Jejak Perjalanan Seorang "Pejuang" (Sebuah Inmemoriam)

Masa Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar

Saya dan almarhum (Malik Kadir) lahir pada bulan dan tahun yang sama (Februari 1970). Hal ini merujuk  pada tanggal kelahiran yang tertera pada Ijazah SD, yang kemudian diperkuat oleh Akte Kelahiran yang diterbitkan belakangan. 

Hanya saja berdasarkan kronologi tanggal yang "dibuatkan" Kepala Sekolah SD, ketika kami tamat, 1982 dan 1983, maka almarhum lebih tua lebih kurang tiga minggu ketimbang saya. Selisih umur yang relatif tidak signifikan membuat kami bertumbuh dan berkembang secara bersama-sama dari SD hingga perguruan tinggi.

SD Inpres Watobuku Lamakera (dokpri)

Kami mendaftar secara bersama-sama masuk sekolah pendidikan dasar di SD Inpres Watobuku (Lamakera). Pada saat itu, SD Inpres Watobuku merupakan sekolah rintisan yang dibangun atas instruksi presiden dan tersebar di seluruh daerah-daerah yang belum memiliki infrastruktur lembaga pendidikan yang memadai. Dan Lamakera merupakan salah satu daerah yang mendapat bantuan dari program masa Orde Baru itu.

Meski secara bersama-sama mendaftar dan sekolah pada tahun yang sama, tapi waktu kemudian membuktikan bahwa almarhum tamat terlebih dahulu sebagai angkatan pertama (1982) ketimbang saya. 

Hal itu disebabkan karena ketika pada tahun pertama sekolah tersebut saya menderita sakit yang cukup lama, sehingga membuat saya harus tertinggal selama satu tahun. Hingga pada akhirnya saya berhasil menamatkan sekolah di SD Inpres Watobuku (1983) itu sebagai angkatan kedua. 

Ada sebuah peristiwa ketika masa kanak-kanak pra sekolah, karena satu dan lain sebab, membuat saya harus bergulat sama almarhum, dan mungkin karena saya sedikit lebih beruntung sehingga saya mampu memenangkan "perkelahian" ala anak-anak itu (kebetulan saya mampu membanting almarhum ke tanah). 

Dan seperti halnya sifat kanak-kanak jika dalam kondisi "kalah" pasti akan menangis. Gegaranya cuma masalah sepele, yakni ketika bermain kelereng kami berselisih. Peristiwa itu terjadi ketika sedang dilaksanakan khitanan massal (di rumah adat (lango sukku') Kukun O'na, termasuk saya (juga ikut dikhitan).

Hingga kini insiden itu tetap membekas dalam memori saya. Dan sebagaimana  sifat kanak-kanak pada umumnya, insiden "gulat" itu tidak lantas membuat kami harus membentangkan jarak. Justru dari situlah awal mula kebersamaan kami merentang jauh hingga kami "berpisah" karena alasan tugas dan pengabdian. 

Trauma Mengaji 

Kenangan lain yang sulit untuk begitu saja dilupakan adalah kesan suka duka belajar mengaji. Saya dan almarhum belajar mengaji pada guru yang sama, yakni ayah dan kakak kandung saya. Dalam banyak kesempatan lebih banyak diajar oleh kakak lelaki saya.