SD Inpres Watobuku (1983) itu sebagai angkatan kedua.Â
Ada sebuah peristiwa ketika masa kanak-kanak pra sekolah, karena satu dan lain sebab, membuat saya harus bergulat sama almarhum, dan mungkin karena saya sedikit lebih beruntung sehingga saya mampu memenangkan "perkelahian" ala anak-anak itu (kebetulan saya mampu membanting almarhum ke tanah).Â
Dan seperti halnya sifat kanak-kanak jika dalam kondisi "kalah" pasti akan menangis. Gegaranya cuma masalah sepele, yakni ketika bermain kelereng kami berselisih. Peristiwa itu terjadi ketika sedang dilaksanakan khitanan massal (di rumah adat (lango sukku') Kukun O'na, termasuk saya (juga ikut dikhitan).
Hingga kini insiden itu tetap membekas dalam memori saya. Dan sebagaimana  sifat kanak-kanak pada umumnya, insiden "gulat" itu tidak lantas membuat kami harus membentangkan jarak. Justru dari situlah awal mula kebersamaan kami merentang jauh hingga kami "berpisah" karena alasan tugas dan pengabdian.Â
Trauma MengajiÂ
Kenangan lain yang sulit untuk begitu saja dilupakan adalah kesan suka duka belajar mengaji. Saya dan almarhum belajar mengaji pada guru yang sama, yakni ayah dan kakak kandung saya. Dalam banyak kesempatan lebih banyak diajar oleh kakak lelaki saya.Â
Satu hal yang tak bisa kami (terutama saya) lupakan adalah setiap belajar mengaji, pasti akan selalu diisi dengan prosesi rutin, menangis bersama atau bergantian karena mendapat hardik (terutama dari Kakak saya) bila kami salah melafalkan ayat atau lupa bacaan surat. Rutinitas menangis menjadi pemandangan yang biasa sekaligus sebagai beban berat setiap kali harus memasuki waktu belajar (mengaji).
Karena kondisi "traumatis" itulah hingga kami tamat SD, tak satupun di antara kami dapat mengeja huruf-huruf hijaiyah, apalagi membaca (mengaji) Qur'an. Yang bisa kami andalkan adalah kemampuan menghafal, dan pada kenyataannya, kami hanya bisa menghafal ketimbang dapat membaca Qur'an dengan mengeja dan mengenal huruf-hurufnya. Miris memang!
Karena ketidakbisaan kami mengenali dan memngeja huruf-huruf hijaiyah, sehingga kemampuan menghafal qur'an waktu itu (terutama juz ke-30, surat-surat pendek), berkembang luar biasa. Kami sering beradu bacaan (padahal sebenarnya hanya hafalan) Qur'an di Masjid Kampung setiap usai sholat maghrib, dan yang menjadi guru adalah alumni pondok pesantren dari Jawa. Kebetulan di kampung (Lamakera) waktu itu mendapat guru sukarela dari Jawa yang merupakan alumni pondok pesantren yang mengabdikan ilmu mereka setelah tamat.Â
Harus MenungguÂ
Saya dan almarhum tamat pada satu almater, yakni SD Inpres Watobuku Lamakera. Almarhum tamat sebagai angkatan pertama pada tahun 1982, sedangkan saya setahun kemudian, 1983, angkatan kedua. Meski almarhum lebih dahulu tamat, tapi tidak lantas langsung melanjutkan (pendidikan) ke jenjang di atasnya, sekolah menengah pertama, baik di Lamakera, Â di MTs Tarbiyah (swasta) Lamakera (sekarang sudah konversi menjadi MTs Negeri Lamakera) maupun di Lamahala (SMP Negeri Nurmasa Lamahala). Â Â Â
Rupanya almarhum tidak ingin langsung melanjutkan ke sekolah menengah pada tahun itu bersamaan dengan waktu tamatnya, karena ingin menunggu saya (tamat) supaya dapat bersama-sama  melanjutkan ke SMP Negeri Nurmasya Lamahala (sekarang menjadi SMP Negeri 1 Adonara Timur).
Hal lain mengapa almarhum tidak langsung lanjut dan harus menyia-nyiakan kesempatan 1 tahun untuk "menunggu" saya, karena kami (saya dan almarhum), sampai dengan tamat SD belum dapat mengeja dan membaca huruf hijaiyah, Al-Qur'an. Entah karena perasaan khawatir nanti setelah lanjut dia merasa sendirian, sehingga dengan tanpa merasa beban, almarhum memendam keinginan lanjut ke SMP demi menunggu saya. Sebuah pengorbanan, yang dalam perspektif saya, merupakan kredit poin yang luar biasa. Â Â Â
Menganggap sebagai "Kompetitor"Â
Untuk lanjut ke SMP, kami terpaksa harus keluar dari kampung, merantau ke daerah lain, di mana terdapat sekolah SMP, dan menumpang pada induk semang (orangtua asuh) yang sama. Kami lebih memilih sekolah SMP sebagai sekolah umum karena faktor mengaji yang gak tamat-tamat (hmmm).
Kami mendaftar dan mengikuti tes penerimaan siswa baru di SMP Negeri Nurmasya Lamahala (sekarang SMP Negeri 1 Adonara Timur). Saya ditempatkan di Kelas 1A dan almarhum bergabung di Kelas 1C. Begitu pula ketika lanjut ke SMA. Kembali saya mendapat pembagian masuk ke 1A, dan almarhum juga mendapat pembagian masuk kelas 1C. Â Â
Melanjutkan AsaÂ
Satu hal yang menyesakkan adalah fakta bahwa saya dan almarhum, meski terlibat "perang dingin", bersaing, tapi ketika hendak tamat, ternyata kami sama-sama gagal pada ujian akhir, alias tidak lulus. Merasa sangat kecewa, akhirnya saya dan almarhum memutuskan untuk pindah sekolah. Kota yang menjadi tujuan untuk bisa melanjutkan kembali agar dapat tamat SMA yang sempat tertunda itu, adalah Makassar.
Maka pada pertengahan Juli 1989, dengan menumpang KM. Kelimutu, kami pun berlabuh di Pelabuhan Makassar. Asa untuk dapat menamatkan pendidikan jenjang SMA pun bersua, di SMA Yastema Ujung Pandang. Singkat cerita kami pun tercatat sebagai alumni SMA Yastema Ujung Pandang, setelah berhasil menamatkan pendidikan pada tahun 1990, meski hanya terdaftar 1 tahun.Â
Antara PTN atau PTAIÂ
Setelah tamat SMA tahun 1990, pada tahun yang samaitu pula, kami mendaftar masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur UMPTN. Nasib rupanya berkata lain, pada jenjang inilah saya dan almarhum "berpisah" jalan. Tidak lagi bersama-sama, seiring sejalan, berangkat dan pulang bersama sekolah dan kuliah, karena melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang berbeda. Saya berhasil tembus masuk UMPTN, sementara almarhum "gagal", sehingga harus mendaftar di perguruan tinggi Agama Islam (PTAI), yakni IAIN Alauddin Makassar.
Ada cerita menarik, ketika almarhum dan saya nyaris juga memutuskan harus masuk IAIN Alauddin Makassar. Sambil menunggu pengumuman seleksi UMPTN, saya dan almarhum "disarankan" untuk mendaftar di IAIN Alauddin Makassar. Ya, sekedar untuk jaga-jaga, kalau tidak berhasil masuk perguruan tinggi negeri (PTN) umum melalui seleksi UMPTN itu.
Maka kami pun mendaftar di Fakultas Tarbiyah. Saya memilih jurusan Tadris IPA, sementara almarhum memilih Tadris Matematika. Alhamdulillah, saya dan almarhum lulus pada jurusan masing-masing.Â
Akan tetapi, saya sangat ingin kuliah di PTN umum (tapi alasan sebenarnya lebih disebabkan karena "ketakutan" tidak bisa menyesuaikan diri akibat belum bisa membaca Qur'an), sehingga sampai batas waktu pendaftaran ulang saya tidak melakukan registrasi ulang. Sementara almarhum tetap mendaftar ulang.Â
Ternyata, pilihan kami tidak salah, saya tidak mendaftar ulang, dengan "kompensasi" saya lulus masuk PTN umum, sementara almarhum gagal UMPTN, sehingga tepat juga memilih mendaftar ulang di Tadris Matematika IAIN. Â
Pantang Menyerah
Seperti saya singgung di atas, saya dan almarhum, nyaris tidak bisa mengeja maupun menulis huruf-huruf hijaiyah (huruf Arab, Qur'an), tidak bisa mengaji hingga tamat SMA. Itulah salah satu alasan mengapa saya enggan mendaftar ulang meski sudah dinyatakan lulus di Tadris IPA Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Makassar (waktu itu). Sementara almarhum "terpaksa" mendaftar ulang, karena tidak ada pilihan lain, daripada kuliah di swasta (PTS). Soalnya bila dilihat secara finansial, kalau memaksakan diri untuk kuliah di PTS, akan terasa sangat sulit dan berat.
Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi almarhum, harus dapat mengejar ketertinggalannya dalam hal membaca, mengeja dan menulis huruf Arab (mengaji). Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi almarhum. Mengingat pada waktu itu, dalam pandangan umum masyarakat Lamakera, menjadi sesuatu yang "aneh", bila ada anak Lamakera yang kuliah di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), tapi malah tidak bisa baca dan tulis Qur'an.Â
Karena itu, almarhum berusaha keras untuk dapat mengaji (membaca Qur'an). Dengan dibimbing oleh salah seorang kakak senior mahasiswa IAIN (dari Lamakera), saban malam harus belajar mengaji (membaca Qur'an), akhirnya, alhamdulillah, usaha tidak mengkhianati hasil. Almarhum berhasil membaca Qur'an hingga kemudian lulus dari Tadris Matemtika Tarbiyah IAIN Alauddin Makassar, tahun 1995. Sedangkan saya, terdorong oleh semangat almarhum, saya pun berusaha secara otodidak belajar mengaji sendiri, sampai kemudian berhasil membaca Qur'an, dengan makhraj dan tajwid yang lumayan baik (menurut saya,hehehe).Â
Bahkan berkat berguru secara otodidak, almarhum juga dapat berdiri di atas mimbar untuk menyampaikan ceramah agama. Belakangan profesi sebagai penceramah itu diperkuat oleh pekerjaannya sebagai guru di sekolah madrasah, bahkan sempat menduduki posisi puncak, yakni menjadi Kepala Sekolah, selama lebih kurang 7 tahun. Terakhir almarhum sebelum meninggal menjadi Pengawas Sekolah/Madrasah di Kementerian Agama Flores Timur.
EpilogÂ
Masih banyak cerita lain mengenai kedekatan saya dan almarhum, tapi tidak cukup untuk dapat diurai. Bukan saja kedekatan secara genealogis, kekerabatan, sebagai saudara sepupu, tapi lebih dari itu.Â
Selama menempuh pendidikan 6 tahun di Waiwerang (3 tahun di SMPN Lamahala dan 3 Tahun di SMA Suryamandala) dan 1 tahun di SMA Yastema Ujung Pandang, bukan saja satu almamater, yang setiap hari harus berbarengan berangkat dan pulang sekolah, tapi dalam keseharian juga bersama-sama, sampai tidur pun menggunakan satu tikar dan bantal yang sama. Maka kalau boleh saya mengatakan bahwa kedekatan ikatan emosional antara saya dengan almarhum seperti dua sisi mata uang. Apalagi antara almarhum dan saya merupakan saudara sepupu (ayah almarhum dan ibu saya merupakan saudara kandung).
Sejak dari SD sampai dengan SMA selalu bersama satu almamater, dan selalu berangkat dan pulang bersama sekolah. Hanya pada masa kuliah, kami terpaksa "berselisih" jalan, karena berbeda tempat kuliah (perguruan tinggi), alamarhum kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN, sekarang Universitas Islam Negeri, UIN) Alauddin Makassar, sementara saya kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP Ujung Pandang, sekarang Universitas Negeri Makassar, UNM), banyak jalinan cerita yang terbentuk.
Tanpa harus menafikkan peran dan kontribusi yang lain, selama kebersamaan kami, almarhum telah memberikan dan menanamkan "saham" yang sangat besar dalam perjalanan hidup dan karier saya.Â
Atas dukungan moril yang luar biasa, sehingga saya, meski mendapat kesempatan emas diangkat menjadi PNS di Kemenag NTT (Kanwil Depag NTT) tahun 1996, saya abaikan, karena lebih memilih untuk kembali ke Ujung Pandang (Makassar). Sehingga nyaris selama lebih kurang 7 tahun, saya harus berjuang ekstra keras untuk dapat bertahan, sampai pada tahun 2002, atas doa dan dukungan semua keluarga dan kerabat, saya bisa mewujudkan "obsesi" menjadi pegawai pemerintah di UPT. Kemdikbud.
Tak terbantahkan bahwa saya dan almarhum begitu dekat. Tidak hanya secara fisik tapi juga emosional. Selama 3 tahun di SMP, hampir setiap hari kami bersama-sama, beriring sejalan, pergi dan pulang sekolah berbarengan. Dan kondisi ini terus berlanjut hingga masuk ke jenjang SMA, baik di Waiwerang (selama 3 tahun) maupun setelah pindah ke Makassar (dulu Ujung Pandang) selama 7 tahun, hingga kemudian karena alasan tugas profesional sehingga kami harus "berpisah".
Selamat jalan, Saudara, Kakak, teman, sahabat, rekan, "kompetitor", Â dan Opuklake. Doa kami senantiasa terpanjatkan untuk mengiringi langkahmu hingga kembali menemui Khaliqmu di yaumil hisab nanti dengan tenang dan damai. Semoga kedamaian dan kebahagiaan serta ketenangan menaungi perjalananmu sebagai wujud dari akhir yang baik (husnul khotimah).
Innalillahi wa'innailaihi rojiuun.
Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi waafuanhu
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 27012021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H