Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

'Noda Hitam' Aksi Bela Islam

1 April 2017   12:51 Diperbarui: 1 April 2017   21:00 3864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : kompas.com

Oleh : eN-Te

Umat Islam kembali menunjukkan ‘kekuatannya’, melakukan aksi 313. Jumat (31/3/2017) kemarin, dari siang hingga sore, setelah menunaikan ibadah Jumat di Masjid Istiqlal, ‘pasukan’ bela Islam mulai bergerak menuju lokasi melakukan aksi unjuk rasa dan orasi.

Gerakan 313 ini merupakan aksi bela Islam yang kesekian, setelah sebelumnya melakukan aksi yang sama dengan menggunakan simbol-simbol ‘angka cantik’ dalam kalender. Seperti 411 dan 212.

Tidak menutup kemungkinan aksi-aksi yang sama dengan merujuk pada ‘angka-angka cantik’ itu masih akan terus berlanjut, misalnya bulan April nanti ada 114. Dan hal itu sangat bergantung pada isu sentral tentang penistaan atau penodaan agama yang memposisikan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok menjadi aktor utama masih cukup kuat memberikan pengaruh pada atmosfir politik (nasional).  

***

Jika sebelumnya aksi-aksi bela Islam yang menjadi motor penggerak utama adalah Front Pembela Islam (FPI) yang dibantu oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, maka gerakan 313 bertukar ‘aktor utama’. Pada gerakan 411 dan 212, yang berperan menjadi ‘aktor utama’ adalah Imam Besar FPI, Rizieq Shihab (RS) dengan ‘aktor figuran’ Ketua GNPF MUI, Bakhtiar Nasir, maka pada aksi 313 kemarin, yang menjadi ‘aktor utama’ adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Umat Islam (FUI), Muhammad Al-Khaththath.

Al-Khaththath, seperti lafadz namanya, terdengar sangat Arab. Maka pria yang tidak sedikit pun tergambar sebagai keturunan Arab(?) ini, dalam posisinya sebagai Sekjen FUI bertindak sebagai koordinator lapangan (korlap) aksi 313 kemarin. Sayangnya, sebagai korlap, Al-Khaththath tidak jadi terjun langsung ke lokasi unjuk rasa untuk mengkoordinir dan memberi semangat langsung kepada peserta aksi. Mengapa demikian?

Karena sebelum aksi berlangsung, Al-Khaththath telah terlebih dahulu diciduk aparat. Ia diduga terlibat dalam permufakatan jahat alias makar yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Bersama empat orang lainnya, Al-Khaththath digelandang oleh polisi menuju Markas Komando (Mako) Brimob Polda Metro Jaya untuk diinterogasi.

***

Al-Khaththath ditangkap sedang tertidur pulas menikmati kasur empuk di Hotel Kempinski, Jakarta Pusat. Hotel bintang 5 dengan tarif semalam yang cukup membuat orang kebanyakan seperti peserta aksi yang culun-culun berkantong tipis hanya bisa berdecap kagum melihat dari kejauhan ini, megap-megap.

Ketika semua peserta aksi yang berasal dari daerah ingin menunjukkan ‘ghirah’ membela Islam dengan bersedia berpanas-panasan, berhujan-hujan kebasahan, berdingin kedinginan berbaring beralaskan ubin masjid, sang korlap malah sedang berbuai mimpi indah di atas tilam empuk Hotel Kempinski. Entah apa yang ada dalam pikiran si Sekjen ini, hingga tak peduli nasib ‘umat’ yang telah rela datang ke Jakarta untuk memenuhi ‘himbuannya’.

***

‘Keluguan’ para peserta telah dengan begitu sempurna dimanfaatkan oleh sang korlap untuk mendapatkan keuntungan. Paling kurang sudah dapat menikmati kasur empuk ala Hotel Kempinski. Pikirnya, ‘umat yang culun-culun’ ini dapat dibodohi dengan sedikit memainkan dan memanipulasi sentimen keagamaan serta mengeksploitasi nilai religiusitas mereka. Sambil kemudian mencoba ‘menjajakan’ kepada para petualang politik dan oportunis untuk mendapatkan keuntungan. Soal perjuangan peserta aksi, biarlah mereka sendiri yang memaknainya.

Inilah noda hitam yang telah menggerus niat suci para peserta aksi. Masalahnya, meski sudah mendapati fakta berulang seperti itu, mereka tetap saja tetap bersikap ‘lucu’ (lugu dan cucun). Tidak mau tahu dan tidak mau peduli, bahwa pada kenyataannya ‘perjuangan suci’ mereka telah dinodai dan dikotori oleh oknum-oknum dan aktor-aktor munafik. Berteriak secara lantang membela agama dengan tameng sebagai tokoh agama dan menggalang aksi dengan peserta yang ‘lucu’, tapi di balik itu tersembunyi hasrat primitif mendapatkan keuntungan  untuk memenuhi syahwat dan ambisi (politik) yang bersifat profan.

Noda hitam itu ‘terbukti’ bahwa ternyata ada misi dan tujuan lain di balik gerakan aksi 313. Lepas dari ‘modus yang nyaris mirip dengan aksi 212, penangkapan lima orang termasuk Sekjen FUI itu telah mencoreng ‘ghirah’ peserta aksi membela Islam. Elit-elit agama dan para oportunis seperti para aktivis yang ditangkap itu telah memanfaatkan sentimen keagamaan dengan memanipulasi dan mengeksploitasi nilai religiusitas peserta aksi atas nama ‘ghirah’ dan ‘perjuangan suci’.  

***

Mengapa sebagai umat mayoritas, kita terus menerus menjadi ‘pecundang’? Kita baru mampu menunjukkan ‘kekuatan’ hanya sebatas jumlah (mayoritas). Tidak lebih dari itu! Sehingga ketika kita ‘berteriak-teriak’ di jalan, bukan membuat kelompok atau golongan lain merasa takut dan memberi hormat, tapi malah sebaliknya, membiarkan dan malah mencibirnya. Apalagi dengan fakta seperti yang ditunjukkan oleh ‘oknum’ yang mengatasnamakan elit politik dan elit agama.

Perjuangan suci yang digelorakan untuk menarik perhatian dan ghirah umat, tidak lebih merupakan lip service. Ternyata usai aksi, tidak hanya meninggalkan noda, tapi juga membuat pihak lain kehilangan respek dan rasa hormat. Bahkan lebih jauh malah mencibirnya. Dampak lebih jauh akan berpengaruh luas pada kehidupan sosial politik umat secara keseluruhan. Mengingat, yang noda itu tidak mudah luntur dan hilang, dia akan tetap membekas.

Jika para elit politik dan tokoh agama yang masih ‘waras’ tidak cepat-cepat turun tangan untuk mengubah stigma yang terlanjur terbentuk ini, maka lambat laun, meski kita sebagai umat mayoritas akan tetap menjadi penonton. Posisi sebagai umat mayoritas dari segi jumlah akan tetap diperpinggirkan. Proses marginalisasi itu akan terus berlangsung, bukan karena ‘dikondisikan’, tapi dalam banyak hal, karena ulah dan kesalahan kita sendiri.

Sementara kelompok dan golongan lain (mungkin mereka minoritas) tapi mampu menunjukkan kualitasnya, dapat memanfaatkan ‘peluang’ itu untuk meningkatkan posisi tawar dan cengkraman mereka. Maka meski sebagai mayoritas, posisi kita akan tetap menjadi seperti buih di lautan, mudah diombang-ambingkan dan dipermainkan sesuka hati oleh mereka yang sedang memegang kendali.

***

Perilaku hedon(istik) seperti yang diperlihatkan oleh Sekjen FUI, Al-Khathatath, dan tokoh-tokoh lain sebelumnya, yang jauh dari nilai-nilai sufiistik sebagai perwujudan sikap tokoh agama, dapat menjadi ‘pelajaran’ untuk berbenah. Umat Islam sebagai mayoritas dari penduduk negeri ini, harus mempunyai strategi yang ‘mumpuni’ jika ingin mengambil peran dan menempati posisi sentral dalam penyelenggraan negara di negeri zamrud khatulistiwa ini.

Syaratnya, jangan terus menerus menepuk dada karena menang jumlah, tapi sudah saatnya harus bangkit memperbaiki diri pada aspek kualitas dan kompetensi. Harus segera para elit politik dan tokoh agama yang masih ‘waras’ untuk membebaskan umat dari cengkraman para petualang (baik politik maupun agama). Tentu saja, harus mengurangi dan menghapus ‘semua langkah’ yang dapat menjebak dan menimbulkan noda hitam yang dapat memberi nilai minus, yang malah akan menjadi ganjalan untuk meningkatkan posisi tawar. Dengan demikian eksistensi umat Islam tidak hanya dikenal sebatas umat mayoritas dari segi jumlah tapi mampu menunjukkan identitas sebenarnya sebagai umat yang rahmatan lil alaamin.

Wallahu a’alam bish shawab

Makassar, 1/4/2017

Sumber bacaan : 

http://megapolitan.kompas.com/read/2017/03/31/12330701/sekjen.fui.al-khaththath.ditangkap.di.hotel.kempinski

http://megapolitan.kompas.com/read/2017/04/01/11182221/polisi.putuskan.menahan.sekjen.fui.al-khaththath.dan.empat.lainnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun