Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mereka Masih Yakin, "Chat" Mesum Itu Rekayasa

8 Juni 2017   21:13 Diperbarui: 13 Juni 2017   12:56 2555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus lain yang juga mengambang adalah peristiwa Talangsari. Tragedi berdarah itu juga tidak diselesaikan secara 'sempurna' melalui sebuah proses yang peradilan yang fair dan bermartabat. Berikutnya adalah kasus Tanjung Priok, yang menyeret dan kemudian menyebabkan salah seorang anak kandung Lamakera, Syarifin Maloko (sekampung dengan penulis) harus meringkuk di balik jeruji besi. Tidak juga membuka tabir kasus sesungguhnya dari peristiwa yang juga menelan korban jiwa. Syarifin Maloko dalam pandangan saya hanya sebagai pion yang dikorbankan dalam peristiwa berdarah itu yang dimotori alm. Amir Biki untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar.

Kemudian di belakang hari terjadi pergolakan politik yang sangat panas menjelang lengsernya Soeharto ke prabon. Banyak mahasiswa dan aktivis yang harus 'dikorbankan' untuk mengamankan kepentingan kekuasaan Soeharto. Ada yang diculik, sebagian tidak pernah kembali ke keluarganya (sebut saja Widji Thukul), tragedi Semanggi yang merenggut nyawa beberapa mahasiswa Tri Sakti sampai hari ini juga masih menyimpan misteri yang tak terkuak.   

Kemudian kasus penculikan aktivis yang ditengarai melibatkan aktor intelektual para pimpinan pasukan elit TNI baret merah, Kopasus AD. Kasus ini juga tidak pernah menemukan ujungnya, karena 'keterlibatan' para elit pasukan baret merah pada tahun 1998 menjelang Soeharto lengser ke prabon tidak pernah diporses tuntas melalui jalur hukum.

Lalu muncul tragedi yang paling memilukan dalam sejarah perkembangan kebangsaan Indonesia, yakni tragedi 1998. Yakni upaya 'sadar' yang dilakukan sekelompok orang yang ingin melakukan genosida terhadap kelompok etnis tertentu dengan melakukan pengganyangan dan perampasan serta pemerkosaan massal. Sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan, yang dalam catatan sejarah Indonesia akan tetap menjadi noktah hitam yang tak akan mungkin terhapus dari memori bangsa ini.

Lengsernya Soeharto sebagai buah dari gerakan reformasi tidak juga serta merta mengurai benang kusut tentang dugaan praktek patgulipat dan budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepostisme (KKN) yang dilakukan Soeharto dan kroninya. Hingga akhir hayatnya, tidak pernah dibuktikan secara sah dan meyakinkan melalui sebuah proses peradilan yang beradab dan bermartabat bahwa Soeharto melanggengkan kekuasaan dengan menumbuhsuburkan budaya KKN.

Semua kasus dan tragedi kemanusiaan itu sampai hari ini menggantung. Tidak pernah ada upaya serius dan sungguh-sungguh dari semua elemen dan entitas bangsa ini menunjukkan itikad baik menuntaskannya melalui sebuah proses peradilan yang benar-benar beradab. Bangsa ini ternyata lebih senang dengan fantasi kemudian berhalusinasi bahwa semua kasus, peristiwa, dan tragedi kemanusian itu hanya merupakan peringatan dan pelajaran yang tidak perlu disikapi secara beradab dan bermartabat.

Bangsa ini ternyata belum berani menguak tabir sesusungguhnya dari borok-borok yang mungkin saja menghancurkan kredibilitas para mantan pemimpin kita. Kita ternyata masih bernyali secuil, karena tidak berani mau secara jujur mengakui kekurangan kita. Kita terus saja membiarkan semua kasus, peristiwa, dan tragedi itu mengambang tanpa kepastian. Apalagi kepastian hukum.

Karena itu, bagi saya proses hukum terhadap setiap warga negara merupakan sebuah keharusan  dituntaskan agar dapat mengurai benang kusut yang membelit dan melingkari. Kita tidak akan memiliki kepastian untuk menentukan bahwa apa yang dilakukan POLRI adalah rekayasa dan kriminalisasi atau sebaliknya, bila belum apa-apa, kita sudah berteriak secara lantang tanpa sedikit pun memberi ruang kepada POLRI untuk membuktikan kasus atau perkara yang sedang ditangani itu murni proses hukum (pidana), atau hanya semata-mata untuk memenuhi target politik tertentu yang bersifat jangka pendek.

Ketika dalam sebuah perjalanan dari Makassar ke Watampone (ibukota Kab. Bone, Ahad, 4/6/2017), di dalam mobil ada beberapa teman menilai bahwa kasus chat mesum itu tidak lebih dari sebuah kasus rekayasa. Seorang teman malah menilai sebagai kasus remeh temeh, tidak bonafit, meski ini menyangkut moral dan integritas seseorang yang mengklaim diri sebagai imam besar. Dalam istilah teman itu, kasus chat mesum yang menjerat RS tidak elit. Bagi teman itu, karena kasus chat mesum itu 'tidak elit', maka terkesan sangat 'kumuh', yang berarti sangat 'kotor' dan cenderung bernuansa balas dendam.

Seorang teman lain menimpali bahwa menurut seorang kenalannya yang tahu dan sedikit ahli tentang IT dalam bidang utak-atik gambar, bahwa foto chat mesum itu sangat mudah dibuat. Bahkan menurut teman itu, mengutip pengakuan temannya bahwa 'keahlian' merekayasa foto seperti chat mesum dapat dilakukan oleh muridnya yang masih SMP. Karena itu teman tersebut meyakini bahwa kasus chat mesum yang melibatkan RS benar merupakan rekayasa POLRI dan rezim saat ini. Tujuannya jelas untuk membunuh karakter sang imam besar yang tekah dipersonifikasi sebagai orang suci.

Saya diam-diam saja mendengar celoteh teman-teman itu sambil senyum kecut. Buat saya, lepas dari asumsi kriminalisasi atau rekayasa, sejauh ini POLRI dapat menepis semua tudingan miring terhadap institusinya itu terkait kasus chat mesum tersebut. Rasanya terlalu riskan bila POLRI 'bermain' dan terus memaksakan kasus tersebut sementara penyidik tidak memiliki bukti kuat dan otentik tentang orisinalitas foto-foto dan chat mesum itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun