Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kematian Ketua KPU, Legitimasi Rezim Jokowi Dipertanyakan?

12 Juli 2016   10:35 Diperbarui: 12 Juli 2016   17:33 4936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang yang paling kompeten dan sangat tahu tentang “rahasia” rekap hasil Pilpres, adalah HKM, sang Ketua KPU. Maka menjadi sebuah keharusan untuk menguak tabir kematian seorang HKM, sehingga dapat menguak lebih jauh “rahasia” Pilpres 2014. Berdasatkan logika tersebut maka dalam pandangan “kelompok oposisi” itu bahwa merupakan hal yang rasional dan sangat relevan bila mengaitkan kematian Ketua KPU dengan hasil Pilpres 2014.

***

Publik dan masyarakat Indonesia pasti menginginkan sebuah Pemerintahan yang legitimate. Pemerintahan yang mempunyai legitimasi kuat di mata publik dalam negeri dan juga publik luar (internasional). Pemerintahan yang sah dan legitimate lahir dari sebuah proses politik yang fairplay, jujur, transparan, dan jauh dari unsur manipulasi dan kecurangan. Dengan begitu rezim yang terbentuk merupakan rezim yang kredibel dan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan.

Sejatinya, ketika sebuah proses politik telah dinyatakan selesai, maka semua hal yang berkaitan dengan tetek bengek proses politik itu, juga seharusnya  selesai pula. Bukan malah sebaliknya, terus menerus meratapi kegagalan masa lalu dengan terus menerus bersikap “melankolis”. Segala hal yang hampir tidak memiliki hubungan sebab akibat, dicoba rasionalisasi.

Sayangnya proses untuk merasionalisasi itu hanya akan melahirkan spekulasi baru. Tidak akan menjelaskan apapun. Malah terkesan mencoba menabrak sunnatullah dan hanya mencerminkan sifat kekanak-kanakan.

Hal itu malah akan menjadi sesuatu yang tanpa ujung bila harus terus menerus berkutat pada sesuatu yang sudah dianggap selesai. Akan menjadi tidak rasional dan tidak relevan bila harus mengaitkan kematian seseorang dengan legitimasi sebuah rezim. Hanya karena seseorang yang meninggal itu, meski bersifat “mendadak”, memiliki peran yang sangat penting dan krusial dalam prosesi kontestasi suksesi sebuah rezim.

***

Mengapa pula kepergian seseorang menemui Khaliknya tidak diiringi dengan doa? Biar yang pergi juga merasa tenang sehingga mampu menjaga “marwahnya”, bahwa selama hidup dan pengabdiannya telah melakukan yang terbaik. Tidak lantas mempersoalkan hal-hal yang meski terkait dengan kiprah selama hidup dan pengabdiannya, karena hal itu hanya akan menghambat “perjalanan” mereka.

Setiap agama, pasti menuntun umatnya untuk melakukan hal-hal yang mulia, bersifat kebajikan, meski terhadap orang yang telah berpulang. Minimal dengan mendoakan. Bukan berkasak kusuk ria untuk membuka aib, meski itu benar-benar ada. Karena agama mengajarkan bagi setiap orang (yang masih hidup) untuk sedapat mungkin menutup aib saudaranya, termasuk mereka yang telah meninggal dunia. Jangankan “aib” itu tidak ada, yang benar-benar ada pun, agama melarang untuk menyebarkannya. Apalagi memang aib itu tidak pernah ada!

***

Dengan berlindung di balik moral agama, tidaklah hal itu menjadi pembenar untuk menutupi sebuah kecurangan. Kita juga dituntun dan berkewajiban untuk mengungkapkan kebenaran meski itu berimplikasi tidak ringan terhadap eksistensi kita. Tapi, sekali lagi bila memang hal itu didukung fakta dan bukti otentik yang nyata (faktual) dan benar-benar ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun