Sudah lebih dari puluhan saksi dihadirkan untuk didengarkan kesaksiannya dalam persidangan “racun sianida”. Baik dari pegawai Cafe Olivier, dokter yang pertama menangani korban, sampai pada saksi ahli.
Dari semua saksi ahli yang telah didengarkan kesaksiannya, ada hal yang menarik dan menjadi sebuah fenomena perdebatan setiap sidang berlangsung. Perdebatan mana terjadi antara saksi ahli, jaksa penuntut umum (JPU), dan penasehat hukum (PH) terdakwa. Perdebatan mana, mempersoalkan terminologi atau frasa “tidak lazim”.
Terminologi atau frasa “tidak lazim” ini menjadi fenomena tersendiri. Sebab saksi ahli (terutama dari ahli psikologi) seringkali mendasarkan kesimpulannya pada perilaku terdakwa, yang “tidak lazim”. Menurut ahli, Jessica sering memperlihatkan perilaku “tidak lazim”, sejak dan selama hadir di lokasi pertemuan hingga korban dibawa ke rumah sakit. Ketidaklaziman inilah dalam kaca mata ahli menunjukkan sebuah maksud atau tujuan tersembunyi. Apa itu? Katanya, ingin melampiaskan “dendam” terhadap korban.
***
Sayangnya kesaksian ahli yang mendasarkan pada perilaku dan gesture terdakwa, seringkali hanya merujuk pada praktek umum yang berlaku (di masyarakat). Bahwa apa yang diperlihatkan terdakwa cenderung “tidak lazim”, sebagaimana kebiasaan yang berlaku umum dalam masyarakat.
Masalah kemudian muncul adalah, ketika ahli diminta untuk menjelaskan kembali oleh PH terdakwa, dengan apa yang dimaksud dengan “tidak lazim” itu? Apa parameternya? Adakah penelitian bersifat statistik yang dapat membuktikan kesimpulan perilaku tidak lazim itu?
Dan seringkali terlihat ahli memberi jawaban “gagap”. Maksud saya, ahli tidak dapat secara gamblang dan lugas menjelaskan makna dari terminologi atau frasa “tidak lazim” itu secara pas dan tepat. Sehingga terkesan sangat lucu dan menggelikan.
Maka wajar PH terdakwa memanfaatkan peluang tersebut untuk bermain “mempermainkan” ahli. Pada kondisi demikian, ahli semakin grogi dan gelagapan memberi jawaban. Terlihat ahli tidak siap dengan kesimpulan serta pilihan istilah atau frasa dalam kesimpulannya.
Bisa jadi kondisi itu dipengaruhi oleh faktor psikologis yang tidak terbiasa hadir di ruang dan atau atmosfir sidang. Mestinya ahli sudah dapat memprediksi kemungkinan kesimpulannya disanggah oleh pihak terdakwa melalui PH-nya. Sehingga ahli dapat mempersiapkan berbagai varian kemungkinan jawaban atas pertanyaan PH. Tidak seperti kita lihat dalam persidangan, di mana sepertinya ahli tidak siap dengan kesimpulan dan sanggahan terhadap kesimpulannya. Pertanyaan kemudian muncul adalah, bagaimana mungkin seorang ahli menyimpulkan sebuah hal tapi tidak dapat menjelaskan makna sebenarnya dari kesimpulannya tersebut?
***
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah atau kata lazim diartikan sebagai 1) sudah biasa; sudah kebiasaan; 2) sudah unium (terdapat, terjadi, dilakukan, dsb). Sedangkan bila kata dasar lazim itu diberi imbuhan, awalan dan akhiran ke-an, menjadi kelaziman, berarti kebiasaan (yg sudah umum) (2008, h. 894).