Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Perjalanan Seorang "Pejuang" (Sebuah Inmemoriam)

27 Januari 2021   11:32 Diperbarui: 27 Januari 2021   11:46 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pemakaman almarhum (dokpri)

Satu hal yang tak bisa kami (terutama saya) lupakan adalah setiap belajar mengaji, pasti akan selalu diisi dengan prosesi rutin, menangis bersama atau bergantian karena mendapat hardik (terutama dari Kakak saya) bila kami salah melafalkan ayat atau lupa bacaan surat. Rutinitas menangis menjadi pemandangan yang biasa sekaligus sebagai beban berat setiap kali harus memasuki waktu belajar (mengaji).

Karena kondisi "traumatis" itulah hingga kami tamat SD, tak satupun di antara kami dapat mengeja huruf-huruf hijaiyah, apalagi membaca (mengaji) Qur'an. Yang bisa kami andalkan adalah kemampuan menghafal, dan pada kenyataannya, kami hanya bisa menghafal ketimbang dapat membaca Qur'an dengan mengeja dan mengenal huruf-hurufnya. Miris memang!

Karena ketidakbisaan kami mengenali dan memngeja huruf-huruf hijaiyah, sehingga kemampuan menghafal qur'an waktu itu (terutama juz ke-30, surat-surat pendek), berkembang luar biasa. Kami sering beradu bacaan (padahal sebenarnya hanya hafalan) Qur'an di Masjid Kampung setiap usai sholat maghrib, dan yang menjadi guru adalah alumni pondok pesantren dari Jawa. Kebetulan di kampung (Lamakera) waktu itu mendapat guru sukarela dari Jawa yang merupakan alumni pondok pesantren yang mengabdikan ilmu mereka setelah tamat. 

Harus Menunggu 

Saya dan almarhum tamat pada satu almater, yakni SD Inpres Watobuku Lamakera. Almarhum tamat sebagai angkatan pertama pada tahun 1982, sedangkan saya setahun kemudian, 1983, angkatan kedua. Meski almarhum lebih dahulu tamat, tapi tidak lantas langsung melanjutkan (pendidikan) ke jenjang di atasnya, sekolah menengah pertama, baik di Lamakera,  di MTs Tarbiyah (swasta) Lamakera (sekarang sudah konversi menjadi MTs Negeri Lamakera) maupun di Lamahala (SMP Negeri Nurmasa Lamahala).     

Rupanya almarhum tidak ingin langsung melanjutkan ke sekolah menengah pada tahun itu bersamaan dengan waktu tamatnya, karena ingin menunggu saya (tamat) supaya dapat bersama-sama  melanjutkan ke SMP Negeri Nurmasya Lamahala (sekarang menjadi SMP Negeri 1 Adonara Timur).

Hal lain mengapa almarhum tidak langsung lanjut dan harus menyia-nyiakan kesempatan 1 tahun untuk "menunggu" saya, karena kami (saya dan almarhum), sampai dengan tamat SD belum dapat mengeja dan membaca huruf hijaiyah, Al-Qur'an. Entah karena perasaan khawatir nanti setelah lanjut dia merasa sendirian, sehingga dengan tanpa merasa beban, almarhum memendam keinginan lanjut ke SMP demi menunggu saya. Sebuah pengorbanan, yang dalam perspektif saya, merupakan kredit poin yang luar biasa.     

Menganggap sebagai "Kompetitor" 

Untuk lanjut ke SMP, kami terpaksa harus keluar dari kampung, merantau ke daerah lain, di mana terdapat sekolah SMP, dan menumpang pada induk semang (orangtua asuh) yang sama. Kami lebih memilih sekolah SMP sebagai sekolah umum karena faktor mengaji yang gak tamat-tamat (hmmm).

Kami mendaftar dan mengikuti tes penerimaan siswa baru di SMP Negeri Nurmasya Lamahala (sekarang SMP Negeri 1 Adonara Timur). Saya ditempatkan di Kelas 1A dan almarhum bergabung di Kelas 1C. Begitu pula ketika lanjut ke SMA. Kembali saya mendapat pembagian masuk ke 1A, dan almarhum juga mendapat pembagian masuk kelas 1C.    

Kebersamaan ketika di SMA Suryamanda (dokpri)
Kebersamaan ketika di SMA Suryamanda (dokpri)
Sebagaimana persepsi umum pada waktu itu, penempatan siswa di kelas disesuaikan dengan "kemampuan" masing-masing siswa. Dan pengklasifikasian itu ditentukan berdasarkan urutan abjad, A, B, C, dan seterus. Kelas A, menurut persepsi umum pada waktu, merupakan siswa "pilihan" dibandingkan kelas lainnya. Meski ada pandangan seperti itu, tapi faktanya pandangan itu tidak selalu berbanding lurus dengan prestasi masing-masing siswa. Di sinilah awal mula "persaingan" itu dimulai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun