Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kudeta Militer Turki, Sebuah Sandiwara?

18 Juli 2016   10:45 Diperbarui: 18 Juli 2016   11:11 3195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://i1.wp.com/www.salafynews.com/wp-content/uploads/2016/07/Kudeta-Militer-Turki.jpg?w=620&ssl=1

Oleh : eN-Te

Jumat malam (15/7/2016) berbagai saluran media televisi Indonesia memberitakan tentang kudeta militer terhadap pemerintahan yang sah di Turki. Kudeta militer itu dilakukan dan digerakkan oleh faksi militer yang memberontak terhadap pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Diberitakan bahwa sejak Jumat sore (sekitar pukul 15.30) waktu Turki, terjadi pergerakan kendaraan dan pasukan militer menuju ibukota Turki, Ankara. Pergerakan kendaraan dan pasukan militer itu disinyalir sebagai upaya pengambilalihan kekuasaan secara inskonstitusional (kudeta) oleh faksi militer pemberontak terhadap pemerintahan Erdogan.

Namun upaya kudeta yang dilancarkan faksi militer pemberontak tidak berlangsung lama dan berjalan sesuai dengan rencana. Tidak lama setelah mengetahui adanya pergerakan kendaraan dan pasukan militer yang tidak sesuai dengan prosedur tetap (protap),  sehingga mencurigakan, maka Pemerintahan Erdogan dengan segera melakukan upaya untuk menyelamatkan pemerintahannya.

Adalah Perdana Menteri (PM) Turki, Turki Binali Yildirim, dengan sigap mendatangi stasiun televisi dan mengumumkan gelagat tidak beres dari beberapa faksi militer pemberontak tersebut. PM Yildirim memgumumkan kepada khalayak bahwa telah terjadi upaya-upaya inkonstitusional untuk megambil alih kekuasaan yang sah (kudeta).

Selang 30 menit setelah pengumuman PM. Yildirim terhadap kondisi politik Turki saat itu, Angkatan Bersenjata Turki kemudian merilis sebuah pernyataan bahwa mereka tekah berhasil menguasai (mengambil alih) pemerintahan. Pernyataan itu menyebutkan bahwa upaya yang dilakukan militer mengambil alih pemerintahan adalah dalam rangka untuk melindungi demokrasi Turki. Dalam pandangan faksi militer yang melakukan kudeta ini, pengambilalihan kekuasaan yang sah ini, karena menurut mereka razim Erdogan telah melakukan penyimpangan terhadap tatanan konstitusional, hak asasi manusia, dan kebebasan (sumber).

Tapi klaim sepihak oleh faksi militer yang telah “berhasil” mengambil alih pemerintahan, hanya berlangsung dalam sekejap. Karena beberapa jam setelah itu, pemerintahan Erdogan dapat mengendalikan situasi dan mengamankan rezimnya.

Ketika terjadi upaya kudeta oleh faksi militer pemberontak, Erdogan sedang tidak berada di Ankara. Pada saat itu, Erdogan sedang menikmati liburan yang jauh dai pusat pemerintahan Turki, Ankara.

Setelah mendapat informasi dan laporan tentang upaya kudeta yang sedang terjadi, Erdogan pun memutuskan untuk segera melakukan sesuatu untuk mengamankan situasi dan menyelamatkan pemerintahannya. Maka dalam situasi sosial politik yang sangat genting yang mengancam rezimnya, maka Erdogan mengambil tindakan politik dengan segera.

Tindakan politik yang rasional untuk mengatasi sitausi sosial politik yang tidak menentu saat itu, adalah memperkuat barisan pemerintahan. Dengan demikian, Erdogan merasa perlu untuk memperkuat pengumuman yang telah disampaikan oleh PM. Yildirim.  Presiden Erdogan pun melalui skype dengan segera tampil memberikan “sugesti” supaya rakyat Turki percaya dan bergerak turun ke jalan untuk memberikan perlawanan terhadap upaya kudeta itu. Tindakan Presiden Erdogan menyikapi situasi dan kekacauan itu ternyata efektif.

Rakyat Turki yang masih mencintai demokrasi dan menentang setiap gerakan politik yang inkonstitusional pun dengan serta merta turun ke jalan. Dibantu oleh rakyatnya yang masih mencintai demokrasi, dalam waktu tidak lebih dari 24 jam, pemerintahan Erdogan dapat mengendalikan situasi sosial politik Turki. Upaya kudeta yang dilancarkan oleh sebagian militer Turki yang merupakan faksi pemberontak, dengan segera dapat digagalkan. Maka rezim Erdogan pun dapat “terselamatkan”.

Meski pemerintah dan rakyat Turki dapat menggagalkan upaya kudeta oleh faksi militer pemberontak, hal itu tidak serta merta menghilangkan keraguan dari beberapa pihak. Menurut mereka bahwa keberhasilan rezim Erdogan bersama rakyatnya menggagalkan upaya kudeta itu tidak lebih dari sebuah “sandiwara politik”. Dengan kata lain, kudeta yang dilakukan oleh beberapa militer pemberontak tersebut adalah sebuah permainan politik yang sudah disetting sebelumnya oleh Pemerintah Turki sendiri. Bahwa kudeta milter yang berlangsung di Turki itu adalah palsu.

Keraguan terhadap drama kudeta militer yang terjadi di Turki itu bukan tanpa alasan. Hal itu dapat dibaca dari proses upaya kudeta itu sendiri. Di mana upaya kudeta itu hanya melibatkan sebagian kecil faksi militer yang tidak loyal terhadap pemerintahan yang sah (Presiden Erdogan), Dari segi waktu terlihat sangat jelas, bahwa rezim Erdogan sangat sigap dengan kondisi yang terjadi. Pemerintah sangat responsif dan dalam waktu yang relatif sangat singkat dapat menggagalkan upaya kudeta itu. Tanda-tanda tersebut seperti mengindikasikan sebuah hal, sehingga memunculkan pertanyaan, apakah drama kudeta militer di Turki itu murni?

Ada beberapa kejanggalan menurut kacamata sebagian pihak sehingga meraguikan kemurnian drama kudeta yang terjadi di Turki itu. Apakah faksi militer yang melakukan upaya kudeta itu benar-benar ingin mengambil kekuasaan? Mengingat dari proses kudeta yang terjadi terungkap jelas ada kejanggalan-kejanggalan.

Sebuah kudeta militer biasanya sebelum masuk ke tahap aksi, sudah melalui perencanaan yang matang dan melibatkan hampir semua kelompok militer pada semua angkatan. Meski kelompok militer itu merupakan faksi yang tidak setuju dan tidak loyal terhadap pemerintahan yang sah. Tapi yang terjadi di Turki ternyata, dalam drama upaya kudeta gagal itu hanya melibatkan sangat sedikit militer faksi pemberontak dari seluruh kesatuan di tubuh militer Turki.

Menurut beberapa media bahwa upaya kudeta gagal di Turki disebabkan paling kurang tiga hal.

Pertama, berkaitan dengan kesalahan strategi oleh faksi militer pemberontak dalam menentukan basis kekuatan yang harus dilumpuhkan. Pada kudeta yang terjadi, pihak militer pemberontak lebih memilih pusat pemerintah dan televisi sebagai prioritas utama yang harus dilumpuhkan, bukan pada kekuatan Presiden Erdogan yang sedang “menikmati” liburan.

Prioritas dan target yang salah pilih ini menimbulkan kecurigaan. Jangan-jangan upaya kudeta itu tidak direncanakan secara serius dan matang, tapi hanya sekedarnya dengan tujuan untuk menciptakan “kegemparan”. Dengan begitu, situasi politik dengan segera dapat dikendalikan dan pada saat yang bersamaan dukungan politik pun mengalir deras. Respon pemerintah yang sangat cepat dengan segera tampil mengumumkan dan mengajak warga turun ke jalan untuk menyelematkan demokrasi (via saluran televisi) memberikan gambaran bahwa dugaan “settingan” itu benar ada.  Bahwa upaya kudeta oleh militer pemberontak itu sebenarnya bertujuan untuk mengembalikan pamor dan citra rezim Erdogan.

Seperti diketahui bahwa dalam beberapa waktu terakhir, pamor dan citra rezim Erdogan mendapat “penilaian” negatif dari rakyatnya. Nilai negatif Erdogan menyangkut beberapa hal, antara lain kasus korupsi, penerapan demokrasi, kebebasan pers dan berpendapat, dan lain-lain. Hal ini sejalan dengan pendapat pengamat militer, Prof. Salim Said, yang menyatakan bahwa rakyat Turki yang turun ke jalan menentang kudeta bukan karena mendukung Erdogan, tapi karena rakyat Turki tidak ingin kehidupannya kembali dibayang-bayangi kekuasaan militer. Mereka ingin mendukung kebebasan mereka sendiri dan mendukung supremasi sipil (sumber).  

Kedua, kudeta gagal karena berkaitan dengan kelalaian pihak militer pemberontak dalam membaca situasi politik yang ada. Dengan kata lain, mengabaikan fakta politik saat itu.

Bahwa drama kudeta Turki berlangsung ketika Erdogan tidak sedang berada di pusat pemerintahan dan kekuasaan, yakni ibukota negeri Turki, Ankara, dan Istambul. Tapi, satu fakta yang dilupakan oleh faksi militer pemberontak adalah bahwa meski jauh dari pusat pemerintahan dan kekuasaan, Erdogan masih dapat memainkan trik untuk mengendalikan kekuasaannya. Sekali saja Erdogan bergerak, semua elemen kekuatan sosial politik di Turki, baik militer yang masih loyal dan sipil, masih dapat digalang. Dan ini terbukti, dengan hanya “himbauan” melalui skype rakyat Turki berbondong-bondng turun ke jalan menggagalkan drama kudeta itu. Namun harus pula segera ditambahkan bahwa motif rakyat turun membantu pemerintah menggagalkan upaya kudeta lebih karena mengamankan kepentingan politik dan demokrasi jangka panjang, seperti dikatakan Prof. Salim.

Ketiga, kegagalan kudeta karena faksi militer terlalu mengandalkan kekuatan udara dan mengabaikan dua kekuatan lain. Memang kuatan udara militer Turki merupakan kekuatan terbesar kedua di kelompok negara-negara yang tergabung dalam NATO. Mereka tidak memasukkan kekuatan sipil yang dominan berada dalam kota yang akan memberikan reaksi menolak. Ditambah lagi kekuatan pendukung rezim Erdogan, baik berasal dari militer loyal maupun sebagian kelompok masyarakat sipil. Pengabaian fakta ini memberikan pukulan sangat telak kepada para barisan faksi militer pemberontak.

Tadi malam (Ahad, 17/7/2016), TV One melakukan wawancara terhadap seorang wartawan Turki, Selim Caglayan, sekaitan dengan kudeta itu. Melihat proses penggagalan terhadap drama kudeta yang dilakukan oleh faksi militer pemberontak di Turki yang begitu cepat, maka ia mencurigai bahwa apa yang sedabng terjadi di Turki itu merupakan kudeta palsu.

Selim merujuk pada beberapa point, salah satunya berdasarkan indikasi pemilihan waktu melakukan kudeta. Bagi Selim, pemilihan waktu untuk melakukan kudeta pada sore hari itu mencurigakan. Padahal menurut Selim, bahwa pada umumnya, kudeta itu berlangsung pada menjelang shubuh (dinihari). Jadi, wajar bila kudeta yang berlangsung di Turki kemarin sangat cepat “ditumpas”, karena waktu sore hari itu masyarakat masih dalam kondisi sangat “standby” menerima dan mendapat informasi. Bila informasi yang diterima itu berpontensi mengancam kebebasan demokrasi dan hak-hak sipil mereka, maka dengan otomatis masyarakat akan bergerak untuk menentang setiap upaya inskonstitusional. Sampai di sini dapat dilihat “pertemuan” antara Prof. Salim dan sang wartawan Turki, Selim ini. Jadi, bukan masalah nama yang hampir mirip sehingga mereka berdua bersetuju pendapat (hehehe).

Point berikutnya menurut Selim bahwa kudeta Turki itu palsu, karena dengan begitu mudah politisi Turki, dalam hal ini PM. Yildirim tampil di televisi mengumumkan situasi darurat. Jika di atas ada yang menyebutkan bahwa kudeta gagal ala Turki itu terjadi karena kesalahan menentukan strategi lebih memilih pusat kekuasaan dan televisi. Maka “kemudahan” mengakses saluran televisi untuk memaklumatkan kabar kudeta oleh PM. Yildirim mewakili pemerintah, ketika televisi sudah “dilucuti” oleh faksi militer pemberintah, buat Selim itu sesuatu yang harus dipertanyakan.

Point lainnya dalam kacata mata Selim yang membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa kudeta Turki itu palsu adalah keterlibatan kelompok militernya. Bahwa yang terjadi dan terlibat dalam kudeta militer itu hanya sebagian kecil faksi militer, yang diidentifikasi sebagai penentang Erdogan. Bagi Selim, sebuah kudeta militer, lazimnya didukung hampir semua faksi militer, tidak hanya sekelompok kecil saja.

Wajar saja kudeta militer di Turki yang kemarin berlangsung itu sangat cepat digagalkan. Minimnya dukungan dari militer dan kekuatan bersenjata Turki sebagai salah satu indikator kegagalan kudeta itu. Malah terkesan mayoritas kekuatan bersenjata Turki masih di bawah kendali rezim Erdogan. Sehingga Erdogan, dari tempat wisatanya, hanya dengan melalui skype begitu mudah “memobilisasi” militer loyal dan masyarakat sipil untuk turun menggagalkan upaya kudeta itu.

Rupanya rezim Erdogan mendapat keuntungan dari situasi sosial politik yang terjadi kemarin di negaranya. Kudeta yang gagal telah dengan sendirinya meningkatkan popularitas dan citra rezim Erdogan. Setidak-tidaknya pendapat itu diamini oleh seorang pengamat politik muda Ahmad Zainul Muttaqin. Menurut Muttaqin, bahwa “kudeta kemarin hanyalah “false flag” dari rezimnya, setidaknya itu sudah berhasil karena sejak kejadian kemarin popularitas Erdogan melonjak, permainan “playing victim” yang dilakukannya sukses mendatangkan simpati padanya, simpati dari negara-negara luar berdatangan” (sumber).

Cuma patut disayangkan bila hanya ingin mengembalikan popularitas dan citra rezim semata, seorang Erdogan tega “mengorbankan” rakyatnya yang tak berdosa meregang nyawa. Seperti dilaporkan bahwa akibat kudeta itu telah menewaskan 161 orang tewas, 1.440 orang terluka, dan 2.893 yang terlibat kudeta ditangkap dan ditahan. Lima jenderal dan 27 kolonel diberhentikan, serta puluhan sampai ratusan hakim ditangkap dan ditahan (dari berbagai sumber).

Bahwa politik itu “kotor” adalah sebuah aksioma umum yang dipahami hampir semua orang. Tapi itu bukan pembenar untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, apalagi mengorbankan nyawa rakyat sendiri. Kejadian “kudeta palsu” di Turki tidak boleh menjadi contoh untuk rezim-rezim lainnya yang masih mengedepankan naluri dan menghormati kemanusiaan. Termasuk pula pembelajaran bagi rezim bangsa ini, Indonesia. “Sandiwara” apa pun yang ditunjukkan untuk mengamankan posisi politik dan mempertahankan kekuasaan, harus tetap menempatkan sisi kemanusiaan sebagai prioritas utama dalam membangun sebuah peradaban.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 18 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun