Oleh : eN-Te
Heboh penangkapan kelompok penebar kebencian bermuatan (berkonten) suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) melalui berita bohong, hoaks, dan fitnah keji membuat beberapa figur 'kontroversial' blingsatan. Kelompok itu diidentifikasi setelah ditangkap oleh aparat penegak hukum (POLRI) itu adalah Saracen.
Mungkinkah akronim Saracen tersebut merupakan kepanjangan dari SARA Center? Di mana melalui kelompok ini informasi dan berita hoaks atas alas SARA diproduksi dan disebarkan melalui media sosial (medsos).
Ditengarai oleh polisi setelah melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap para tersangka bahwa ada ribuan sampai ratusan ribu akun yang digunakan oleh kelompok keji ini untuk menebarkan  berita hoaks dan meme berkonten SARA tersebut. Bahkan kelompok Saracen ini bekerja secara profesional, yang untuk sementara diduga bermotif ekonomi. Mereka memproduksi dan menyebarkan berita-berita bohong, hoaks, dan fitnah bermuatan SARA tersebut untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Polisi menemukan (setelah melakukan penggeledahan di 'basecamp' kelompok berhati iblis yang dirasuki syetan ini) proposal penawaran dengan nilai nominal untuk satu informasi dan atau meme hoaks bernilai nyaris mendekati ratusan juta rupiah. Dalam konteks tersebut patut diduga bahwa pasti dalam relasi kelompok itu berlaku hukum pasar, di mana ada permintaan di situ ada penawaran (demand and supply).
Permintaan itu tentu saja berasal dari kelompok yang membutuhkan 'jasa' produsen hoaks untuk kepentingan politik temporer menyerang kompetitor. Tujuannya agar publik mendapat gambaran negatif terhadap pihak lawan yang distigmatisasi sebegitu rupa melalui informasi atau meme hoaks, yang dengan demikian berarti akan secara berkelanjutan berdampak pada fase degradasi dan menurunkan martabat (down grade)citra diri dan image kompetitor. Apalagi kompetitor tersebut merupakan rezim yang sedang memegang kuasa.
Relasi itu menemukan bentuknya dalam sebuah interaksi (memberi dan menerima (take and give) yang bermuara pada relasi simbiose mutualisme. Sama-sama mendapat untung, kelompok pemesan mendapat keuntungan politis berupa rusaknya citra dan nama baik kompetitor yang sedikit banyak akan berdampak pada tingkat elektabilitas, dan memproduksi berita hoaks bermuatan SARA mendapat keuntungan finansial yang dengan tidak terlalu menguras energi.
Pada daftar pengurus dan pengelola Saracen terdapat nama-nama yang selama ini demikian kekeh dan gigih menyerang dan mendiskreditkan pemerintah. Terdapat nama-nama yang begitu familiar di telinga publik dan masyarakat Indonesia. Salah dua dari daftar pengurus itu yang berada pada level Dewan Penasehat tercantum nama mantan purnawirawan TNI berpangkat Mayor Jenderal (Mayjen), sementera yang satunya lagi seseorang yang selama ini diidentifikasi sebagai pengacara, Â yang tak pernah mengenal lelah mem-backup dan membela Front Pembela Islam (FPI), berikut ketuanya yang sedang dalam pelarian.
Mantan jenderal itu yang sekarang sudah menjadi warga sipil biasa, yakni Mayjen (Purn) Ampi Tanudjiwa. Sedangkan sang pengacara 'ksatria' itu bernama Eggy Sudjana (ES).
Ketika mendengar bahwa nama mereka tercantum dalam dokumen struktur kepengurusan Saracen sebagai Dewan Penasehat, baik sang mantan jenderal dan sang pengacara kompak membantahnya. Keduanya secara koor mengaku bahwa mereka tidak mengenal para tersangka penyebar isu berkonten SARA yang sudah ditangkap polisi itu. Keduanya merasa nama mereka dicatut oleh para tersangka.
Motif dari penebar hoaks berkonten SARA ini menurut keterangan polisi berdasarkan pengakuan para tersangka, termasuk mencatut nama sang mantan jenderal dan sang pengacara itu sebagai 'aksesoris' untuk menarik minat para pemesan. Dengan memasukkan dua nama itu, bagi pihak tersangka (Jasriadi, cs) merupakan jaminan mutu untuk mendapatkan orderan dan meningkatkan omset.