Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kematian Ketua KPU, Legitimasi Rezim Jokowi Dipertanyakan?

12 Juli 2016   10:35 Diperbarui: 12 Juli 2016   17:33 4936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : eN-Te

Jejak dan kiprah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), (alm.) Husni Kamil Manik (HKM) sungguh membuat sebagian komponen dari bangsa ini tidak dapat melupakan dan menyembuhkan rasa sakit. Bahkan sampai sang Ketua KPU sudah berpulang ke haribaan-Nya. Kembali ke asalnya, dari tiada ke ada dan kembali ke tiada.  Menemui pencipta dan mempertanggungjawabkan semua pengkhidmatannya, termasuk pengabdiannya yang tulus untuk negeri besar dan elok permai bernama Indonesia ini.

Tak bisa dipungkiri bahwa kepergian almarhum, Ketua KPU, HKM secara mendadak pasti dan sontak menimbulkan tanya. Banyak pihak yang merasa terkejut dan kaget. Mengingat almarhum semasa hidupnya menurut sebagian koleganya jarang keluar masuk rumah sakit. Bahkan dari penampilan almarhum secara fisik kelihatan sangat sehat dan prima. Maka kepergiannya secara tiba-tiba menimbulkan rasa kaget. Tidak hanya datang dari keluarga dan kolega almarhum, tapi juga dari masyarakat umum. Apalagi usia almarhum, HKM, relatif masih sangat muda, 41 tahun.

***

Dampak dari rasa kaget itu berimbas jauh atas permintaan kepada keluarga agar mau membuka rekam medis almarhum. Dengan memberikan penjelasan secara menyeluruh terkait rekam medis almarhum akan menguak tabir sesungguhnya yang terjadi terhadap almarhum.

Hal itu diakui oleh seorang Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof. Jimly Asshiddiqie. Menurut Prof. Jimly, bahwa meski dia sendiri sudah mendapat penjelasan rekam medis almarhum, tapi demi mengurangi desas-desus maka dia menyarankan supaya keluarga perlu memberikan penjelasan komprehensif atas analisis (rekam) medis kepada publik. Dalam istilah Prof. Jimly, “daripada bikin repot”.

***

Mungkin Prof. Jimly tidak menyadari bahwa dengan frasa atau ungkapan “daripada bikin repot” itu, kemudian menjadi polemik di masyarakat. Terbukti kemudian, segera setelah pernyataan Prof. Jimly itu keluar, langsung disambar oleh kelompok-kelompok, yang selama ini belum bisa tidur nyenyak  karena perasaan kalah yang menyakitkan.

Ibarat mendapat durian runtuh, mereka kemudian mem-blow up berita kematian Ketua KPU dengan berbagai isu sedemikian rupa. Bahkan ada yang sampai mengait-kaitkan kematian Ketua KPU, HKM itu dengan rekapitulasi perhitungan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Terus apa relevansi antara hasil rekap Pilpres 2014 dengan kematian mendadak seorang HKM? Apa pula korelasi antara kematian ketua KPU dengan legitimasi rezim Jokowi? Terus apa sebenarnya makna yang dimaksud Prof. Jimly dengan istilah “daripada bikin repot” itu?

***

Dari laman viva.co.id, Prof. Jimly menyatakan bahwa kepergian almarhum yang sangat mendadak ini mengejutkan banyak pihak sehingga menimbulkan banyak pertanyaan. Dengan memberikan penjelasan secara menyeluruh mengenai rekam medis almarhum akan membuka “rahasia” sebenarnya, apa yang terjadi terhadap almarhum? Bagi Prof. Jimly, penjelasan rekam medis secara menyeluruh oleh keluarga akan menjadi bahan pembelajaran. "Kok begitu mendadak supaya kita bisa belajar" (sumber).

Di satu sisi, permintaan Prof. Jimly merupakan hal yang wajar agar kematian Ketua KPU, HKM tidak menimbulkan spekulasi liar, termasuk dugaan kemungkinan almarhun diracun. Salah satu yang sesumbar menduga Ketua KPU mati karena diracun adalah seorang pentolan politisi Golkar, yang sering memakai sorban khas di kepalanya, sehingga seakan-akan menggambarkan ia seorang yang sangat religius, yakni Ali Muchtar Ngabilin (lihat berita terkait).  Tapi sayangnya, sering berprasangka buruk terhadap pihak atau kelompok yang berseberangan kepentingan dengannya. 

Kita paham bahwa dengan membuka rekam medis akan memberikan gambaran jelas dan tegas bahwa kematian HKM adalah murni akibat medis. Ataukah ada faktor-faktor nonmedis lain yang ikut berperan “melenyapkan” almarhum?

Namun tidak disadari bahwa dengan pernyataan sekaligus permintaan tersebut, malah semakin membuka peluang terjadi spekulasi lebih jauh. Bukan saja spekulasi, tapi juga akan membuka ruang baru bagi kelompok-kelompok yang selama ini merasa tidak sreg dengan kiprah almarhum. Apa itu, melakukan manipulasi tafsir terhadap makna ungkapan Prof. Jimly, “daripada bikin repot” itu.

***

Maka manipulasi itu pun tak terhindarkan. Salah satu manipulasi itu adalah mencoba mengaitkan kematian mendadak Ketua KPU, HKM, dengan rekapitulasi hasil perhitungan suara Pilpres 2014. Lebih jauh, disebutkan bahwa kematian HKM merupakan by design (direncanakan).  

Artinya, almarhum sengaja dihilangkan untuk menutupi “kejahatan” Pilpres 2014. Kematian almarhum HKM diibaratkan seperti kematian alamrhum Munir. Sehingga ada yang berspekulasi bahwa HKM memang “di-Munir-kan” dalam rangka mengamankan sebuah “rahasia”.

Sudah pasti pihak yang berkepentingan dengan kematian Ketua KPU, bila benar ada “rahasia” yang dipegangnya, maka telunjuk itu diarahkan kepada rezim yang sedang berkuasa. Hal itu sudah merupakan aksioma umum (commonsense). Dalam pandangan “kelompok oposisi”, bahwa bila sebuah rezim tidak ingin “belangnya” diketahui publik, satu-satunya cara adalah melenyapkan orang atau kelompok yang memegang “kartu AS” itu. Dan orang itu adalah Ketua KPU, HKM. Bila “rahasia” itu terbongkar, maka hal itu akan berpengaruh terhadap kredibiltas dan tingkat kepercayaan (trust) publik terhadap sebuah pemerintahan.

***

Dan logika ini yang coba disusun dan dibangun “kelompok oposisi” itu. Bagi “kelompok oposis” itu, Pilpres 2014 belum usai. Rekapitulasi hasil Pilpres yang kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (incrah), masih jauh dari kata selesai.

Dalam pandangan kelompok ini, masih banyak benang kusut Pilpres 2014, khususnya mengenai hasil rekapitulasi, harus diuraituntaskan. Bagi kelompok ini, kecurangan Pilpres itu nyata dan niscaya sehingga perlu diselesaikan!

Orang yang paling kompeten dan sangat tahu tentang “rahasia” rekap hasil Pilpres, adalah HKM, sang Ketua KPU. Maka menjadi sebuah keharusan untuk menguak tabir kematian seorang HKM, sehingga dapat menguak lebih jauh “rahasia” Pilpres 2014. Berdasatkan logika tersebut maka dalam pandangan “kelompok oposisi” itu bahwa merupakan hal yang rasional dan sangat relevan bila mengaitkan kematian Ketua KPU dengan hasil Pilpres 2014.

***

Publik dan masyarakat Indonesia pasti menginginkan sebuah Pemerintahan yang legitimate. Pemerintahan yang mempunyai legitimasi kuat di mata publik dalam negeri dan juga publik luar (internasional). Pemerintahan yang sah dan legitimate lahir dari sebuah proses politik yang fairplay, jujur, transparan, dan jauh dari unsur manipulasi dan kecurangan. Dengan begitu rezim yang terbentuk merupakan rezim yang kredibel dan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan.

Sejatinya, ketika sebuah proses politik telah dinyatakan selesai, maka semua hal yang berkaitan dengan tetek bengek proses politik itu, juga seharusnya  selesai pula. Bukan malah sebaliknya, terus menerus meratapi kegagalan masa lalu dengan terus menerus bersikap “melankolis”. Segala hal yang hampir tidak memiliki hubungan sebab akibat, dicoba rasionalisasi.

Sayangnya proses untuk merasionalisasi itu hanya akan melahirkan spekulasi baru. Tidak akan menjelaskan apapun. Malah terkesan mencoba menabrak sunnatullah dan hanya mencerminkan sifat kekanak-kanakan.

Hal itu malah akan menjadi sesuatu yang tanpa ujung bila harus terus menerus berkutat pada sesuatu yang sudah dianggap selesai. Akan menjadi tidak rasional dan tidak relevan bila harus mengaitkan kematian seseorang dengan legitimasi sebuah rezim. Hanya karena seseorang yang meninggal itu, meski bersifat “mendadak”, memiliki peran yang sangat penting dan krusial dalam prosesi kontestasi suksesi sebuah rezim.

***

Mengapa pula kepergian seseorang menemui Khaliknya tidak diiringi dengan doa? Biar yang pergi juga merasa tenang sehingga mampu menjaga “marwahnya”, bahwa selama hidup dan pengabdiannya telah melakukan yang terbaik. Tidak lantas mempersoalkan hal-hal yang meski terkait dengan kiprah selama hidup dan pengabdiannya, karena hal itu hanya akan menghambat “perjalanan” mereka.

Setiap agama, pasti menuntun umatnya untuk melakukan hal-hal yang mulia, bersifat kebajikan, meski terhadap orang yang telah berpulang. Minimal dengan mendoakan. Bukan berkasak kusuk ria untuk membuka aib, meski itu benar-benar ada. Karena agama mengajarkan bagi setiap orang (yang masih hidup) untuk sedapat mungkin menutup aib saudaranya, termasuk mereka yang telah meninggal dunia. Jangankan “aib” itu tidak ada, yang benar-benar ada pun, agama melarang untuk menyebarkannya. Apalagi memang aib itu tidak pernah ada!

***

Dengan berlindung di balik moral agama, tidaklah hal itu menjadi pembenar untuk menutupi sebuah kecurangan. Kita juga dituntun dan berkewajiban untuk mengungkapkan kebenaran meski itu berimplikasi tidak ringan terhadap eksistensi kita. Tapi, sekali lagi bila memang hal itu didukung fakta dan bukti otentik yang nyata (faktual) dan benar-benar ada.

Menjadi soal, adalah jika dugaan itu hanya berdasar pada asumsi tanpa dasar dan tanpa fakta. Lebih jauh bila hal itu hanya bersumber dari spekulasi serta halusinasi dan itu hanya bertujuan ingin memanipulasi perasaan (emosi) publik semata. Jika hal ini yang terjadi, pertanyaan kemudian muncul adalah, di manakah nuranimu sebagai orang yang beragama?

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 11  Juli  2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun