Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mungkinkah Saya (Menjadi) Kafir, Pernah Diajar Guru Non Muslim?

25 April 2017   13:20 Diperbarui: 25 April 2017   22:00 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr : http://www.muslimedianews.com/2015/06/mui-keluarkan-fatwa-larangan-mencap.html

Kota Waiwerang  merupakan ibukota Adonara Timur. Selain sebagai ibukota kecamatan, Waiwerang juga dikenal sebagai kota niaga, karena berfungsi sebagai daerah transit yang menghubungkan beberapa kota dan daerah pesisir di Flores Timur dan NTT.

Sebagai daerah transit, maka Waiwerang dikenal sebagai pusat niaga. Tentu saja sebagai pusat niaga maka penduduk Waiwerang juga sangat beragam (plural), baik dari segi etnis maupun agama. Itu juga terlihat di sekolah, SMA Suryamandala. Tidak ada perlakuan khusus dan berbeda, meski kenyataan sosial menunjukkan ada ‘etnis pendatang’ yang merupakan etnis non-pribumi, memiliki status sosial yang lebih baik karena faktor eknomi.

‘Etnis pendatang’ ini menguasai aspek ekonomi lebih dari 75%. Kondisi demikian tidak menjadi faktor pemicu lahir kecemburuan sosial. Malah sebaliknya, warga pribumi merasa ‘terbantu’ dengan kehadiran dan keberadaan ‘etnis pendatang’ ini. Tidak ada ketegangan atas nama etnis dan agama, dan juga ekonomi yang harus merusak tenun kebersamaan dalam kebhinekaan itu. Sebuah panorama yang indah, di mana sikap terbuka begitu tercermin dari interaksi sosial yang harmonis dalam masyarakat.

Semua nilai itu, secara alamiah tumbuh mekar dan berkembang, hingga menjadi bagian yang inheren dalam diri saya. Semua itu dimungkinkan, karena saya berada dan berkesempatan berinteraksi dengan beragam atnis dan agama. Sungguh harmonis dan indah. Apalagi ketika di SMA, nyaris mayoritas teman, baik sesama siswa maupun guru, adalah nonmuslim. Dan saya bergaul dan berinteraksi dengan mereka dengan begitu harmonis tanpa terbebani oleh sekat-sekat primordial.

Maka ketika belakangan, orang-orang meributkan identitas seseorang, sehingga menghalanginya untuk dipilih menjadi pemimpin, membuat nurani saya berontak. Benarkah, karena faktor primordial, sehingga seseorang meski memilki kualifikasi mumpuni untuk memimpin harus ditolak?

Nurani saya semakin tersentak ketika ada sekelompok orang atas nama keyakinan, seenak udelnya, menghakimi pihak lain sebagai ‘kafir’ (meski masih seagama dan sekayakinan), karena berbeda afiliasi politik. Menggolongkan pihak yang berbeda pilihan, sebagai orang yang tidak beriman (kafir) karena memilih calon pemimpin nonmuslim. Lebih jauh malah menolak untuk mensholatkan, jika jenazah yang meninggal itu diidentifikasi sebagai pendukung calon pemimpin nonmuslim.

Sungguh miris, ketika Indonesia sudah memasuki usia 72 tahun, peradaban dan cara berpikir masayarakatnya semakin primitif. Konservatisme dalam beragama telah menutup mata bathin untuk melihat betapa indahnya keberagaman yang dihadirkan Sang pencipta.

Saya menjadi sangat masgul hingga harus bertanya dalam gumam, mungkinkah saya (menjadi) kafir, karena membiarkan diri saya, sejak SD hingga SMA bahkan Perguruan Tinggi diajar oleh guru-guru dan dosen yang nonmuslim? Begitu pula dengan muslim lain, yang dalam hidupnya pernah berinteraksi dan mendapat bimbingan (berarti juga pernah dipimpin) dari dan oleh orang yang berbeda keyakinan. Mungkinkah juga (menjadi) kafir?

Karena itu, saya harus tegaskan bahwa sampai hari ini saya adalah genuine muslim. Tidak ada keraguan sedikit pun tentang kemusliman saya. Saya juga tidak peduli terhadap sebuah penilaian, sehingga harus mempertanyakan kemusliman saya. Bagi saya, kemusliman saya hanya Tuhan (Allah SWT) dan saya saja yang tahu. Tidak ada orang atau pihak manapun yang berhak ‘menghakimi’ keyakinan saya atas nama sebuah pandangan.

Wallahu a’alam bish shawab

Makassar, 25/4/2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun