Tadi malam (Ahad, 17/7/2016), TV One melakukan wawancara terhadap seorang wartawan Turki, Selim Caglayan, sekaitan dengan kudeta itu. Melihat proses penggagalan terhadap drama kudeta yang dilakukan oleh faksi militer pemberontak di Turki yang begitu cepat, maka ia mencurigai bahwa apa yang sedabng terjadi di Turki itu merupakan kudeta palsu.
Selim merujuk pada beberapa point, salah satunya berdasarkan indikasi pemilihan waktu melakukan kudeta. Bagi Selim, pemilihan waktu untuk melakukan kudeta pada sore hari itu mencurigakan. Padahal menurut Selim, bahwa pada umumnya, kudeta itu berlangsung pada menjelang shubuh (dinihari). Jadi, wajar bila kudeta yang berlangsung di Turki kemarin sangat cepat “ditumpas”, karena waktu sore hari itu masyarakat masih dalam kondisi sangat “standby” menerima dan mendapat informasi. Bila informasi yang diterima itu berpontensi mengancam kebebasan demokrasi dan hak-hak sipil mereka, maka dengan otomatis masyarakat akan bergerak untuk menentang setiap upaya inskonstitusional. Sampai di sini dapat dilihat “pertemuan” antara Prof. Salim dan sang wartawan Turki, Selim ini. Jadi, bukan masalah nama yang hampir mirip sehingga mereka berdua bersetuju pendapat (hehehe).
Point berikutnya menurut Selim bahwa kudeta Turki itu palsu, karena dengan begitu mudah politisi Turki, dalam hal ini PM. Yildirim tampil di televisi mengumumkan situasi darurat. Jika di atas ada yang menyebutkan bahwa kudeta gagal ala Turki itu terjadi karena kesalahan menentukan strategi lebih memilih pusat kekuasaan dan televisi. Maka “kemudahan” mengakses saluran televisi untuk memaklumatkan kabar kudeta oleh PM. Yildirim mewakili pemerintah, ketika televisi sudah “dilucuti” oleh faksi militer pemberintah, buat Selim itu sesuatu yang harus dipertanyakan.
Point lainnya dalam kacata mata Selim yang membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa kudeta Turki itu palsu adalah keterlibatan kelompok militernya. Bahwa yang terjadi dan terlibat dalam kudeta militer itu hanya sebagian kecil faksi militer, yang diidentifikasi sebagai penentang Erdogan. Bagi Selim, sebuah kudeta militer, lazimnya didukung hampir semua faksi militer, tidak hanya sekelompok kecil saja.
Wajar saja kudeta militer di Turki yang kemarin berlangsung itu sangat cepat digagalkan. Minimnya dukungan dari militer dan kekuatan bersenjata Turki sebagai salah satu indikator kegagalan kudeta itu. Malah terkesan mayoritas kekuatan bersenjata Turki masih di bawah kendali rezim Erdogan. Sehingga Erdogan, dari tempat wisatanya, hanya dengan melalui skype begitu mudah “memobilisasi” militer loyal dan masyarakat sipil untuk turun menggagalkan upaya kudeta itu.
Rupanya rezim Erdogan mendapat keuntungan dari situasi sosial politik yang terjadi kemarin di negaranya. Kudeta yang gagal telah dengan sendirinya meningkatkan popularitas dan citra rezim Erdogan. Setidak-tidaknya pendapat itu diamini oleh seorang pengamat politik muda Ahmad Zainul Muttaqin. Menurut Muttaqin, bahwa “kudeta kemarin hanyalah “false flag” dari rezimnya, setidaknya itu sudah berhasil karena sejak kejadian kemarin popularitas Erdogan melonjak, permainan “playing victim” yang dilakukannya sukses mendatangkan simpati padanya, simpati dari negara-negara luar berdatangan” (sumber).
Cuma patut disayangkan bila hanya ingin mengembalikan popularitas dan citra rezim semata, seorang Erdogan tega “mengorbankan” rakyatnya yang tak berdosa meregang nyawa. Seperti dilaporkan bahwa akibat kudeta itu telah menewaskan 161 orang tewas, 1.440 orang terluka, dan 2.893 yang terlibat kudeta ditangkap dan ditahan. Lima jenderal dan 27 kolonel diberhentikan, serta puluhan sampai ratusan hakim ditangkap dan ditahan (dari berbagai sumber).
Bahwa politik itu “kotor” adalah sebuah aksioma umum yang dipahami hampir semua orang. Tapi itu bukan pembenar untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, apalagi mengorbankan nyawa rakyat sendiri. Kejadian “kudeta palsu” di Turki tidak boleh menjadi contoh untuk rezim-rezim lainnya yang masih mengedepankan naluri dan menghormati kemanusiaan. Termasuk pula pembelajaran bagi rezim bangsa ini, Indonesia. “Sandiwara” apa pun yang ditunjukkan untuk mengamankan posisi politik dan mempertahankan kekuasaan, harus tetap menempatkan sisi kemanusiaan sebagai prioritas utama dalam membangun sebuah peradaban.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 18 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H