Fenomena kedua hal di atas bisa jadi sedang kita rasakan di sekeliling kita, pada hampir semua level dan strata. Pada skala yang luas juga terjadi pada level atau strata pengelolaan negara. Contoh paling sempurna dari praktek personalisasi institusi dan instusionalisasi personal pernah terjadi pada perjalanan bangsa besar nan majemuk ini. Kedua pola ini melahirkan satu ciri khas yakni pemusatan kekuasaan pada satu kendali (personal centris), tanpa memberi ruang untuk mendelegasikan pada level di bawahnya.
Tengoklah praktek-praktek yang menunjukkan manifestasi konkrit dari implementasi sempurna kedua pola atau model di atas pernah berlangsung selama lebih kurang 32 tahun. Soeharto dan rejim Orde Baru telah "mendesain" kedua praktek negatif (personalisasi institusi dan instusionalisasi personal) itu untuk melanggengkan kekuasaannya selama lebih dari tiga dekade pemerintahannya.
Suka tidak suka, mau tidak mau, akibat dari budaya patgulipat ala Soeharto dengan praktek personalisasi institusi dan instusionalisasi personal, telah meninggalkan bopeng yang demikian parah pada wajah bangsa ini. Hingga hari ini mental sebagai tuan tetap bersemayam kokoh di benak para pemangku kepentingan yang kebetulan diberi amanah sebagai pemimpin, pada level manapun. Raja-raja kecil (The Litle Kings) bermunculan pada semua tingkatan institusi pemerintah, baik unit utama maupun unit (pelaksana) teknis dengan cita rasa mental, ingin tetap dilayani, bukan "menyadari diri", jabatan dan amanah itu  pada hakekatnya sebagai "pelayan", bukan sebagai tuan, apalagi owner.
Pernyataan Penutup
Budaya KKN, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah sebuah simpulan dari rangkuman paling sempurna untuk menggambarkan praktek negatif yang pernah mengungkung bangsa ini dan menjadi warisan buruk dari rejim Orde Baru. Â Siapa yang dapat pungkiri bahwa rejim Soeharto, terlepas dari berbagai kelebihan, yang mungkin ada, telah meninggalkan jejak buram, yang seharusnya sudah ditinggalkan seiring dengan perubahan rejim dan era. Bangkitnya Era Reformasi memberikan secercah harapan untuk mengembalikan perjalanan bangsa ini pada rel sesungguhnya agar dapat mewujudkan tujuan negara adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam berkeadilan.
Sayangnya, ibarat panas-panas tahi ayam, Era Reformasi hanya memberikan secercah cahaya di awal kemunculannya. Karena pada berbagai tingkatan, praktek negatif yang  menjadi penyakit akut di era sebelumnya telah berusaha diamputasi, malah kini kembali kambuh lagi. Bahkan pada level organisasi pemerintah yang paling kecil pun gejala mencampuradukkan kepentingan institusi dan pribadi masih saja berlangsung. Â
Pengabaian tata kelola manajerial dan administrasi dengan tetap berpedoman pada prinsip taat azas masih sering terjadi, bahkan diperlihatkan secara vulgar tanpa malu-malu kucing. Contoh sederhana pada memontum perekrutan pegawai (baik tetap maupun tidak tetap), aroma KKN sungguh sangat amis menusuk lubang hidung. Belum lagi terkait pergeseran pegawai dan staf pada sebuah posisi tertentu.
Mekanisme prosedural (taat azas) harus kalah di bawah ambisi subyektivitas personal atas dasar like and dislike, bukan berlandaskan pada penilaian (assesment) yang komprehensif, berjenjang, dan profesional dengan parameter yang jelas dan ajeg. Tentu saja harus pula mengedepankan aspek analisis kebutuhan dan urgensi penempatan pada sebuah posisi tertentu. Walaupun demikian perlu pula membuat penegasan, bahwa meski sudah melalui asesmen yang menyeluruh dengan parameter yang terukur berbasis analisis kebutuhan, harus tetap pula mmempertimbangkan aspek urgensi sehingga tidak mengorbankan kepentingan dan tujuan organisasi (institusi) secara keseluruhan.
Wallahu A'alam bishawahab
Makassar, 9 September
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H