Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Modus Beribadah untuk Kabur?

29 Agustus 2017   15:34 Diperbarui: 30 Agustus 2017   00:04 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
EG dan RS (sbr : http://www.suaraislam.co/astaga-eggi-sudjana-ikuti-jejak-rizieq-terbang-arab-saudi-dikaitkan-saracen/)

Oleh : eN-Te

Heboh penangkapan kelompok penebar kebencian bermuatan (berkonten) suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) melalui berita bohong, hoaks, dan fitnah keji membuat beberapa figur 'kontroversial' blingsatan. Kelompok itu diidentifikasi setelah ditangkap oleh aparat penegak hukum (POLRI) itu adalah Saracen.

Mungkinkah akronim Saracen tersebut merupakan kepanjangan dari SARA Center? Di mana melalui kelompok ini informasi dan berita hoaks atas alas SARA diproduksi dan disebarkan melalui media sosial (medsos).

Ditengarai oleh polisi setelah melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap para tersangka bahwa ada ribuan sampai ratusan ribu akun yang digunakan oleh kelompok keji ini untuk menebarkan  berita hoaks dan meme berkonten SARA tersebut. Bahkan kelompok Saracen ini bekerja secara profesional, yang untuk sementara diduga bermotif ekonomi. Mereka memproduksi dan menyebarkan berita-berita bohong, hoaks, dan fitnah bermuatan SARA tersebut untuk mendapatkan keuntungan finansial.

Polisi menemukan (setelah melakukan penggeledahan di 'basecamp' kelompok berhati iblis yang dirasuki syetan ini) proposal penawaran dengan nilai nominal untuk satu informasi dan atau meme hoaks bernilai nyaris mendekati ratusan juta rupiah. Dalam konteks tersebut patut diduga bahwa pasti dalam relasi kelompok itu berlaku hukum pasar, di mana ada permintaan di situ ada penawaran (demand and supply).

Permintaan itu tentu saja berasal dari kelompok yang membutuhkan 'jasa' produsen hoaks untuk kepentingan politik temporer menyerang kompetitor. Tujuannya agar publik mendapat gambaran negatif terhadap pihak lawan yang distigmatisasi sebegitu rupa melalui informasi atau meme hoaks, yang dengan demikian berarti akan secara berkelanjutan berdampak pada fase degradasi dan menurunkan martabat (down grade)citra diri dan image  kompetitor. Apalagi kompetitor tersebut merupakan rezim yang sedang memegang kuasa.

Relasi itu menemukan bentuknya dalam sebuah interaksi (memberi dan menerima (take and give) yang bermuara pada relasi simbiose mutualisme. Sama-sama mendapat untung, kelompok pemesan mendapat keuntungan politis berupa rusaknya citra dan nama baik kompetitor yang sedikit banyak akan berdampak pada tingkat elektabilitas, dan memproduksi berita hoaks bermuatan SARA mendapat keuntungan finansial yang dengan tidak terlalu menguras energi.

Pada daftar pengurus dan pengelola Saracen terdapat nama-nama yang selama ini demikian kekeh dan gigih menyerang dan mendiskreditkan pemerintah. Terdapat nama-nama yang begitu familiar di telinga publik dan masyarakat Indonesia. Salah dua dari daftar pengurus itu yang berada pada level Dewan Penasehat tercantum nama mantan purnawirawan TNI berpangkat Mayor Jenderal (Mayjen), sementera yang satunya lagi seseorang yang selama ini diidentifikasi sebagai pengacara,  yang tak pernah mengenal lelah mem-backup dan membela Front Pembela Islam (FPI), berikut ketuanya yang sedang dalam pelarian.

Mantan jenderal itu yang sekarang sudah menjadi warga sipil biasa, yakni Mayjen (Purn) Ampi Tanudjiwa. Sedangkan sang pengacara 'ksatria' itu bernama Eggy Sudjana (ES).

Ketika mendengar bahwa nama mereka tercantum dalam dokumen struktur kepengurusan Saracen sebagai Dewan Penasehat, baik sang mantan jenderal dan sang pengacara kompak membantahnya. Keduanya secara koor mengaku bahwa mereka tidak mengenal para tersangka penyebar isu berkonten SARA yang sudah ditangkap polisi itu. Keduanya merasa nama mereka dicatut oleh para tersangka.

Motif dari penebar hoaks berkonten SARA ini menurut keterangan polisi berdasarkan pengakuan para tersangka, termasuk mencatut nama sang mantan jenderal dan sang pengacara itu sebagai 'aksesoris' untuk menarik minat para pemesan. Dengan memasukkan dua nama itu, bagi pihak tersangka (Jasriadi, cs) merupakan jaminan mutu untuk mendapatkan orderan dan meningkatkan omset.

Terbukti bahwa produksi berita hoaks dan meme berkonten SARA itu kemudian tanpa henti dan disebar secara masif di medsos. Khususnya melalui akun-akun medsos yang sudah dibajak oleh kelompok syetan berhati iblis ini, yang jumlahnya hingga ratusan ribu itu. Sebuah pangsa pasar yang menggiurkan bagi kelompok Saracen dan konsumen yang ingin mendapatkan kepuasan dengan melampiaskan kebencian mereka melalui tangan pihak lain. Hukum pasar benar-benar dimanfaatkan dan diterapkan secara fungsional dan optimal. Luar binasa!

Sayangnya, orang-orang 'bermental pasar' ini juga mengidap penyakit ngeles dan bernyali kerdil. Mereka mengaku bahwa para tersangka tidak mereka kenal telah dengan ceroboh mencatut nama mereka. Karena itu, menurut salah satu dari Dewan Penasehat itu, sang pengacara (ES), meski polisi hanya bertujuan meminta keterangan untuk mengklarifikasi dan mengkonfirmasi tentang statusnya itu, dengan arogan meminta balik kepada polisi agar tidak repot-repot memeriksanya.

Dalam logika sang pengacara ini, bahwa pencantuman namanya sebagai Dewan Penasehat dalam struktur Saracen tanpa sepengatahuannya, sehingga apa yang dilakukan para tersangka itu merupakan tindakan ilegal sebagai pencemaran nama baik. Apalagi ia sama sekali tidak mengenal para tersangka itu (Jasriadi, cs). Menurut ES, sebaiknya polisi berkonsentrasi memeriksa para tersangka dan berusaha membuktikan sendiri apakah benar dia terlibat dalam kegiatan kelompok syetan berhati iblis ini.

Merasa tidak perlu hadir memberikan keterangan terkait Saracen gate ini, tiba-tiba ES berangkat ke Saudi Arabia, Ahad (27/8/2017) malam dengan alasan akan menunaikan ibadah haji. Kita berpikir positif saja, bahwa keberangkatan ES ke tanah suci itu semata-mata ingin menjalankan salah satu rukun Islam sebagai kewajiban seorang  muslim, yakni menunaikan ibadah haji. Hal itu juga sudah terjadwal jauh-jauh hari sebelumnya. Dan yang terpenting dari 'modus' itu adalah yang bersangkutan memang masuk dalam daftar calon jamaah haji yang akan menunaikan ibadah haji tahun ini. Tidak atas niat yang lain, seperti halnya mengikuti 'modus' kawanuanya yang telah terlebih dahulu melarikan diri untuk menghindari dari proses hukum atas dugaan tindak pidana yang menjeratnya dengan alasan meaksanakan ibadah umrah yang gak pulang-pulang.

Jika motif menunaikan ibadah lebih merupakan modus untuk melarikan diri, maka patut disayangkan bahwa telah terjadi proses reduksi hakekat ibadah umrah dan haji.  Lebih membuat miris jika melihat para pelakon itu merupakan pentolan-pentolan yang selama ini mengklaim dan berkoar-koar paling benar dan suci. Jumawa merasa diri paling benar dan suci sehingga dalam interaksinya dengan kelompok sosial lain, termasuk kepada pemerintahan yang sah saat ini cenderung bersikap arogan. Di mata mereka, pemerintahan saat ini merupakan rezim yang tidak kredibel dan telah bersikap zalim, sehingga tidak patut dihormati.

Sikap tidak menghormati rezim yang sah yang sedang berkuasa ini ditunjukkan dengan membangkang dan berusaha menghindar dari proses hukum melalui modus melaksanakan 'ibadah'. Tanpa disadari atau memang benar-benar secara sadar memanfaatkan momentum ibadah untuk 'melarikan diri'. Ibadah yang suci kemudian dipandang sebagai sebuah langkah taktis untuk berkilah dari sebuah tindak pidana. Akibatnya publik kemudian dapat menarik sebuah simpul bahwa apa yang sedang dilakonkan oleh para 'bedebah' (para tersangka penebar kebencian SARA dan 'kawanuanya') sebagai upaya sadar untuk mereduksi nilai luhur agama dan mendegradasi hakekat sebuah ibadah suci. Dengan kata lain telah terjadi proses de-ibadah-isasi (mengadopsi istilah dehumanisasi).

Hal itu rupanya dilakukan secara sadar dengan maksud untuk menantang (to challenge) penegak hukum dan pemerintah. Apakah aparat penegak hukum dan pemerintah masih memiliki keberanian untuk bersikap tegas menindak merekapara pengkhianat negara ini demi menjaga marwah sebuah pemerintahan yang sah yang dijamin konstitusi. Dan kita berharap negara tidak boleh kalah dengan kelompok pengkhianat seperti Saracen.

Pemerintah harus bersikap tegas melalui aparat penegak hukum untuk terus mengusut tuntas saracen gate ini. Agar para aktor-aktor di balik kegiatan kelompok syetan berwajah iblis ini dapat terungkap tuntas tas tas tas, sehingga publik dapat membedakan mana pemenang dan mana pecundang. Kelompok pecundang biasanya melakukan sebuah tindakan untuk merongrong kewibawaan pemerintah dan marwah Presiden sebagai simbol negara melalui cara-cara culas jauh dari koridor ajaran dan moral agama. Meski mereka berlindung pula di balik jubah agama.

Wallahu a'lam bish-shawabi

Makassar, 29/8/2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun