Meski demikian, masih ada yang mengganjal bagi kami mengingat acuan yang digunakan ternyata tidak seutuhnya berlandaskan pada Permendikbud tersebut. Karena pihak Madrasah unggulan itu hanya menerapkan atau mengacu pada hasil Tes Potensi Akademik (TPA) dan tes psikologi anak dan mengabaikan begitu saja nilai rapor dan Ujian Nasional (UN) sebagai indikator utama. Seolah-olah nilai rapor yang diperoleh selama 3 (tiga) tahun di SMP menjadi tak berguna sama sekali (sia-sia).
Setelah pertemuan “klarifikasi” tersebut kami malah semakin bingung dan penasaran. Dari penjelasan yang diberikan madrasah, kami mendapat kesan bahwa ada metode dan atau prosedur yang digunakan tidak mengacu pada Permendikbud nomor 69/2013 tentang Kerangka Dasar Kurikulum 2013. Bahkan semakin terungkap kejanggalan-kejanggalan yang menjadi misteri dan teka-teki dalam penentuan jurusan di Madrasah unggulan itu.
Menurut Ketentuan Permendikbud Nomor 59/2013 itu, khusus pada subbagian (c) Pilihan Kelompok Peminatan dan Pilihan Matapelajaran Lintas Kelompok Peminatan, maka dalam hal pemilihan kelompok peminatan (jurusan) maka harus berdasarkan pada 1) nilai rapor SMP/MTs, 2) nilai Ujian Nasional (UN) SMP/MTs, 3) rekomendasi guru bimbingan dan konseling di SMP, 4) hasil tes penempatan ketika mendaftar di SMA, dan 5) hasil tes bakat minat oleh Psikolog.
Bila memperhatikan ketentuan tersebut maka proses penentuan pemilihan kelompok peminatan (jurusan) yang dilakukan di Madrasah unggulan itu, cenderung mengabaikan indikator utama, yakni nilai rapor, UN, dan rekomendasi guru BK, sementara lebih mengutamakan indikator pendukung, yakni Tes Potensi Akademik (TPA)dan tes psikologi. Akibatnya, banyak siswa yang ditempatkan pada jurusan yang tidak sesuai dengan peminatannya. Dengan kata lain, ada siswa yang dikorbankan hanya karena nilai TPA dan tes psikologinya rendah, sementara nilai rapor dan UN-nya sangat mendukung. Padahal TPA dan tes psikologi tidak otomatis steril dari pengaruh faktor mental anak pada saat hadir mengikuti ujian.
Seharusnya pihak madrasah menyadari bahwa hasil TPA dan tes psikologi tidak otomatis berbanding lurus dengan kemampuan akademik dan minat siswa. Misalnya, seorang anak meski nilai TPA-nya dalam bidang Matemtika baik, maka tidak otomatis mempunyai minat pada ilmu-ilmu sains dan matematika. Bisa jadi minatnya malah ke ilmu-ilmu sosial karena sesuai dengan orientasi masa depannya, menjadi diplomat misalnya.
Mestinya faktor-faktor itu yang perlu dipertimbangkan dan mendapat perhatian. Sehingga kondisi-kondisi yang tidak perlu sebagai efek dari pascapenentuan jurusan dapat diantisipasi dan diminimalisir. Malah, seakan-akan pihak madrasah bersikap arogan, dan seenaknya menetapkan standar sendiri dengan mengorbankan mental dan masa depan siswa.
Contoh kasus anak kami. Akibat penempatan jurusan yang salah sesuai dengan minat dan orientasi siswa, berikut hanya sebagian ketentuan dari aturan Permendikbud nomor 69/2013 yang diterapkan mengenai penentuan jurusan di SMA, yang hanya didasarkan pada hasil tes TPA dan tes psikologi. Kemudian dengan begitu saja mengabaikan acuan utama, yakni nilai rapor, nilai UN, dan rekomendasi guru BK, memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap mental anak kami. Anak kami merasa sangat terpukul dan sedih mendapati kenyataan jurusan yang diperoleh tidak sesuai dengan minatnya. Karena anak kami merasa nilai rapor Mapel Matemtika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), secara rata-rata 88 - 90. Sebagai sampel dapat kami serta hasil nilai rapor untuk dua mapel itu sebagai berikut.
Hal lain yang perlu pula dijelaskan adalah tentang keterlibatan orangtua siswa dalam hal penentuan jurusan sesuai peminatan. Pihak sekolah seharusnya mempunyai data base yang diperoleh melalui rekomendasi guru BK, di mana data-data tersebut dikumpulkan melalui metode wawancara atau tes inventori minat. Berdasarkan nilai rapor, nilai UN, dan tes inventori minat maka pihak sekolah dapat mengundang orangtua siswa untuk ikut serta terlibat dalam pembahasan mengenai penentuan jurusan sesuai minat anaknya.