Tahun Ajaran baru 2016/2017 sudah mulai berjalan. Pada setiap tahun ajaran baru, seperti lazimnya, maka semua sekolah, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah melaksanakan penerimaan siswa atau murid baru. Begitu pula dengan penerimaan siswa atau murid baru di semua sekolah menengah atas, baik negeri maupun swasta di Kota Makassar. Termasuk Madrasah Aliyah di bawah naungan Kementerian Agama.
Pada tahun ini, anak sulung kami melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah atas. Anak kami berasal dari sekolah SMP berbasis agama (nyantri di pondok pesantren), sehingga supaya sejalan, maka anak kami lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah atas yang berbasis agama. Oleh Karena itu anak kami lebih memilih melanjutkan pendidikan di salah satu Madrasah Aliyah Negeri unggulan di Kota Makassar. Selanjutnya disebut Madrasah unggulan.
Untuk dapat terdaftar sebagai salah satu siswa atau murid baru di Madrasah unggulan itu, maka anak kami harus mengikuti tahapan-tahapan proses penerimaan siswa baru. Seperti sekolah unggulan lainnya, Madrasah unggulan yang anak kami mendaftar, juga menerapkan sistem penerimaan siswa baru secara online melalui komputer. Sistem ini disebut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online.
Ada beberapa jalur penerimaan siswa baru menurut sistem PPDB online. Salah satu jalur penerimaan melalui PPDB online tersebut adalah jalur reguler. Jalur reguler ini merupakan salah satu metode menyeleksi siswa baru dengan mengacu pada nilai ujian nasional (UN).
Singkat cerita, anak kami dinyatakan diterima sebagai salah satu siswa baru di Madrasah unggulan itu melalui sistem PPDB online jalur reguler. Berdasarkan hasil seleksi pada jalur reguler tersebut anak kami lulus dengan urutan 13.
Sampai di sini semua berjalan normal dan lancar. Setelah mengetahui hasil seleksi PPDB, maka anak kami pun melakukan pendaftaran ulang dan mengikuti tahapan selanjutnya, seperti Masa Orientasi Siswa (MOS), dan bersiap mengikuti proses pembelajaran. Misteri itu baru muncul, satu pekan setelah hari pertama masuk sekolah. Tepatnya, setelah penempatan kelompok peminatan (jurusan).
Bukan saja anak kami yang kaget dan penasaran atas kenyataan bahwa ia ditempatkan di jurusan yang bukan sesuai dengan minatnya. Kami, sebagai orangtuanya juga merasa sangat kaget dan tidak percaya. Padahal sebelumnya pihak madrasah telah membagikan formulir pengisian biodata, di mana di dalamnya mencakup antara lain identitas siswa, nilai UN, dan pilihan minat anak, serta harapan orangtua.
Sayangnya instrumen formulir biodata yang dibagikan untuk mendeteksi minat anak diabaikan begitu saja. Kondisi tersebut membuat kami sebagai orangtua calon siswa merasa perlu mengklarifikasi ke pihak sekolah (madrasah). Mengapa terjadi “penyimpangan” seperti itu? Mungkinkah ada misteri dalam penentuan jurusan di madrasah itu?
Maka pada hari Senin (25/7/16) kami mendatangi pihak Madrasah unggulan itu untuk mendapatkan konfirmasi dan penjelasan sehubungan dengan penentuan dan penempatan jurusan siswa baru. Ketika sampai di Madrasah unggulan itu sudah ada beberapa orangtua lainnya yang juga hadir dengan tujuan yang sama. Ingin mendapatkan penjelasan rasional, mengapa anaknya ditempatkan pada jurusan yang tidak sesuai dengan pilihan minatnya?
Kami pun berinisiatif menemui penanggung jawab madrasah untuk mempertanyakan prosedur dan metode yang digunakan dalam menentukan peminatan jurusan. Pertama kami temui adalah Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) bidang Kurikulum kemudian sehari berikutnya kami temui Kepala Sekolah (Kepsek). Karena merekalah yang bertanggung jawab dalam hal pembagian jurusan sesuai dengan tugas fungsi Wakasek bidang Kuriukulum dan Kepsek sebagai pimpinan madrasah.
Kesan pertama yang kami peroleh ketika mendapat penjelasan dari pihak Madrasah unggulan (Wakasek dan Kepsek) itu adalah sikap resisten. Pihak Madrasah unggulan itu beralasan bahwa penempatan jurusan itu sudah sesuai ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Pemrendikbud) nomor 59/2013 tentang Kerangka Dasar Kurikulum 2013, yang di dalamnya juga mengatur tentang pemilihan kelompok peminatan (jurusan).
Meski demikian, masih ada yang mengganjal bagi kami mengingat acuan yang digunakan ternyata tidak seutuhnya berlandaskan pada Permendikbud tersebut. Karena pihak Madrasah unggulan itu hanya menerapkan atau mengacu pada hasil Tes Potensi Akademik (TPA) dan tes psikologi anak dan mengabaikan begitu saja nilai rapor dan Ujian Nasional (UN) sebagai indikator utama. Seolah-olah nilai rapor yang diperoleh selama 3 (tiga) tahun di SMP menjadi tak berguna sama sekali (sia-sia).
Setelah pertemuan “klarifikasi” tersebut kami malah semakin bingung dan penasaran. Dari penjelasan yang diberikan madrasah, kami mendapat kesan bahwa ada metode dan atau prosedur yang digunakan tidak mengacu pada Permendikbud nomor 69/2013 tentang Kerangka Dasar Kurikulum 2013. Bahkan semakin terungkap kejanggalan-kejanggalan yang menjadi misteri dan teka-teki dalam penentuan jurusan di Madrasah unggulan itu.
Menurut Ketentuan Permendikbud Nomor 59/2013 itu, khusus pada subbagian (c) Pilihan Kelompok Peminatan dan Pilihan Matapelajaran Lintas Kelompok Peminatan, maka dalam hal pemilihan kelompok peminatan (jurusan) maka harus berdasarkan pada 1) nilai rapor SMP/MTs, 2) nilai Ujian Nasional (UN) SMP/MTs, 3) rekomendasi guru bimbingan dan konseling di SMP, 4) hasil tes penempatan ketika mendaftar di SMA, dan 5) hasil tes bakat minat oleh Psikolog.
Bila memperhatikan ketentuan tersebut maka proses penentuan pemilihan kelompok peminatan (jurusan) yang dilakukan di Madrasah unggulan itu, cenderung mengabaikan indikator utama, yakni nilai rapor, UN, dan rekomendasi guru BK, sementara lebih mengutamakan indikator pendukung, yakni Tes Potensi Akademik (TPA)dan tes psikologi. Akibatnya, banyak siswa yang ditempatkan pada jurusan yang tidak sesuai dengan peminatannya. Dengan kata lain, ada siswa yang dikorbankan hanya karena nilai TPA dan tes psikologinya rendah, sementara nilai rapor dan UN-nya sangat mendukung. Padahal TPA dan tes psikologi tidak otomatis steril dari pengaruh faktor mental anak pada saat hadir mengikuti ujian.
Seharusnya pihak madrasah menyadari bahwa hasil TPA dan tes psikologi tidak otomatis berbanding lurus dengan kemampuan akademik dan minat siswa. Misalnya, seorang anak meski nilai TPA-nya dalam bidang Matemtika baik, maka tidak otomatis mempunyai minat pada ilmu-ilmu sains dan matematika. Bisa jadi minatnya malah ke ilmu-ilmu sosial karena sesuai dengan orientasi masa depannya, menjadi diplomat misalnya.
Mestinya faktor-faktor itu yang perlu dipertimbangkan dan mendapat perhatian. Sehingga kondisi-kondisi yang tidak perlu sebagai efek dari pascapenentuan jurusan dapat diantisipasi dan diminimalisir. Malah, seakan-akan pihak madrasah bersikap arogan, dan seenaknya menetapkan standar sendiri dengan mengorbankan mental dan masa depan siswa.
Contoh kasus anak kami. Akibat penempatan jurusan yang salah sesuai dengan minat dan orientasi siswa, berikut hanya sebagian ketentuan dari aturan Permendikbud nomor 69/2013 yang diterapkan mengenai penentuan jurusan di SMA, yang hanya didasarkan pada hasil tes TPA dan tes psikologi. Kemudian dengan begitu saja mengabaikan acuan utama, yakni nilai rapor, nilai UN, dan rekomendasi guru BK, memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap mental anak kami. Anak kami merasa sangat terpukul dan sedih mendapati kenyataan jurusan yang diperoleh tidak sesuai dengan minatnya. Karena anak kami merasa nilai rapor Mapel Matemtika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), secara rata-rata 88 - 90. Sebagai sampel dapat kami serta hasil nilai rapor untuk dua mapel itu sebagai berikut.
Hal lain yang perlu pula dijelaskan adalah tentang keterlibatan orangtua siswa dalam hal penentuan jurusan sesuai peminatan. Pihak sekolah seharusnya mempunyai data base yang diperoleh melalui rekomendasi guru BK, di mana data-data tersebut dikumpulkan melalui metode wawancara atau tes inventori minat. Berdasarkan nilai rapor, nilai UN, dan tes inventori minat maka pihak sekolah dapat mengundang orangtua siswa untuk ikut serta terlibat dalam pembahasan mengenai penentuan jurusan sesuai minat anaknya.
Salah satu manfaat dari wawancara inventori ini adalah untuk mengetahui bakat dan minat individu. Inventori minat dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa pada setiap individu ada perbedaan dalam minat baik secara umum maupun minat pekerjaan tertentu. Karena itu inventori minat dirancang untuk menilai minat-minat pribadi dan mengaitkan minat-minat tersebut dengan wilayah kerja yang lain (lihat sumber terkait). Tes inventori sangat berguna untuk mengetahui karakteristik kepribadian seperti minat, penyesuaian diri, motivasi, dan prasangka (lihat sumber terkait).
Di sinilah peran guru BK dibutuhkan. Bukan malah hanya mengandalkan hasil TPA dan tes psikologi kemudian dengan begitu saja dan sangat arogan mengabaikan nilai rapor dan nilai UN. Tanpa disadari respon Wakasek bidang Kurikulum, Kepsek, dan juga guru BK ketika disampaikan pandangan seperti ini malah bersikap resisten dan menyalahkan balik orangtua siswa, menjadi sebuah pertanyaan. Ada apa di balik semua ini? Sehingga terkesan seorang guru BK hanya menjalankan instruksi atasan tanpa memberikan pertimbangan rasional sesuai dengan latar belakang keilmuannya.
Bahwa pihak sekolah dapat saja berdalih tentang “kemurnian” nilai UN, karena beberapa alasan, misal kebocoran soal, mental siswa, dan atau siswa lagi beruntung, dlsb. Tapi, semestinya “keraguan” yang sama juga harus digunakan pula dalam membaca atau menilai hasil TPA dan tes psikologi. Itu berarti, baik nilai UN maupun TPA dan tes psikologi mempunyai peluang yang sama, untuk “diragukan”, karena sifatnya gambling. Sama-sama bergantung pada mental subyek (siswa) yang mengikuti ujian pada saat itu. Tapi keraguan itu dapat ditepis bila pihak sekolah sedikit bekerja keras (padahal itu kewajiban) untuk membandingkan dengan nilai rapor. Kami juga telah melakukan cross check kepada guru BK pada beberapa (5 – 6) SMA Negeri di Kota Makassar.
Dari semua guru BK yang kami hubungi untuk mengkros cek dan konfirmasi, hampir semuanya menyatakan bahwa dalam hal penentuan jurusan di SMA/MA/SMK harus mengacu pada acuan utama, yakni nilai rapor SMP/MTs, nilai UN, dan rekomendasi guru BK. Bila ketiga-tiganya sudah ada dan telah memenuhi, maka pihak sekolah sudah dapat menentukan jurusan sesuai minat anak, tanpa perlu melakukan TPA dan tes psikologi. Karena hasil rapor dan UN merupakan rekaman prestasi anak selama 3 (tiga) tahun di SMP/MTs, yang dapat menjadi gambaran kecenderungan minat anak. Artinya, hasil TPA dan tes psikologi hanya sebagai data pendukung, bukan merupakan alat ukur utama untuk menentukan penempatan jurusan sesuai minat anak.
Begitu pula dengan alasan akan sangat merepotkan bila harus pula mengacu pada nilai rapor anak. Alasan ini sangat lemah, hanya demi kepraktisan harus mengabaikan ketentuan Permen, sehingga berakibat pada kesalahan dalam penempatan jurusan anak. Akibat lanjutnya adalah siswa yang menjadi korban dari salah jurusan yang tidak sesuai dengan minatnya, sebagaimana indikator nilai rapor dan UN. Secara tidak langsung pihak sekolah dengan sengaja mendzalimi anak (siswa), mengorban mental dan masa depan anak.
Pihak Madrasah unggulan itu berargumen bahwa telah 3 (tiga) tahun menerapkan metode pemilihan jurusan berdasarkan hasil TPA dan tes psikologi, sejauh ini aman-aman saja, dan tidak menimbulkan “protes” dari orangtua siswa maupun siswa. Meski demikian, hal itu tidaklah cukup kuat untuk menjadi alasan, bila pada tahun ini, dengan metode yang sama kemudian mendapat protes dari orangtua siswa.
Mengapa demikian? Karena boleh jadi pada dua (2) tahun sebelumnya, orangtua siswa tidak menyadari bahwa metode pemilihan kelompok peminatan (jurusan) yang diterapkan di Madrasah unggulan itu, tidak seluruhnya mengacu pada Permendikbud nomor 59/2013, sebagaimana kami sebutkan di atas. Belum lagi, bila harus merujuk pada lembaga yang melaksanakan tes psikologi, apakah memiliki sertifikasi untuk melakukan tes, dan atau diakui kredibilitasnya.
Selanjutnya, pihak Madrasah unggulan itu juga berargumen bahwa bahwa siswa masih mungkin berpindah jurusan setelah belajar selama satu semester (6 bulan) atau triwulan (3 bulan). Ketentuan ini dapat diterapkan bila semua prosedur dan langkah-langkah sebagaimana digariskan oleh Permendikbud nomor 59/2013 itu dilaksanakan. Akan menjadi sebuah problem bila penerapan ketentuan dalam Permendikbud 59/2013 tidak seutuhnya dilaksanakan. Hanya sebagiannya saja yang dilaksanakan, itu pun hanya mengambil dan mengutamakan ketentuan yang sifatnya pendukung dan dianggap mudah. Ini menunjukkan bahwa pihak Madrasah unggulan itu tidak ingin direpotkan dan hanya mau mencari jalan pintas.
Karena itu mesti logikanya di balik, jika dapat dicegah dari awal semester atau awal triwulan, mengapa harus menunggu satu semester atau triwulan? Apalagi “waktu tunggu” anak itu, bukan karena kesalahannya, tapi akibat kesalahan menerapkan metode dan atau prosedur yang cenderung dipaksakan.
Alasan lain mengapa pihak Madrasah unggulan itu enggan menganulir kebijakan tentang pemilihan kelompok peminatan (jurusan), karena hal itu akan mengubah hampir seluruh komposisi kelas dan jurusan. Akibat lanjutnya adalah pasti akan pula berpengaruh terhadap perubahan absensi kelas. Selanjutnya yang paling krusial adalah bahwa pembatalan itu akan menyebabkan proses belajar mengajar menjadi terganggu (terhambat).
Meski demikian, kondisi itu dapat diakali dengan hanya melakukan perombakan terbatas. Maksudnya, hanya anak-anak yang merasa pemilihan kelompok peminatan (jurusan) tidak sesuai saja yang dipindah atau bertukaran. Toh, tidak semua anak yang merasa jurusannya tidak sesuai minatnya bermohon pindah.
Memang hal ini tidak otomatis akan menyelesaikan persoalan. Misalnya, bila pertukaran (rolling) antarsiswa yang tidak sesuai jurusan itu tidak sebanding (tidak sama banyak). Maka konsekuensinya pasti ada kelas yang jumlah siswanya berlebih, begitu pula ada yang kurang dari kuota yang seharusnya. Belum lagi bila harus menyesuaikan pula jenis kelaminnya. Secara sepintas, terlihat sangat rumit dan merepotkan. Tapi itu sudah menjadi konsekuensi logis yang harus diterima mengingat sejak awal ada indikasi pihak sekolah sengaja mengabaikan metode atau prosedur sesuai dengan ketentuan Permendikbud 59/2013 tentang penjurusan itu.
Berikutnya adalah ketidakkonsistenan pihak madrasah dalam menerapkan ketentuan “waktu tunggu”, yakni evaluasi perkembangan belajar siswa setelah berjalan triwulan. Di mana anak yang tidak mendapat teman lain yang merasa tidak sesuai jurusannya kemudian saling bertukar kelas dan jurusan. Pada kondisi ini, pihak sekolah terkesan “membolehkan”, dengan mempersilahkan antarsiswa saling mencari dan bertukar kelas dan jurusan. Sementara di pihak lain, pihak sekolah bersikukuh tetap pada aturan “waktu tunggu”, yakni setelah triwulan berjalan dan kemudian dievaluasi perkembangan belajar siswa dan atas rekomendasi guru BK baru anak tersebut boleh dipindahkan.
Pertanyaannya adalah, mengapa antaranak bisa begitu serta merta saling bertukar kelas dan jurusan tidak harus melalui mekanisme “waktu tunggu” triwulan? Apa landasannya? Sementara hal itu tidak berlaku bila anak yang ingin berpindah kelas dan jurusan itu tidak mendapat teman pengganti tapi atas permintaan atau insiatif sendiri maupun melalui orangtua siswa? Bukankah kedua-duanya memiliki acuan yang sama ketika pembagian jurusan, yakni hasil TPA dan tes psikologi? Tidakkah disadari bahwa perlakuan yang berbeda ini menunjukkan diskriminasi atas alasan otoritas?
Masih ada hal lain yang harus pula dipahami oleh pihak sekolah (madrasah). Yakni tentang dampak psikologis yang harus diterima dan dipikul anak selama 3 (tiga) bulan pertama. Jangankan 3 (tiga) bulan pertama, ketika mengetahui jurusannya tidak sesuai dengan harapannya saja sudah mejadi sebuah pukulan, di mana mental anak sudah jatuh.
Beban mental itu akan bertambah bila ada siswa yang berasal dari sekolah yang sama, mereka sudah saling memahami dan mengetahui kemampuan masing-masing. Bahwa si A seharusnya di jurusan IPA tapi malah “nyasar” ke jurusan IPS. Bila sudah begitu pasti selanjutnya akan berpengaruh pada presasi belajar siswa (anak). Kondisi ini yang kadang luput dipertimbangkan ketika memutuskan menerapkan hanya sebagian ketentuan dari aturan dalam hal metode atau prosedur pemilihan kelompok peminatan (jurusan).
Misteri selanjutnya harus disingkap adalah isu tentang siswa yang “berhasil” ditempatkan di kelompok peminatan MIA (dulu jurusan IPA) di mana sebelumnya tidak lulus pada PPDB jalur manapun. Berdasarkan informasi dari salah seorang orangtua yang anaknya juga penempatan jurusan tidak sesuai minatnya menyebutkan bahwa anak tetangganya ketika PPDB sudah tidak lulus seleksi penerimaan, tapi kemudian malah diterima dan ditempatkan pada jurusan MIA di Madrasah unggulan itu.
Jika informasi ini benar maka patut diduga bahwa pihak Madrasah unggulan itu telah dengan sengaja melakukan penyimpangan dalam penentuan jurusan karena motif untuk mendapatkan keuntungan materi. Ada indikasi telah terjadi “permainan” karena motif keuntungan ekonomi. Boleh dikatakan sebagai sebuah skandal di tengah tuntutan transparansi dan reformasi ‘mental’ birokrasi.
Kondisi dan praktek-praktek culas yang cenderung mengabaikan “aturan main” karena motif ekonomi, seharusnya sejauh mungkin dihindari pada lembaga pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan itu berbasis agama, seperti madrasah. Jangan sampai karena pengaruh mental hazard sehingga tanpa merasa berdosa melakukan komersialisasi dengan mengabaikan ketentuan elementer dalam penentuan jurusan. Dalam jangka pendek bagi pihak madrasah bukan merupakan sebuah persoalan yang berarti. Tapi tanpa disadari sikap tersebut malah akan mengorbankan mental dan masa depan anak, akibat kesalahan dalam menerapkan aturan main.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 29 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H