Satu hal yang tak bisa kami (terutama saya) lupakan adalah setiap belajar mengaji, pasti akan selalu diisi dengan prosesi rutin, menangis bersama atau bergantian karena mendapat hardik (terutama dari Kakak saya) bila kami salah melafalkan ayat atau lupa bacaan surat. Rutinitas menangis menjadi pemandangan yang biasa sekaligus sebagai beban berat setiap kali harus memasuki waktu belajar (mengaji).
Karena kondisi "traumatis" itulah hingga kami tamat SD, tak satupun di antara kami dapat mengeja huruf-huruf hijaiyah, apalagi membaca (mengaji) Qur'an. Yang bisa kami andalkan adalah kemampuan menghafal, dan pada kenyataannya, kami hanya bisa menghafal ketimbang dapat membaca Qur'an dengan mengeja dan mengenal huruf-hurufnya. Miris memang!
Karena ketidakbisaan kami mengenali dan memngeja huruf-huruf hijaiyah, sehingga kemampuan menghafal qur'an waktu itu (terutama juz ke-30, surat-surat pendek), berkembang luar biasa. Kami sering beradu bacaan (padahal sebenarnya hanya hafalan) Qur'an di Masjid Kampung setiap usai sholat maghrib, dan yang menjadi guru adalah alumni pondok pesantren dari Jawa. Kebetulan di kampung (Lamakera) waktu itu mendapat guru sukarela dari Jawa yang merupakan alumni pondok pesantren yang mengabdikan ilmu mereka setelah tamat.Â
Harus MenungguÂ
Saya dan almarhum tamat pada satu almater, yakni SD Inpres Watobuku Lamakera. Almarhum tamat sebagai angkatan pertama pada tahun 1982, sedangkan saya setahun kemudian, 1983, angkatan kedua. Meski almarhum lebih dahulu tamat, tapi tidak lantas langsung melanjutkan (pendidikan) ke jenjang di atasnya, sekolah menengah pertama, baik di Lamakera, Â di MTs Tarbiyah (swasta) Lamakera (sekarang sudah konversi menjadi MTs Negeri Lamakera) maupun di Lamahala (SMP Negeri Nurmasa Lamahala). Â Â Â
Rupanya almarhum tidak ingin langsung melanjutkan ke sekolah menengah pada tahun itu bersamaan dengan waktu tamatnya, karena ingin menunggu saya (tamat) supaya dapat bersama-sama  melanjutkan ke SMP Negeri Nurmasya Lamahala (sekarang menjadi SMP Negeri 1 Adonara Timur).
Hal lain mengapa almarhum tidak langsung lanjut dan harus menyia-nyiakan kesempatan 1 tahun untuk "menunggu" saya, karena kami (saya dan almarhum), sampai dengan tamat SD belum dapat mengeja dan membaca huruf hijaiyah, Al-Qur'an. Entah karena perasaan khawatir nanti setelah lanjut dia merasa sendirian, sehingga dengan tanpa merasa beban, almarhum memendam keinginan lanjut ke SMP demi menunggu saya. Sebuah pengorbanan, yang dalam perspektif saya, merupakan kredit poin yang luar biasa. Â Â Â
Menganggap sebagai "Kompetitor"Â
Untuk lanjut ke SMP, kami terpaksa harus keluar dari kampung, merantau ke daerah lain, di mana terdapat sekolah SMP, dan menumpang pada induk semang (orangtua asuh) yang sama. Kami lebih memilih sekolah SMP sebagai sekolah umum karena faktor mengaji yang gak tamat-tamat (hmmm).
Kami mendaftar dan mengikuti tes penerimaan siswa baru di SMP Negeri Nurmasya Lamahala (sekarang SMP Negeri 1 Adonara Timur). Saya ditempatkan di Kelas 1A dan almarhum bergabung di Kelas 1C. Begitu pula ketika lanjut ke SMA. Kembali saya mendapat pembagian masuk ke 1A, dan almarhum juga mendapat pembagian masuk kelas 1C. Â Â