***
‘Keluguan’ para peserta telah dengan begitu sempurna dimanfaatkan oleh sang korlap untuk mendapatkan keuntungan. Paling kurang sudah dapat menikmati kasur empuk ala Hotel Kempinski. Pikirnya, ‘umat yang culun-culun’ ini dapat dibodohi dengan sedikit memainkan dan memanipulasi sentimen keagamaan serta mengeksploitasi nilai religiusitas mereka. Sambil kemudian mencoba ‘menjajakan’ kepada para petualang politik dan oportunis untuk mendapatkan keuntungan. Soal perjuangan peserta aksi, biarlah mereka sendiri yang memaknainya.
Inilah noda hitam yang telah menggerus niat suci para peserta aksi. Masalahnya, meski sudah mendapati fakta berulang seperti itu, mereka tetap saja tetap bersikap ‘lucu’ (lugu dan cucun). Tidak mau tahu dan tidak mau peduli, bahwa pada kenyataannya ‘perjuangan suci’ mereka telah dinodai dan dikotori oleh oknum-oknum dan aktor-aktor munafik. Berteriak secara lantang membela agama dengan tameng sebagai tokoh agama dan menggalang aksi dengan peserta yang ‘lucu’, tapi di balik itu tersembunyi hasrat primitif mendapatkan keuntungan  untuk memenuhi syahwat dan ambisi (politik) yang bersifat profan.
Noda hitam itu ‘terbukti’ bahwa ternyata ada misi dan tujuan lain di balik gerakan aksi 313. Lepas dari ‘modus yang nyaris mirip dengan aksi 212, penangkapan lima orang termasuk Sekjen FUI itu telah mencoreng ‘ghirah’ peserta aksi membela Islam. Elit-elit agama dan para oportunis seperti para aktivis yang ditangkap itu telah memanfaatkan sentimen keagamaan dengan memanipulasi dan mengeksploitasi nilai religiusitas peserta aksi atas nama ‘ghirah’ dan ‘perjuangan suci’. Â
***
Mengapa sebagai umat mayoritas, kita terus menerus menjadi ‘pecundang’? Kita baru mampu menunjukkan ‘kekuatan’ hanya sebatas jumlah (mayoritas). Tidak lebih dari itu! Sehingga ketika kita ‘berteriak-teriak’ di jalan, bukan membuat kelompok atau golongan lain merasa takut dan memberi hormat, tapi malah sebaliknya, membiarkan dan malah mencibirnya. Apalagi dengan fakta seperti yang ditunjukkan oleh ‘oknum’ yang mengatasnamakan elit politik dan elit agama.
Perjuangan suci yang digelorakan untuk menarik perhatian dan ghirah umat, tidak lebih merupakan lip service. Ternyata usai aksi, tidak hanya meninggalkan noda, tapi juga membuat pihak lain kehilangan respek dan rasa hormat. Bahkan lebih jauh malah mencibirnya. Dampak lebih jauh akan berpengaruh luas pada kehidupan sosial politik umat secara keseluruhan. Mengingat, yang noda itu tidak mudah luntur dan hilang, dia akan tetap membekas.
Jika para elit politik dan tokoh agama yang masih ‘waras’ tidak cepat-cepat turun tangan untuk mengubah stigma yang terlanjur terbentuk ini, maka lambat laun, meski kita sebagai umat mayoritas akan tetap menjadi penonton. Posisi sebagai umat mayoritas dari segi jumlah akan tetap diperpinggirkan. Proses marginalisasi itu akan terus berlangsung, bukan karena ‘dikondisikan’, tapi dalam banyak hal, karena ulah dan kesalahan kita sendiri.
Sementara kelompok dan golongan lain (mungkin mereka minoritas) tapi mampu menunjukkan kualitasnya, dapat memanfaatkan ‘peluang’ itu untuk meningkatkan posisi tawar dan cengkraman mereka. Maka meski sebagai mayoritas, posisi kita akan tetap menjadi seperti buih di lautan, mudah diombang-ambingkan dan dipermainkan sesuka hati oleh mereka yang sedang memegang kendali.
***
Perilaku hedon(istik) seperti yang diperlihatkan oleh Sekjen FUI, Al-Khathatath, dan tokoh-tokoh lain sebelumnya, yang jauh dari nilai-nilai sufiistik sebagai perwujudan sikap tokoh agama, dapat menjadi ‘pelajaran’ untuk berbenah. Umat Islam sebagai mayoritas dari penduduk negeri ini, harus mempunyai strategi yang ‘mumpuni’ jika ingin mengambil peran dan menempati posisi sentral dalam penyelenggraan negara di negeri zamrud khatulistiwa ini.