Oleh : eN-Te
Pengantar
Di pengujung Agustus 2019 sebagian staf di internal LPMP Sulsel mendapat "kado" istimewa berupa Surat Keputusan (SK) mutasi ke posisi yang baru. Meski SK tersebut secara resmi berlaku mundur dan sejatinya berlaku sejak  1  Juli  2019.
Persoalan mutasi ini juga menjadi pertanyaan tersendiri. Apa dan bagaimana mekanisme prosedural yang seharusnyan perlu ditempuh sebagai langkah-langkah yang taat azas, sehingga proses normal reposisi pegawai pada sebuah organisasi (apalagi instansi pemerintah) tidak menimbulkan riak, meski mungkin hanya bersifat sementara? Â Apakah sudah melalui proses penilaian (assesment) secara berjenjang dan menyeluruh berdasarkan analisis kebutuhan dengan parameter yang jelas dan terukur? Apakah juga sudah melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan? Pertanyaan ini menjadi penting agar tidak menimbulkan asumsi dan prasangka yang kurang berdasar, tentang arah pergerakkan "gerbong" yang sedang berjalan (dijalankan).
Habit yang Menjadi HobyÂ
Terkait terbitnya SK mutasi tersebut, secara tak sengaja, pada dua kesempatan yang berbeda dua orang teman "menyentil" saya dengan nada bercanda. Kepada saya kedua orang teman itu (dengan bercanda) "mengingatkan" saya untuk kembali lagi ke habitat yang (nyaris secara intens) sempat saya geluti, yakni berblogging ria di blog keroyokan Kompasiana. Salah seorang teman dari kedua teman itu malah "menantang" saya dengan mengatakan ingin melihat dan membaca kembali tulisan-tulisan saya.
Harus saya akui bahwa sejak meninggalkan posisi di mana kemudian saya harus "dipulangkan" kembali ke tempat sekarang, produktivitas menulis saya nyaris berkurang sangat drastis. Sebenarnya bukan karena volume dan intensitas pekerjaan dan tanggung jawab sehingga membuat produktivitas menulis berkurang. Secara umum, harus saya katakan bahwa masih banyak cukup waktu yang dapat saya manfaatkan untuk menulis ketika berada di posisi sebelum "dipulangkan" seperti saat ini. Secara persentasi relatif tidak jauh berbeda "waktu luang" antara posisi sebelumnya dan posisi kembali "dipulangkan". Tapi satu hal yang pasti bahwa keputusan untuk "rehat" menulis itu lebih karena pertimbangan tertentu yang bersifat pribadi dan politis (kayak politisi saja, hehehe).
Meski demikian saya juga tidak harus menegasikan bila ada yang berasumsi bahwa penurunan produktivitas menulis karena posisi sebelum "dipulangkan" tidak memberi cukup ruang dan waktu untuk merangkai dan membagi ide dan gagasan saya dalam sebuah tulisan (artikel). Mengingat alasan untuk menepi menulis itu tidak terlihat secara gamblang sehingga memunculkan asumsi bahwa stagnasi menulis karena posisi yang sebelum "dipulangkan" itu tidak memberi kesempatan yang cukup bagi saya untuk menuangkan dan berbagi ide dan gagasan saya dalam sebuah (karya) tulisan. Dan saya memaklumi asumsi itu meski tidak selalu berdasarkan fenomena yang tertangkap, baik secara fisik (artikel) maupun secara "gagasan". Namun demikian saya tetap berterima kasih kepada teman-teman yang menaruh perhatian terhadap tulisan-tulisan saya. Bahkan saya harus secara terus terang  mengakui bahwa saya sangat merasa tersanjung (ge-er nih, yee?) dengan perhatian terhadap "perjalanan" saya. Â
Terlahir Kembali
Sebelum melanjutkan cerita tentang concern saya dalam memulai kembali kebiasaan baik yang sudah pernah saya mulai, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan. Pertama, saya ingin mengatakan bahwa dua orang teman itu telah "menyadarkan" saya agar tetap berjalan ke depan, jangan terlalu risau dengan apa yang sedang terjadi. Kedua, "sentilan" itu telah mengingatkan saya agar tidak meninggalkan habitat dan melupakan "kebiasaan positif" yang sudah saya mulai, yakni dunia tulis menulis. Karena itu saya patut dan perlu mengucapkan terima kasih secara pribadi atas advis itu. Ketiga, asumsi bahwa karena "posisi" sehingga produktivitas menulis saya  berkurang, tidak seratus persen benar, tapi lebih karena alasan pribadi dan bisa juga dikatakan (bersifat) politis. Keempat, atas "joke" kedua teman itu, sehingga muncul ide atau gagasan untuk memulai kembali "kebiasaan positif" yang sudah menjadi hobi  yang sempat berada pada titik stagnan. Dan tulisan ini sebagai awal untuk bangkit kembali, katakan sebagai bentuk "reborn" saya. Dan kelima, tema dari topik tulisan ini terinsipirasi dengan perkembangan aktual dan faktual yang sedang terjadi saat ini. Meski begitu, harus saya tegaskan bahwa tema itu tidak berpretensi mewakili aspirasi siapapun, tidak dilatari oleh kepentingan apapun kecuali murni sebuah gagasan untuk melihat pengelolaan sebuah institusi pemerintah dengan tata kelola secara transparan, profesional, dan akuntabel.  Â
ZI-WBK
Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) akronim ZI-WBK (Zona Integritas- Wilayah Bebas (dari Korupsi) bukan merupakan sesuatu yang asing lagi saat ini. Bahkan akronim ini menjadi sebuah "zimat" ampuh untuk menumbuhkan kesadaran bagi setiap insan ASN, apakah itu dia staf biasa atau seseorang yang sedang memegang amanah sebagai pemimpin, maka wajib memastikan bahwa di lingkungan (wilayah) kerjanya memiliki integritas untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance dan clean government). Komitmen untuk membangun ZI-WBK seiring dengan tuntutan hadirnya good governance dan clean government menjadi keharusan bagi para penyelenggara pemerintahan (baca:  negara), termasuk ASN pada semua tingkatan (level) tanpa kecuali. Tujuannya agar dapat memutus mata rantai praktek buruk masa lalu sehingga mampu menghadirkan  pengelolaan negara (pemerintahan pada semua level) yang bersih,  adil, dan mengayomi.
Maka menjadi sesuatu hal yang menggembirakan (excited) ketika LPMP Sulsel juga sedang menuju ke arah menerapkan ZI-WBK. Dengan menerapkan ZI-WBK di lingkungan LPMP Sulsel, saya, termasuk kita, berharap akan terwujud sebuah pengelolaan manajerial maupun administrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai integritas sebagai perwujudan dari penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang bersih, baik, Â dan berwibawa. Â Â
Praktis sudah hampir dua tahun LPMP Sulsel telah mencoba untuk menerapkan tata kelola sistem manajerial dan administrasi yang bersih dan baik dengan menerapkan ZI-WBK. Tapi sungguh sayang, dalam dua kali asistensi (assesment), hasilnya masih belum menggembirakan. Kita, termasuk saya, "dipaksa" masih harus menunggu, sampai pada "kondisi ideal", di mana Tim Penilai merasa semua prasyarat dan persayaratan telah terpenuhi. Tidak hanya menyangkut keterpenuhan syarat administrasi, tapi satu hal yang paling penting dan utama adalah perubahan pola perilaku pada pengelolaan manajerial dan administrasi (organisasi).
Jangan sampai kita hanya mengejar syarat pada aspek formalitas keterpenuhan administrasi, tapi pada saat yang bersamaan, seakan (ingin) memalingkan muka ketika sudah sampai pada aspek implementasi faktual di lapangan. Saya dan kita semua pasti tidak ingin seolah-olah ibarat orang sedang memanggang ikan, tapi antara ikan dan bara api sungguh berada pada kutub yang berlawanan. Maka hasilnya sudah dapat diprediksi, "Jauh panggang dari api". Ikan yang sudah diberi pernak-pernik bumbu yang sedap sehingga menggiurkan siapa saja, tapi sungguh  tidak pernah bisa dinikmati, karena (faktanya) ikannya tidak pernah matang. Tanya, kenapa?  Â
Personalisasi Institusi dan Institusionalisasi Personal
Analogi ikan dan panggang di atas tidak ingin menyindir siapapun. Sisi positif yang dapat diambil dari analogi ikan dan panggang adalah menjadi sebuah otokritik, sehingga dapat mendorong kita untuk melihat "wajah" kita sesungguhnya. Sebenarnya wajah kita ini sungguh sudah bersih dan cingklong seperti para artis, meski sudah didempul dengan make up yang mewah nan mahal. Atau jangan-jangan di sana sini masih ditemukan "bopeng" sebagai akibat dari perilaku anomali terhadap jargon, satu kata dan perbuatan.
Atau ada kecenderungan memperlihatkan sikap yang mengindikasikan sebuah gejala sedang mengarah pada kondisi personalisasi institusi dan institusionalisasi personal, meski tanpa kita sadari? Apa pula itu?
Pertama, personalisasi institusi, bagi saya berarti (usaha) menjadikan lembaga sebagai (bagian dari) pribadi (bisa dalam arti positif). Namun yang saya maksud dengan personalisasi institusi dalam tulisan ini adalah sebuah kondisi (bisa masih dalam bentuk gejala) di mana urusan dan atau kepentingan institusi nyaris tereduksi sedemikan rupa dalam kepentingan pribadi (personal). Antara tujuan lembaga dan tujuan pribadi tidak lagi dapat dibedakan. Keduanya bercampur berkelindan, akan tetapi subyektivitas personal cenderung menggerus pencapaian tujuan organisasi secara intitusi.
Atau dengan kata lain usaha untuk menjadikan tujuan pribadi seakan-akan menjadi bagian integral dari tujuan lembaga. Bahkan dalam batas tertentu subyektivitas personal terlalu  dominan dalam pengambilan keputusan, daripada mengutamakan tujuan lembaga (institusi). Pada batas tertentu malah nyaris terpotret kondisi nyata subyektivitas personal telah mensubordinasi tujuan organisasi (institusi) secara umum. Apalagi institusi itu merupakan instansi pemerintah, yang berorientasi pada pelayanan publik, termasuk para stakeholder internal, bukan perusahaan pribadi, di mana pengelolaan perusahaan bergantung pada pemilik (owner)-nya. Meski hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip manajemen modern dan profesional.
Kedua, institusionalisasi personal, di mana yang saya artikan sebagai pelembagaan (kepentingan) pribadi. Sebuah upaya secara sadar dan sengaja untuk melembagakan kepentingan dan atau tujuan  pribadi yang dikamuflase sedemikian rupa seolah-olah merupakan bagian integral dari tujuan dan kepentingan organisasi (institusi).
Pribadi nyaris identik dengan institusi (personal centris). Sehingga yang terlihat keluar ketika sebuah beleid ditetapkan tidak lagi mencerminkan tujuan organisasi (institusi) secara umum yang menjadi target utama yang ingin dicapai, tapi lebih mengarah pada kondisi untuk mengamankan hal-hal yang tidak bersifat  substansi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa organisasi (institusi) hanya sebagai sarana (media) untuk mewujudkan "hidden agenda" personal. Di sini sangat terlihat dominasi warna kekuasaan  daripada warna penyelengaraan tata kelola organisasi secara transparan dan akuntabel.
Fenomena kedua hal di atas bisa jadi sedang kita rasakan di sekeliling kita, pada hampir semua level dan strata. Pada skala yang luas juga terjadi pada level atau strata pengelolaan negara. Contoh paling sempurna dari praktek personalisasi institusi dan instusionalisasi personal pernah terjadi pada perjalanan bangsa besar nan majemuk ini. Kedua pola ini melahirkan satu ciri khas yakni pemusatan kekuasaan pada satu kendali (personal centris), tanpa memberi ruang untuk mendelegasikan pada level di bawahnya.
Tengoklah praktek-praktek yang menunjukkan manifestasi konkrit dari implementasi sempurna kedua pola atau model di atas pernah berlangsung selama lebih kurang 32 tahun. Soeharto dan rejim Orde Baru telah "mendesain" kedua praktek negatif (personalisasi institusi dan instusionalisasi personal) itu untuk melanggengkan kekuasaannya selama lebih dari tiga dekade pemerintahannya.
Suka tidak suka, mau tidak mau, akibat dari budaya patgulipat ala Soeharto dengan praktek personalisasi institusi dan instusionalisasi personal, telah meninggalkan bopeng yang demikian parah pada wajah bangsa ini. Hingga hari ini mental sebagai tuan tetap bersemayam kokoh di benak para pemangku kepentingan yang kebetulan diberi amanah sebagai pemimpin, pada level manapun. Raja-raja kecil (The Litle Kings) bermunculan pada semua tingkatan institusi pemerintah, baik unit utama maupun unit (pelaksana) teknis dengan cita rasa mental, ingin tetap dilayani, bukan "menyadari diri", jabatan dan amanah itu  pada hakekatnya sebagai "pelayan", bukan sebagai tuan, apalagi owner.
Pernyataan Penutup
Budaya KKN, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah sebuah simpulan dari rangkuman paling sempurna untuk menggambarkan praktek negatif yang pernah mengungkung bangsa ini dan menjadi warisan buruk dari rejim Orde Baru. Â Siapa yang dapat pungkiri bahwa rejim Soeharto, terlepas dari berbagai kelebihan, yang mungkin ada, telah meninggalkan jejak buram, yang seharusnya sudah ditinggalkan seiring dengan perubahan rejim dan era. Bangkitnya Era Reformasi memberikan secercah harapan untuk mengembalikan perjalanan bangsa ini pada rel sesungguhnya agar dapat mewujudkan tujuan negara adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam berkeadilan.
Sayangnya, ibarat panas-panas tahi ayam, Era Reformasi hanya memberikan secercah cahaya di awal kemunculannya. Karena pada berbagai tingkatan, praktek negatif yang  menjadi penyakit akut di era sebelumnya telah berusaha diamputasi, malah kini kembali kambuh lagi. Bahkan pada level organisasi pemerintah yang paling kecil pun gejala mencampuradukkan kepentingan institusi dan pribadi masih saja berlangsung. Â
Pengabaian tata kelola manajerial dan administrasi dengan tetap berpedoman pada prinsip taat azas masih sering terjadi, bahkan diperlihatkan secara vulgar tanpa malu-malu kucing. Contoh sederhana pada memontum perekrutan pegawai (baik tetap maupun tidak tetap), aroma KKN sungguh sangat amis menusuk lubang hidung. Belum lagi terkait pergeseran pegawai dan staf pada sebuah posisi tertentu.
Mekanisme prosedural (taat azas) harus kalah di bawah ambisi subyektivitas personal atas dasar like and dislike, bukan berlandaskan pada penilaian (assesment) yang komprehensif, berjenjang, dan profesional dengan parameter yang jelas dan ajeg. Tentu saja harus pula mengedepankan aspek analisis kebutuhan dan urgensi penempatan pada sebuah posisi tertentu. Walaupun demikian perlu pula membuat penegasan, bahwa meski sudah melalui asesmen yang menyeluruh dengan parameter yang terukur berbasis analisis kebutuhan, harus tetap pula mmempertimbangkan aspek urgensi sehingga tidak mengorbankan kepentingan dan tujuan organisasi (institusi) secara keseluruhan.
Wallahu A'alam bishawahab
Makassar, 9 September
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H