Oleh : eN-Te
Pernak pernik dan aksesories dari sidang Ice “Sianida” Coffee sungguh membuat publik Indonesia terhibur dan tertarik untuk terus mengikuti alur ceritanya. Plot yang dibangun dalam “scenario” sinetron ala sidang Ice “Sinanida” Coffee ini membuat alur ceritanya tak dapat ditebak dengan mudah, ke mana akan berakhir.
***
Awal sidang dimulai dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan dakwaan dengan membeberkan alur cerita secara kronologis hingga sampai pada seorang anak manusia dari tiga orang sahabat harus meregang nyawa. Diceritakan bahwa tiga orang sahabat, Wayan Mirna Salihin (Mirna), Jessica Kumala Wongso (Jessica), dan Hany Bong (awalnya empat orang, tapi sahabat mereka yang lain, yakni Vera, tiba-tba membatalkan hadir), bersepakat untuk bertemu melepas kangen di Kafe Olivier.
Singkat cerita, setelah bertemu dan melepas kangen dengan bercipika cipiki, ketiganya kemudian duduk menikmati “pesanan” ala Jessica yang sudah tersedia di meja 54. Tapi, sungguh miris, ibarat malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, setelah mereguk seteguk Ice “Sianida” Coffee, salah seorang dari tiga sahabat itu, malah roboh (collapse). Sahabat dari tiga orang yang roboh itu, adalah Mirna.
***
Sausana pun berubah total. Awalnya berharap reuni tiga sahabat itu akan berakhir bahagia (happy ending), malah berujung maut yang menakutkan. Sebuah horor yang menghantui dua sahabat lainnya, ketika menyaksikan secara langsung sahabat mereka harus collapse di hadapan mereka setelah meminum es kopi itu. Maka berbagai dugaan dan tanya pun muncul.
Ada apa dengan korban? Apa yang terjadi dengan korban? Mengapa pula korban roboh setelah meminum es kopi itu? Ada apa di dalam es kopi itu? Apakah ada “zat terlarang”yang tidak seharusnya ada dalam es kopi itu yang sifatnya dapat membuat orang yang meminumnya roboh? Jika ada “zat terlarang” lain yang tidak seharusnya ada dalam es kopi itu, siapa pula yang menaburkannya? Atas motif apa pula pelaku tega menaburkan “zat terlarang” itu ke dalam es kopi yang akan diminun sahabatnya? Dan berbagai pertanyaan lainnya.
***
Polisi pun bergerak cepat melakukan penyelidikan. Setelah melalui lika-liku penyelidikan, polisi kemudian berkesimpulan bahwa orang yang patut diduga menjadi dalang dan pelaku atas horor Ice “Sianida” Coffee itu adalah salah satu dari dua sahabat lainnya, yakni Jessica. Status tersangka pun kemudian disematkan kepada Jessica.
Setelah melalui proses yang cukup panjang dan menegangkan, akhirnya terdakwa (Jessica) dilimpahkan kepada JPU bersamaan dengan berkas kasus. Maka mulai saat itu Jessica terpaksa harus menerima satu lagi predikat tambahan, naik tingkat menjadi terdakwa. Jessica menjadi terdakwa tunggal dalam peristiwa horor Ice “Sianida” Coffee itu.
***
Mau tidak mau, suka tidak suka, rela atau tidak rela, Jessica harus masuk pada episode berikutnya dari sinetron ala es kopi maut ini, yakni proses persidangan. Jessica harus menerima kenyataan duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa tunggal. Jessica dituduh sebagai aktor utama dalam kematian sahabatnya sendiri, yakni Wayan Mirna melalui racun sianida yang ditaburkan ke dalam es kopi.
Pertanyaan kemudian muncul adalah mengapa harus Jessica yang ditunjuk hidungnya untuk mempertanggungjawabkan horor Ice “Sianida” Coffee itu?
Menurut JPU, setelah menguraikan alur cerita awal mula kejadian, kemudian sampai pada kesimpulan bahwa Mirna collapse dan kemudian menjadi korban es kopi maut, akibat ulah dari teman dan sahabatnya sendiri, yakni Jessica. Jessica diduga orang yang paling bertanggung jawab terhadap kematian Mirna. Mengingat Jessica diduga paling berpotensi melakukan manipulasi terhadap Ice “Sianida” Coffee. Manipulasi yang dilakukan Jessica adalah memasukkan “zat terlarang”, yang belakangan diketahui setelah melalui proses pemeriksaan ahli, sebagai racun sianida, ke dalam es kopi.
***
Drama berlanjut. Fokus persidangan mengarah pada upaya untuk membuktikan keberadaan racun sianida dan siapa yang paling berpotensi menaburkan ke dalam es kopi maut itu. Maka para saksi dan saksi ahli pun dihadirkan ke persidangan. Termasuk saksi ahli dari JPU.
Menurut ahli, sesuai kesaksian ahli di persidangan, bahwa berdasarkan gerak tubuh (gesture), orang yang paling berpotensi melakukan manipulasi terhadap es kopi, adalah Jessica. Dari tiga sahabat itu, Jessica yang lebih awal hadir, memesankan Ice “Sianida” Coffee, dua minuman lainnya (cocktail), dan kemudian langsung membayar lunas (closed bill).
Juga selama waktu menunggu kedua sahabatnya tiba di tempat (Kafe Olivier), Jessica memiliki rentang waktu lebih kurang 51 menit. Dalam interval waktu 51 menit itu, menurut ahli terlihat gerak tubuh Jessica yang “mencurigakan”. Gerak tubuh yang “mencurigakan” ini, kemudian oleh ahli disebut sebagai perilaku yang tidak lazim. Yakni, gerak tubuh yang mengindikasikan terdakwa berpotensi melakukan manipulasi terhadap es kopi maut itu.
Dari semua rangkaian kejadian itu, mulai dari perilaku dan gesture yang diperlihatkan, maka para saksi ahli (psikolog, kriminolog, psikiater) akhirnya berkesimpulan bahwa pelaku yang menyebabkan tewasnya Mirna adalah Jessica. Dan untuk mementahkan argumentasi saksi ala JPU ini, Tim Penasehat Hukum (PH) akan menghadirkan saksi ahli yang meringankan terdakwa. Maka pada episode berikutnya menjadi hak terdakwa bersama Tim PH menghadirkan saksi-saksi dan saksi ahli yang meringan.
***
Drama demi drama dalam sidang es kopi maut ini sudah berlangsung 18 episode. Tujuhbelas episode awal menjadi kesempatan JPU untuk membuktikan dakwaannya. Fokus pembuktian adalah tentang racun sianida itu.
Para saksi dan saksi ahli telah dihadirkan JPU untuk didengarkan kesaksiannya. Dari semua kesaksian ahli dalam rangkaian sidang selama 17 episode itu, ada sebuah frasa yang menjadi fenomena, yang diperkenalkan oleh saksi sehingga menjadi sangat familiar di telinga penonton maupun pemirsa TV. Yakni frasa lazim dan tidak lazim (lihat Gara-gara Frasa Tidak Lazim).
Episode ke-17 dari sinetron es kopi maut telah berakhir. Kesempatan JPU untuk membuktikan dakwaannya pun sudah usai. Kini giliran terdakwa “membela” diri dengan menghadirkan saksi meringankan. Termasuk menghadirkan saksi ahli untuk mematahkan argumen dari saksi ahli JPU. Argumen mana untuk mementahkan semua analisis ahli dari JPU atas tuduhan (dakwaan) ada racun sianida di dalam es kopi maut yang diminum korban.
***
Episode ke-18 kemarin, Senin (5/9/2016) dari sinetron kopi maut terdakwa dan Tim PH terdakwa menghadirkan saksi ahli Patologi Forensik dari Brisbane Australia. Kehadiran saksi ahli yang didatangkan “khusus” dari Brisbane Australia ini untuk didengarkan kesaksiannya berdasarkan keahliannya. Saksi ahli Patologi Forensik yang dihadirkan Tim PH terdakwa itu adalah Profesor Beng Beng Ong (BBO).
Hanya saja kehadiran sang Profesor ini malah berbuntut panjang. Inilah yang saya maksud dengan cerita lain yang menjadi pernak pernik dan aksesories yang menghiasi sinetron Ice “Sianida” Coffee ini. Hal yang membuat sinetron es kopi maut menjadi “daya tarik” sehingga menarik untuk diikuti dan disimak jalan ceritanya.
Saya tidak ingin masuk ke dalam persoalan yang berkaitan dengan hukum. Karena saya tidak memiliki kompetensi dalam bidang itu. Saya hanya ingin menyampaikan cerita di sekitar proses mengurai benang kusut masalah hukum yang sangat pelik seperti ditampilan dalam sinetron Ice “Sianida” Coffee itu. Ya seperti juga kisah sang profesor “ahli” BBO ini.
***
Pada persidangan episode ke-18 itu terlihat JPU mempersoalkan status saksi ahli BBO itu. Mulai dari visa yang digunakan sang ahli sampai pada legitimasi formal atas keahliannya sebagai Patologi Forensik.
Tentang visa, saksi ahli menjelaskan bahwa ia menggunakan visa kunjungan untuk masuk ke Indonesia. Bukan menggunakan visa tinggal terbatas untuk menjalankan profesi keahliannya. Bagi JPU, apa yang dilakukan BBO merupakan tindakan ilegal karena melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 6/2011 tentang Keimigrasian. BBO diduga menyalahgunakan izin tinggal keimigrasian dan melakukan pelanggaran administratif (lihat sumber).
Mengapa JPU menyangsikan status saksi ahli dari Brisbane Australia ini? Menurut JPU, saksi ahli hadir untuk menjalankan profesi keahliannya, karena itu pasti mendapat fee, sementara ahli masuk ke Indonesia menggunakan visa kunjungan.
Menurut UU Nomor 6/2011 tentang keimigrasian disebutkan bahwa bila seseorang warga asing yang masuk ke Indonesia untuk menjalankan tugas profesinya, maka harus menggunakan visa tinggal terbatas. Sementara BBO hadir di persidangan untuk didengarkan kesaksiannya, dalam rangka menjalankan profesi keahliannya tidak menggunakan visa tinggal terbatas melainkan visa kunjungan. Maka apa yang dilakukan BBO merupakan sebuah tindakan melanggar hukum (ilegal).
Karena itu, bagi JPU, jika ahli masuk ke Indonesia untuk menjalankan profesi keahliannya secara ilegal dan bertentangan dengan perundanga-undangan, maka otomatis hal itu akan berpengaruh pada keabsahan kesaksiannya. Dengan kata lain, jika “ahli ilegal” maka kesaksiannya pun ilegal. Jika seperti itu ketentuan hukumnya, maka seharusnya keasksian ahli tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembuktian di muka persidangan. Berikutnya Hakim juga seharusnya tidak menjadikan kesaksian itu sebagai dasar pertimbangan dalam memutus perkara.
***
Hal lain yang menjadi perhatian JPU dari BBO ini adalah mengenai status keahliannya. Maka JPU pun mempertanyakan kepada ahli tentang legitimasi formal dari keahliannya.
Ketika mendapat berondongan pertanyaan dari JPU yang mempersoalkan legitimasi formal tentang keahliannya, BBO hanya menjawab bahwa keahliannya itu diperoleh tidak melalui sebuah pendidikan atau pelatihan formal. Karena itu BBO tidak memiliki selembar sertifikat sebagai bentuk pengakuan terhadap keahliannya. Apa yang menjadi keahliannya sekarang diperoleh melalui membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan itu.
Dengan begitu, kita sebagai awam jadi bertanya-tanya, ludruk macam apalagi dari sinetron Ice “Sianida” Coffee ini? Wajar bila saya dan mungkin masih banyak awam lainnya, merasa apa yang terjadi di persidangan es kopi maut itu tidak lebih dari dagelan yang tidak lucu.
***
Kelucuan pertama dihadirkan oleh saksi ahli dari JPU, dengan “mantra ajaibnya” frasa lazim dan tidak lazim. Saya berpikir kelucuan itu akan berakhir setelah saksi ahli yang dihadirkan PH terdakwa. Alih-alih membuat persidangan menjadi sebuah momentum untuk menghadirkan keadilan bagi semua (justice for all), ini malah membuat dagelan baru.
Dagelan pun berlanjut. Seusai memberikan kesaksian di muka persidangan, sang profesor malah digelandang dan selanjutnya dideportasi ke tempat asalnya dengan tuduhan menyalahgunakan izin tinggal.
***
Maka epsode akhir dari sinetron Ice “Sianida” Coffee akan berakhir manis atau pahit bagi terdakwa, masih harus kita tunggu. Atau malah publik masih tetap disuguhi plot cerita yang masih mirip, yakni tingkah pola saksi yang masih menunjukkan hiburan yang dipaksakan.
Lepas dari validitas dan keabsahan kesaksian para saksi dan saksi ahli, Hakim harus lebih jeli melihat semua rangkaian dan fakta-fakta yang terungkap persidangan. Kemudian berdasarkan semua rangkaian dan fakta yang ada, dengan tidak mengabaikan “pernak-pernik dan aksesories” cerita ala sinetron Ice “Sianida” Coffee ini, Hakim mengambil keputusan secara adil. Kita berharap keputusan yang diambil Hakim telah mempertimbangkan semua aspek dan rasa keadilan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan untuk semua (justice for all). Baik bagi (keluarga) korban, juga baik untuk terdakwa. Tidak ada pihak yang perlu dan merasa dirugikan.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 07092016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H