Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mereka Masih Yakin, "Chat" Mesum Itu Rekayasa

8 Juni 2017   21:13 Diperbarui: 13 Juni 2017   12:56 2555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: regional.kompas.com

Kemarin, Rabu (7/6/17) penyidik POLRI dan Kejaksaan menggelar perkara kasus chat mesum yag melibatkan tersangka Rizieq Shihab (RS) dan Firza Husein (FH). Gelar perkara dilakukan atas perkara FH yang telah dilimpahkan penyidik POLRI ke Kejaksaaan. Namun setelah melakukan penelitian secara seksama, pihak jaksa peneliti menilai bahwa berkas perkara dengan tersangka FH belum lengkap. Dengan demikian, pihak kejaksaan harus mengembalikan berkas perkara tersangka FH kepada penyidik untuk dilengkapi kembali. Dengan kata lain, berkas perkara chat mesum dengan tersangka FH belum P21 alias masih P19. 

Berdasarkan hasil gelar perkara tersebut sehingga pihak FH melalui penasehat hukum (PH)-nya meminta agar kasus chat mesum itu dihentikan (kompas.com). Alasannya karena perkara yang diajukan tersebut belum memenuhi unsur pidana mengingat bukti yang diajukan POLRI melalui berkas perkara yang disampaikan oleh kejaksaan masih dianggap belum lengkap.

Ketidaklengkapan berkas yang diajukan POLRI itu oleh pihak FH dianggap sebagai indikasi bahwa kasus chat mesum tersebut terlalu dipaksakan dan sejak awal tidak layak dilanjutkan. Karena itu bagi PH tersangka, langkah yang paling tepat harus dilakukan penyidik adalah menghentikan proses hukum kasus chat mesum itu.

Pengembalian berkas perkara FH ke penyidik POLRI oleh jaksa peneliti memberikan 'amunisi' baru bagi RS dan kelompoknya untuk menyerang POLRI. Bagi mereka pengembalian berkas itu membuktikan bahwa kasus chat mesum yang dicoba-konstruksikan untuk menjerat RS merupakan sebuah upaya rekayasa dan kriminalisasi ulama yang bertujuan sebagai pembunuhan karakter (character assasanation) sang imam besar.

RS yang telah dipersonifikasi sebagai orang suci, pada hakekatnya telah dinistakan dengan sengaja oleh pihak penegak hukum,  dalam hal ini POLRI dengan tujuan membunuh karakter sang imam besar. Berkas perkara FH yang dikembalikan jaksa peneliti memperkuat dugaan awal mereka bahwa badai yang sedang terjadi menimpa sang imam besar, adalah sebuah rekayasa politik dan kriminalisasi terhadap ulama untuk menghentikan sekaligus mematikan gerak langkah RS.

Bagi PH dan pengikut imam besar, satu-satunya cara yang dapat dilakukan sebuah rezim untuk menghentikan tingkah pola 'tak lazim' RS adalah mencoba membangun opini melalui sebuah 'rekayasa' kasus yang berkait langsung dengan integritas sang imam. Dalam persepsi dan asumsi mereka, apa yang disebut chat mesum itu merupakan sebuah dagelan yang tidak lucu. Bahkan kasus chat mesum bagi pengikut sang imam besar merupakan sebuah kasus yang terlalu remeh temeh, tidak bonafit, tidak wah, dan berbagai kesan 'rendah' lainnya, di mana hal itu semata-mata bertujuan membunuh karakter sang imam besar.

Kesan ini timbul ketika mereka mencoba membandingkan kasus RS dengan kasus yang menjerat mantan Ketua KPK, Abraham Samad (AS). Bagi mereka, apa yang terjadi pada AS merupakan sebuah 'rekayasa' mengingat kasus yang dituduhkan kepada AS belakangan dihentikan karena penyidik dinilai tidak mempunyai bukti yang otentik dan cukup kuat. Padahal bila diikuti secara seksama penghentian kasus yang melibatkan AS merupakan hal yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi terkait kasus chat mesum yang melibatkan RS dan FH ini.

Kasus mantan pimpinan KPK, AS termasuk juga yang menjerat Bambang Wijoyanto (BW), dihentikan lebih karena pertimbangan kemaslahatan umum. Atas nama kepentingan umum, kemudian pihak Kejaksaan memutuskan untuk melakukan deponering. Jadi penghentian perkara mantan pimpinan KPK, AS dan BW oleh Kejaksaan bukan karena penyidik mengalami kesulitan mendapatkan alat bukti yang cukup, melainkan faktor ketertiban dan keamanan serta kepentingan umum yang dikedepankan.

Dalam sebuah tulisan saya tentang (lihat : Integritas RS), seorang kompasianer berkomentar dengan merujuk pada kasus mantan pimpinan KPK tersebut. Bagi dia, penghentian itu karena pihak penyidik tidak dapat membuktikan seprei yang ada dalam foto yang menunjukkan AS telah melakukan tindakan 'tak senonoh' terhadap seorang perempuan. Padahal faktanya, boro-boro penyidik mau membuktikan keotentikan foto syuur itu, tindakan penyidik malah dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Bagi saya opini kriminalisasi inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk mendapatkan legitimasi melalui deponering itu.  

Seandainya pihak penyidik tetap diberi kesempatan dan kewenangan tetap memproses kasus mantan pimpinan KPK, terutama AS, publik tidak akan terus menerus berada dalam kegamangan. Antara percaya dan ragu bahwa apa yang dilakukan POLRI merupakan sebuah bentuk kriminalisasi dan rekayasa pembunuhan karakter semata.

Publik dan rakyat Indonesia sebenarnya sudah terlalu lama dibiarkan berada dalam kegamangan. Sebut saja kegamangan publik dan rakyat Indonesia tentang kasus tragedi 30 September 1965 yang lebih dikenal dengan istilah Gestapu. Dalang utama yang dituding hidungnya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Akan tetapi sejauh hari ini, belum ada proses peradilan resmi yang membuktikan sekaligus menyatakan bahwa gerakan tersebut merupakan upaya kudeta terhadap pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang didalangi PKI.

Kasus lain yang juga mengambang adalah peristiwa Talangsari. Tragedi berdarah itu juga tidak diselesaikan secara 'sempurna' melalui sebuah proses yang peradilan yang fair dan bermartabat. Berikutnya adalah kasus Tanjung Priok, yang menyeret dan kemudian menyebabkan salah seorang anak kandung Lamakera, Syarifin Maloko (sekampung dengan penulis) harus meringkuk di balik jeruji besi. Tidak juga membuka tabir kasus sesungguhnya dari peristiwa yang juga menelan korban jiwa. Syarifin Maloko dalam pandangan saya hanya sebagai pion yang dikorbankan dalam peristiwa berdarah itu yang dimotori alm. Amir Biki untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar.

Kemudian di belakang hari terjadi pergolakan politik yang sangat panas menjelang lengsernya Soeharto ke prabon. Banyak mahasiswa dan aktivis yang harus 'dikorbankan' untuk mengamankan kepentingan kekuasaan Soeharto. Ada yang diculik, sebagian tidak pernah kembali ke keluarganya (sebut saja Widji Thukul), tragedi Semanggi yang merenggut nyawa beberapa mahasiswa Tri Sakti sampai hari ini juga masih menyimpan misteri yang tak terkuak.   

Kemudian kasus penculikan aktivis yang ditengarai melibatkan aktor intelektual para pimpinan pasukan elit TNI baret merah, Kopasus AD. Kasus ini juga tidak pernah menemukan ujungnya, karena 'keterlibatan' para elit pasukan baret merah pada tahun 1998 menjelang Soeharto lengser ke prabon tidak pernah diporses tuntas melalui jalur hukum.

Lalu muncul tragedi yang paling memilukan dalam sejarah perkembangan kebangsaan Indonesia, yakni tragedi 1998. Yakni upaya 'sadar' yang dilakukan sekelompok orang yang ingin melakukan genosida terhadap kelompok etnis tertentu dengan melakukan pengganyangan dan perampasan serta pemerkosaan massal. Sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan, yang dalam catatan sejarah Indonesia akan tetap menjadi noktah hitam yang tak akan mungkin terhapus dari memori bangsa ini.

Lengsernya Soeharto sebagai buah dari gerakan reformasi tidak juga serta merta mengurai benang kusut tentang dugaan praktek patgulipat dan budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepostisme (KKN) yang dilakukan Soeharto dan kroninya. Hingga akhir hayatnya, tidak pernah dibuktikan secara sah dan meyakinkan melalui sebuah proses peradilan yang beradab dan bermartabat bahwa Soeharto melanggengkan kekuasaan dengan menumbuhsuburkan budaya KKN.

Semua kasus dan tragedi kemanusiaan itu sampai hari ini menggantung. Tidak pernah ada upaya serius dan sungguh-sungguh dari semua elemen dan entitas bangsa ini menunjukkan itikad baik menuntaskannya melalui sebuah proses peradilan yang benar-benar beradab. Bangsa ini ternyata lebih senang dengan fantasi kemudian berhalusinasi bahwa semua kasus, peristiwa, dan tragedi kemanusian itu hanya merupakan peringatan dan pelajaran yang tidak perlu disikapi secara beradab dan bermartabat.

Bangsa ini ternyata belum berani menguak tabir sesusungguhnya dari borok-borok yang mungkin saja menghancurkan kredibilitas para mantan pemimpin kita. Kita ternyata masih bernyali secuil, karena tidak berani mau secara jujur mengakui kekurangan kita. Kita terus saja membiarkan semua kasus, peristiwa, dan tragedi itu mengambang tanpa kepastian. Apalagi kepastian hukum.

Karena itu, bagi saya proses hukum terhadap setiap warga negara merupakan sebuah keharusan  dituntaskan agar dapat mengurai benang kusut yang membelit dan melingkari. Kita tidak akan memiliki kepastian untuk menentukan bahwa apa yang dilakukan POLRI adalah rekayasa dan kriminalisasi atau sebaliknya, bila belum apa-apa, kita sudah berteriak secara lantang tanpa sedikit pun memberi ruang kepada POLRI untuk membuktikan kasus atau perkara yang sedang ditangani itu murni proses hukum (pidana), atau hanya semata-mata untuk memenuhi target politik tertentu yang bersifat jangka pendek.

Ketika dalam sebuah perjalanan dari Makassar ke Watampone (ibukota Kab. Bone, Ahad, 4/6/2017), di dalam mobil ada beberapa teman menilai bahwa kasus chat mesum itu tidak lebih dari sebuah kasus rekayasa. Seorang teman malah menilai sebagai kasus remeh temeh, tidak bonafit, meski ini menyangkut moral dan integritas seseorang yang mengklaim diri sebagai imam besar. Dalam istilah teman itu, kasus chat mesum yang menjerat RS tidak elit. Bagi teman itu, karena kasus chat mesum itu 'tidak elit', maka terkesan sangat 'kumuh', yang berarti sangat 'kotor' dan cenderung bernuansa balas dendam.

Seorang teman lain menimpali bahwa menurut seorang kenalannya yang tahu dan sedikit ahli tentang IT dalam bidang utak-atik gambar, bahwa foto chat mesum itu sangat mudah dibuat. Bahkan menurut teman itu, mengutip pengakuan temannya bahwa 'keahlian' merekayasa foto seperti chat mesum dapat dilakukan oleh muridnya yang masih SMP. Karena itu teman tersebut meyakini bahwa kasus chat mesum yang melibatkan RS benar merupakan rekayasa POLRI dan rezim saat ini. Tujuannya jelas untuk membunuh karakter sang imam besar yang tekah dipersonifikasi sebagai orang suci.

Saya diam-diam saja mendengar celoteh teman-teman itu sambil senyum kecut. Buat saya, lepas dari asumsi kriminalisasi atau rekayasa, sejauh ini POLRI dapat menepis semua tudingan miring terhadap institusinya itu terkait kasus chat mesum tersebut. Rasanya terlalu riskan bila POLRI 'bermain' dan terus memaksakan kasus tersebut sementara penyidik tidak memiliki bukti kuat dan otentik tentang orisinalitas foto-foto dan chat mesum itu.

Terlalu mahal harga yang harus dibayar POLRI bila terbukti kemudian bahwa kasus yang dikonstruksikan untuk menjerat RS adalah hanya sebuah rekayasa dan kriminalisasi ulama. Kredibilitas institusi POLRI akan ambruk ke titik nadir bila penyidik berani mempermainkan emosi umat yang lagi gandrung-gandrungnya terhadap figur yang dapat menyatukan mereka dalam sebuah barisan.

Dan figur itu, untuk sementara telah mereka temukan dalam diri orang yang dipersonifikasi sebagai orang suci, yang dinobatkan sebagai imam besar, RS. Akan sangat nelangsa bila ekspektasi mereka terhadap 'kesucian' RS ternyata jauh panggang dari api. Apalagi kasus yang menjerat sang imam besar, menyangkut hal yang sangat menohok kesadaran keagamaan. Menyangkut moralitas dan akhlak.

Sayangnya, itu berkaitan dengan syahwat yang merupakan bagian dari naluri primitif makhluk Tuhan di bumi. Mestinya dengan potensi akal yang diberikan oleh Tuhan, Allah Ajja wa jallah, menjadi suluh penerang untuk membedakan mana yang pantas dilakukan oleh manusia berakal dan berakhlak, apalagi menyandang predikat sebagai imam besar, dibandingkan dengan makhluk lainnya, seperti binatang. Jangan sampai hanya karena menuruti naluri primitif itu membuat dejarat kemanusiaan seseorang harus jatuh lebih rendah dan hina dina daripada binatang.   

Wallahu a'lam bisshawabi

Watampone, 08/06/2017

Oleh : eN-Te

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun