Memang hal ini tidak otomatis akan menyelesaikan persoalan. Misalnya, bila pertukaran (rolling) antarsiswa yang tidak sesuai jurusan itu tidak sebanding (tidak sama banyak). Maka konsekuensinya pasti ada kelas yang jumlah siswanya berlebih, begitu pula ada yang kurang dari kuota yang seharusnya. Belum lagi bila harus menyesuaikan pula jenis kelaminnya. Secara sepintas, terlihat sangat rumit dan merepotkan. Tapi itu sudah menjadi konsekuensi logis yang harus diterima mengingat sejak awal ada indikasi pihak sekolah sengaja mengabaikan metode atau prosedur sesuai dengan ketentuan Permendikbud 59/2013 tentang penjurusan itu.
Berikutnya adalah ketidakkonsistenan pihak madrasah dalam menerapkan ketentuan “waktu tunggu”, yakni evaluasi perkembangan belajar siswa setelah berjalan triwulan. Di mana anak yang tidak mendapat teman lain yang merasa tidak sesuai jurusannya kemudian saling bertukar kelas dan jurusan. Pada kondisi ini, pihak sekolah terkesan “membolehkan”, dengan mempersilahkan antarsiswa saling mencari dan bertukar kelas dan jurusan. Sementara di pihak lain, pihak sekolah bersikukuh tetap pada aturan “waktu tunggu”, yakni setelah triwulan berjalan dan kemudian dievaluasi perkembangan belajar siswa dan atas rekomendasi guru BK baru anak tersebut boleh dipindahkan.
Pertanyaannya adalah, mengapa antaranak bisa begitu serta merta saling bertukar kelas dan jurusan tidak harus melalui mekanisme “waktu tunggu” triwulan? Apa landasannya? Sementara hal itu tidak berlaku bila anak yang ingin berpindah kelas dan jurusan itu tidak mendapat teman pengganti tapi atas permintaan atau insiatif sendiri maupun melalui orangtua siswa? Bukankah kedua-duanya memiliki acuan yang sama ketika pembagian jurusan, yakni hasil TPA dan tes psikologi? Tidakkah disadari bahwa perlakuan yang berbeda ini menunjukkan diskriminasi atas alasan otoritas?
Masih ada hal lain yang harus pula dipahami oleh pihak sekolah (madrasah). Yakni tentang dampak psikologis yang harus diterima dan dipikul anak selama 3 (tiga) bulan pertama. Jangankan 3 (tiga) bulan pertama, ketika mengetahui jurusannya tidak sesuai dengan harapannya saja sudah mejadi sebuah pukulan, di mana mental anak sudah jatuh.
Beban mental itu akan bertambah bila ada siswa yang berasal dari sekolah yang sama, mereka sudah saling memahami dan mengetahui kemampuan masing-masing. Bahwa si A seharusnya di jurusan IPA tapi malah “nyasar” ke jurusan IPS. Bila sudah begitu pasti selanjutnya akan berpengaruh pada presasi belajar siswa (anak). Kondisi ini yang kadang luput dipertimbangkan ketika memutuskan menerapkan hanya sebagian ketentuan dari aturan dalam hal metode atau prosedur pemilihan kelompok peminatan (jurusan).
Misteri selanjutnya harus disingkap adalah isu tentang siswa yang “berhasil” ditempatkan di kelompok peminatan MIA (dulu jurusan IPA) di mana sebelumnya tidak lulus pada PPDB jalur manapun. Berdasarkan informasi dari salah seorang orangtua yang anaknya juga penempatan jurusan tidak sesuai minatnya menyebutkan bahwa anak tetangganya ketika PPDB sudah tidak lulus seleksi penerimaan, tapi kemudian malah diterima dan ditempatkan pada jurusan MIA di Madrasah unggulan itu.
Jika informasi ini benar maka patut diduga bahwa pihak Madrasah unggulan itu telah dengan sengaja melakukan penyimpangan dalam penentuan jurusan karena motif untuk mendapatkan keuntungan materi. Ada indikasi telah terjadi “permainan” karena motif keuntungan ekonomi. Boleh dikatakan sebagai sebuah skandal di tengah tuntutan transparansi dan reformasi ‘mental’ birokrasi.
Kondisi dan praktek-praktek culas yang cenderung mengabaikan “aturan main” karena motif ekonomi, seharusnya sejauh mungkin dihindari pada lembaga pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan itu berbasis agama, seperti madrasah. Jangan sampai karena pengaruh mental hazard sehingga tanpa merasa berdosa melakukan komersialisasi dengan mengabaikan ketentuan elementer dalam penentuan jurusan. Dalam jangka pendek bagi pihak madrasah bukan merupakan sebuah persoalan yang berarti. Tapi tanpa disadari sikap tersebut malah akan mengorbankan mental dan masa depan anak, akibat kesalahan dalam menerapkan aturan main.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 29 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H