Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gara-gara Frasa Tidak Lazim, Jessica (dapat) Bebas

2 September 2016   15:47 Diperbarui: 2 September 2016   17:54 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://tirto.id/20160901-75/kesaksian-ahli-psikolog-di-sidang-jessica-kumala-wongso-315871

Oleh : eN-Te

Kasus meninggalnya Wayan Mirna Salihin (Mirna) yang diduga disebabkan oleh racun sianida yang menyeret Jessica Kumala Wongso (Jessica) sudah berlangsung lebih kurang sembilan (9) bulan. Terhitung sejak 6 Januari 2016 sampai dengan sidang ke-17 kemarin (Kamis, 1/9/2016), kasus racun sianida itu belum menemukan titik terang.

Kasus racun sianida itu menyeret Jesssica sebagai tersangka dan terdakwa tunggal. Jessica (terpaksa) menyandang predikat terdakwa tunggal karena ia dianggap paling berpotensi melakukan tindakan manipulatif terhadap ice coffee Vietnam yang dipesan dan akan diminum Mirna.

***

Rencana reuni yang seharusnya berakhir bahagia (happy ending) itu malah berujung maut. Maut itu menghampiri salah satu di antara tiga orang sahabat yang hendak bertemu melepas kangen. Awalnya bukan tiga sahabat saja yang hendak bereuni melepas kangen dan merajut kembali kebersamaan, tapi empat orang.

Jessica, Mirna, Hanni, dan Vera awalnya berencana ingin bertemu untuk melakukan “reuni”. Mereka kemudian bersepakat tempat dan waktu. Salah satu di antara empat orang itu (Vera) secara tiba-tiba membatalkan janji bertemu karena ada keperluan lain, sehingga terpaksa hanya Jessica, Hanni, dan Mirna saja yang  bertemu. Maka pada hari Rabu (6/1/2016) sore bertempat Cafe Olivier, ketiganya pun berjumpa.

***

Sebagaimana layaknya para sahabat yang sudah lama tidak berjumpa, maka ketika kesempatan bersua itu datang, mereka pun berpeluk cium untuk melepas kangen. Sayangnya suasana yang bersahabat itu, malah hanya dalam hitungan menit, berubah total menjadi suasana horor yang menakutkan.

Horor itu ternyata mengantarkan salah satu di antara tiga sahabat itu, yakni Mirna harus meregang nyawa. Tiga orang sahabat yang baru bertemu ingin melepas kangen dan merajuk kembali kebersamaan, terpaksa berpisah untuk selama-lamanya dengan salah satu sahabat mereka, Mirna.

Mirna collapse setelah baru sempat mereguk seteguk ice coffee Vietnam. Nyawa Mirna tak dapat tertolong karena sudah meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.

***

Cerita pun berlanjut. Kematian Mirna yang “mendadak” memunculkan berbagai dugaan. Ada apa sebenarnya, sehingga Mirna yang baru tiba dan hanya mereguk seteguk ice coffee,harus rubuh, kemudian meregang nyawa?  

Kematian yang tidak wajar itu segera membuat jagad pemberitaan Indonesia dipenuhi berbagai hipotesa dan analisa. Hipotesa dan analisa itu muncul untuk melihat hubungan kausalitas terhadap berbagai variabel dan kemungkinan penyebab kematian.

Fokus perhatian tertuju pada obyek yang dikonsumsi korban. Sesaat sebelum rubuh (collapse), korban mengkonsumsi atau mencicipi ice coffee Vietnam. Bahkan sebelum collapsedan meninggal, setelah mereguk seteguk ice coffe Vietnam itu, menurut Hanni, korban sempat berujar mempertanyakan rasa ice coffee itu. Katanya rasa ice coffee itu agak sedikit berbeda (terasa lain) dari biasanya.

***

Penyelidikan pun dilakukan untuk membuktikan apakah dalam ice coffe itu ada “sesuatu zat” lain yang seharusnya tidak berada dalam kopi itu. “Sesuatu zat” lain itu, kemudian diketahui sebagai racun. Racun itu ternyata sianida. Sebuah zat racun yang sangat mematikan.

Menurut ahli, bila zat racun sianida masuk ke dalam tubuh yang dosisnya melebihi dosis normal, maka hanya dalam hitungan detik korban akan menjemput maut. Sebab zat atau racun sianida itu bersifat korosif, dan bila masuk ke dalam aliran darah akan mengikat oksigen (O2) sehingga darah membeku sehingga tidak dapat membawa O2 sampai ke otak. Jika darah membeku dan tidak dapat lagi mengalirkan O2ke otak dan organ tubuh lainnya, maka semua fungsi yang menggerakkan kehidupan dalam tubuh akan terhenti. Dalam kondisi tersebut maka seseorang dikatakan meninggal (dunia).

Menurut ahli kesehatan, John P. Cunha, DO, FACOEP, sianida bekerja dengan membuat tubuh terhenti dari akses oksigen sehingga manusia akan meninggal lebih cepat. Mengapa demikian? Karena sianida mengikat bagian aktif dari enzim sitokrom oksidase, sehingga akan mengakibatkan terhentinya metabolisme sel secara aerobic serta gangguan respirasi seluler. Sebagai akibatnya hanya dalam waktu beberapa menit akan mengganggu transmisi neuronal (lihat di sini).

***

Kembali ke topik! Singkat cerita, Jessica, teman korban, Mirna yang telah membuat janjian bertemu bersama dan yang memesan minuman ice coffee Vietnam di Cafe Olivier menjadi tertuduh tunggal. Setelah melalui penyelidikan dan penyidikan yang nyaris membuat tersangka bebas, kasus racun sianida pun berlanjut di meja persidangan.

Seperti sudah diketahui dari awal bahwa orang yang paling berpotensi melakukan tindakan manipulatif terhadap ice coffee Vietnam adalah Jessica.  Maka dalam rangkaian persidangan yang sudah mencapai persidangan ke-17 kemarin, pembuktian masih berputar pada upaya untuk membuktikan, siapa yang menuangkan bubuk sianida itu ke dalam ice coffee Vietnam yang diminum korban?

***

Sudah lebih dari puluhan saksi dihadirkan untuk didengarkan kesaksiannya dalam persidangan “racun sianida”. Baik dari pegawai Cafe Olivier, dokter yang pertama menangani korban, sampai pada saksi ahli.  

Dari semua saksi ahli yang telah didengarkan kesaksiannya, ada hal yang menarik dan menjadi sebuah fenomena perdebatan setiap sidang berlangsung. Perdebatan mana terjadi antara saksi ahli, jaksa penuntut umum (JPU), dan penasehat hukum (PH) terdakwa. Perdebatan mana, mempersoalkan terminologi atau frasa “tidak lazim”.

Terminologi atau frasa “tidak lazim” ini menjadi fenomena tersendiri. Sebab saksi ahli (terutama dari ahli psikologi) seringkali mendasarkan kesimpulannya pada perilaku terdakwa, yang “tidak lazim”. Menurut ahli, Jessica sering memperlihatkan perilaku “tidak lazim”, sejak dan selama hadir di lokasi pertemuan hingga korban dibawa ke rumah sakit. Ketidaklaziman inilah dalam kaca mata ahli menunjukkan sebuah maksud atau tujuan tersembunyi. Apa itu? Katanya, ingin melampiaskan “dendam” terhadap korban.

***

Sayangnya kesaksian ahli yang mendasarkan pada perilaku dan gesture terdakwa, seringkali hanya merujuk pada praktek umum yang berlaku (di masyarakat). Bahwa apa yang diperlihatkan terdakwa cenderung “tidak lazim”, sebagaimana kebiasaan yang berlaku umum dalam masyarakat.

Masalah kemudian muncul adalah, ketika ahli diminta untuk menjelaskan kembali oleh PH terdakwa, dengan apa yang dimaksud dengan “tidak lazim” itu? Apa parameternya? Adakah penelitian bersifat statistik yang dapat membuktikan kesimpulan perilaku tidak lazim itu?

Dan seringkali terlihat ahli memberi jawaban “gagap”. Maksud saya, ahli tidak dapat secara gamblang dan lugas menjelaskan makna dari terminologi atau frasa “tidak lazim” itu secara pas dan tepat. Sehingga terkesan sangat lucu dan menggelikan.

Maka wajar PH terdakwa memanfaatkan peluang tersebut untuk bermain “mempermainkan” ahli. Pada kondisi demikian, ahli semakin grogi dan gelagapan memberi jawaban. Terlihat ahli tidak siap dengan kesimpulan serta pilihan istilah atau frasa dalam kesimpulannya.

Bisa jadi kondisi itu dipengaruhi oleh faktor psikologis yang tidak terbiasa hadir di ruang dan atau atmosfir sidang. Mestinya ahli sudah dapat memprediksi kemungkinan kesimpulannya disanggah oleh pihak terdakwa melalui PH-nya. Sehingga ahli dapat mempersiapkan berbagai varian kemungkinan jawaban atas pertanyaan PH. Tidak seperti kita lihat dalam persidangan, di mana sepertinya ahli tidak siap dengan kesimpulan dan sanggahan terhadap kesimpulannya. Pertanyaan kemudian muncul adalah, bagaimana mungkin seorang ahli menyimpulkan sebuah hal tapi tidak dapat menjelaskan makna sebenarnya dari kesimpulannya tersebut?

***

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah atau kata lazim diartikan sebagai 1) sudah biasa; sudah kebiasaan; 2) sudah unium (terdapat, terjadi, dilakukan, dsb). Sedangkan bila kata dasar lazim itu diberi imbuhan, awalan dan akhiran ke-an, menjadi kelaziman, berarti  kebiasaan (yg sudah umum) (2008, h. 894).

Merujuk pada pengertian itu, maka seharusnya ahli dapat menjawab pertanyaan PH atas kesimpulan bahwa perilaku Jessica “tidak lazim” itu adalah perilaku yang tidak sesuai dengan pola kebiasaan dan praktek umum yang sering terlihat di masyarakat.

Lazim dan atau tidak lazim itu tidak harus berdasarkan pada suatu parameter tertentu atau statistik hasil penelitian tertentu, sebagaimana sering dipersoalkan PH terdakwa, tapi lebih berdasarkan pada pola perilaku yang terjadi di masyarakat. Dan pola perilaku itu bersifat umum dan tidak tertulis, serta menjadi kesepakatan bersama. Sehingga ketika sebuah perilaku yang terlihat dan cenderung keluar dari pakem yang sudah berlangsung (umum), maka hal itu dikatakan sebagai perilaku yang tidak lazim. Sederhananya, menjawab pertanyaan PH terdakwa tentang parameter itu, maka lazim dan tidak lazim itu mengacu pada kebiasaan umum yang berlaku di masyarakat.

***

Persidangan berikutnya akan menghadirkan saksi yang meringankan dari pihak terdakwa. Sedang, kesempatan JPU sudah “tertutup” untuk membutkikan bahwa dugaan pelaku utama Mirna meninggal adalah atas ulah Jessica.

Terminologi atau frasa “lazim” dan “tidak lazim” mungkin tidak lagi kita dengar di ruang persidangan. Kehebohan karena perdebatan istilah itu mungkin juga mereda. Otomatis kelucuan ala saksi ahli juga lambat laun meredup.

PH harus dapat meyakinkan bahwa saksi meringankan terdakwa tidak mengulangi “kesalahan” yang sama, seperti dilakukan saksi ahli JPU. Degan begitu, Jessica boleh berbesar hati (optimis) akan dapat keluar dari lubang jarum, karena telah “ditolong” oleh “keluguan” ala saksi ahli dari JPU. Tapi, jika tidak, PH harus lebih bekerja ekstra keras untuk dapat menolong Jessica dari kemungkinan hukuman maksimal dari tuntutan jakwa atas delik pembunuhan berencana, yakni hukuman mati.

Episode berikutnya mungkin akan kita saksikan perdebatan baru antara JPU dan saksi meringan dari pihak terdakwa. Apakah dalam perdebatan nanti masih akan kita temukan kelucuan bentuk lain? Mari kita tunggu episode itu berlangsung!

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 02092016    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun