Oleh : eN-Te
Saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI sedang menggalakkan sosialisasi Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti (GPBP). Sosialisasi GPBP itu sedang digalakkan melalui pelaksanaan Training of Trainers (ToT) bagi Tim Pengembang Kurikulum 2013 (Timpeng K-13), yang saat ini sedang dilaksanakan di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) seluruh Indonesia.
Khusus pada LPMP Sulawesi Selatan (Sulsel) pelaksanaan ToT Timpeng K-13 yang dipersiapkan untuk menjadi instruktur Kab/Kota (IK) pada Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Implementasi K-13 bagi guru sasaran di Kab/Kota sudah berlangsung sejak awal Mei 2016. Pada ToT Timpeng K-13 para peserta diberikan pemahaman tentang K-13 yang meliputi dua bagian materi, yaitu Materi Umum dan Materi Pokok. Sosialisasi GPBP merupakan salah satu materi yang dibekali kepada calaon IK yang masuk dalam kategori Materi Pokok.
Latar Belakang GPBP
Sosialisasi GPBP (akronim ini hampir sama dan sangat familiar dulu dengan akronim GBPP (Garis-Garis Besar Program Pengajaran) di sekolah memiliki dasar hukum melalui Peraturan Menteri (Permen). Permen yang mengatur dan sebagai dasar hukum pelaksanaan sosialisasi GPBP di sekolah, adalah Permen Pendidikan dan Kebudayaan (Permen-Dikbud), nomor 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti (PBP)
Dalam Permen-Dikbud 23/2015 tentang PBP disebutkan tiga konsiderans utama sebagai dasar pertimbangan diterbitkannya peraturan tersebut. Berdasarkan konsiderans tersebut diketahui latar belakang mengapa perlu dilakukan GPBP di sekolah.
Dari konsideran Permen tersebut diketahui latar belakang perlu dan urgensi pelaksanaan GPBP. Latar belakang pelaksanaan sosialisasi GPBP itu, antara lain diisebutkan bahwa 1) setiap sekolah seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan inspiratif bagi siswa, guru, dan/atau tenaga kependidikan; 2) pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah adalah cerminan dari nilai-nilai Pancasila dan seharusnya menjadi bagian proses belajar dan budaya setiap sekolah; dan 3) pendidikan karakter seharusnya menjadi gerakan bersama yang melibatkan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan/atau orangtua;
Berdasarkan latar belakang tersebut disadari bahwa PBP merupakan hal yang mendesak dan perlu segera dilakukan. Gerakan ini harus melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dan menjadi komitmen bersama, dan secara simultan bergerak, jika kita tidak ingin kehilangan momentum. Sebab, jika masalah budi pekerti terabaikan akan berpengaruh sangat jauh dalam membangun karakter bangsa secara keseluruhan.
Peran Institusi Pendidikan
Apa itu penumbuhan budi pekerti (PBP) itu? Dalam Permen-Dikbud nomor 23/2015, dijelaskan bahwa PBP adalah kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah yang dimulai sejak dari hari pertama sekolah, masa orientasi peserta didik baru untuk jenjang sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, sampai dengan kelulusan sekolah.
Gerakan ini melibatkan hampir semua pemangku kepentingan, tapi diyakini bahwa institusi yang paling mungkin menerapkan nilai-nilai budi pekerti itu adalah lembaga sekolah. Meski disadari bahwa masih ada pranata sosial lain, seperti keluarga, yang harus turut dipertimbangkan untuk juga menjadi basis sosialisasi dan menggalakkan penumbuhan budi pekerti (PBP) sejak dini.
Akan tetapi, fenomena sosial saat ini menggambarkan sebuah fakta yang sangat mencengangkan tentang peran institusi pendidikan, khususnya sekolah yang sudah sangat jauh sebagai basis utama setelah lembaga keluarga untuk membentuk karakter dan mempersiapkan anak bangsa yang berbudi pekerti luhur. Dengan semua potret buram ekspresi sosial anarkhis yang dilakonkan oleh para anak baru gede (ABG), yang rata-rata masih usia remaja tanggung, membuat hati kita menjadi miris dan bertanya-tanya.
Ada apa dengan pendidikan kita? Hendak dibawa ke mana pula pendidikan kita ini? Apakah pendidikan kita telah abai dengan nilai-nilai luhur membentuk karakter dan budi pekerti sebagai warisan agung nenek moyang telah kehilangan “tuahya”? Ke mana pula pendidikan budi pekerti selama ini? Quovadis Budi Pekerti?
Hal itu pula pernah disinyalir oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan. Menurut Anies bahwa pendidikan kita telah lama kehilangan “nyawanya”.
Berdasarkan kondisi tersebut maka Mendikbud merasa perlu menerbitkan sebuah Permen untuk menggalakkan PBP, dan harus segera dilaksanakan melalui sebuah gerakan nasional. Dengan berakhirnya proses “penyempurnaan” K-13, yang merupakan karya Mendikbud era Pemerintahan sebelumnya, yang harus segera diimplementasikan di sekolah-sekolah, maka GPBP pun disosialisasikan dan segera pula dilaksanakan.
Efektifkah GPBP ini?
Pertanyaan kemudian muncul adalah apakah cukup efektif pelaksanaan GPBP ini di sekolah? Mengapa pula masalah budi pekerti ini harus diajarkan, ditanamkan, dan digalakkan secara formal di sekolah?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak hanya berada dalam senyap, tapi sempat terungkap ketika masalah GPBP ini masuk menjadi salah satu materi umum dalam Program ToT Timteng K-13. Dan pertanyaan terkesan ragu terhadap urgensi dan efektivitas pelaksanaan GPBP itu bukan tanpa alasan. Beberapa peserta pelatihan sempat mengungkapkan “uneg-unegnya” mempersoalkan urgensi dan efektivitas GPBP itu.
Meski GPBP ini memiliki tujuan yang sangat bagus, tapi hal itu tidak dapat mengurangi sikap skeptis peserta pelatihan yang merupakan guru-guru di sekolah. Di mana di pundak mereka diharapkan program pemantapan mengenai mental anak didik ini dibentuk.
Skeptisisme terhadap GPBP
Keraguan ini sempat penulis rekam ketika beberapa peserta pelatihan (calon IK) mengajukan pertanyaan sekaligus memberikan pernytaaan ketika materi tentang GPBB ini dipaparkan oleh narasumber. Dalam pandangan mereka, bahwa GPBP ini tidak perlu diformalkan dan masuk sebagai bagian integral dalam Kurikulum Pendidikan (KP). Karena bagi mereka, dalam KP sudah sangat banyak mata pelajaran (mapel) yang sungguh sangat memberatkan dan membebani peserta didik. Apalagi bila dilihat pada akhir program pendidikan, hanya beberapa mapel saja yang diujikan dalam ujian akhir nasional (UAN). Terus untuk apa dengan mapel-mapel yang lain, yang hanya menjejali psiko-mental peserta didik? Maka menjadi hal yang tidak perlu diherankan, bila ada oarngtua yang lebih suka anaknya mengikuti home schooling.
Tambahan pula, menurut para peserta itu (rupanya sudah pernah “melancong” ke luar negeri), sehingga mereka mempunyai referensi dan pengalaman sebagai pembanding, bahwa hanya satu-satunya di dunia ini, masalah budi pekerti masuk dalam KP yang harus diajarkan secara formal di sekolah. Dan itu, hanya di Indonesia!
Sementara di negara-negara yang pernah “dikunjungi”, menurut peserta itu masalah budi pekerti tidak diajarkan secara formal. Bagi mereka, budi pekerti adalah bagian yang inheren dalam pembentukan karakter anak di rumah (lingkungan keluarga). Jika penamaman nilai-nilai budi pekerti sudah berlangsung secara baik di lingkungan keluarga, hal itu akan terus melekat dan menjadi bagian yang integral sekaligus menyatu (inheren) dalam diri anak. Maka ketika anak beranjak keluar dalam lingkungan dan kehidupan sosial yang lebih luas, si anak dapat beradaptasi dan berinteraksi dengan menunjukkan perilaku-perilaku baik yang mencerminkan proses internalisasi nilai-nilai budi pekerti yang ditanamkan sudah berjalan baiidengan baik di rumah.
Negara Rujukan
Beberapa negara menjadi rujukan pembanding ketika mereka mempertanyakan efektivitas sosialisasi GPBP di sekolah ini. Antara lain, negeri sakura, Jepang. Bagi mereka, negeri matahari terbit ini, merupakan contoh paling baik dalam hal pembentukan budi pekerti dan karakter anak, hingga terbawa sampai tua. Karakter baik itu tercermin hingga masuk pada ranah sosial yang lebih luas, tidak hanya di bidang pendidikan.
Ketika misalnya ada politisi atau pejabat pemerintahan yang tersandung masalah, meski hanya baru indikasi, bahkan masih menjadi rumor, dan nama mereka disebut dengan serta merta mereka meletakkan jabatan dan mengundurkan diri. Hal yang sangat langka kita temukan di Indonesia. Bagi warga Jepang, budaya harakiri adalah sebuah simbol “kemegahan” dalam mempertahankan prinsip kebenaran dan integritas. Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai. Warga Jepang tidak ingin hidup bercermin dan menjadi bangkai pula! Kalau kita, orang Indonesia, How do? Mereka yang sudah divonis masih bisa dilantik menjadi pejabat, di dalam penjara pula. Benar-benar negeri aneh bin ajaib!
Testimoni Mengenai PBP di Negeri Sakura
Seorang teman, yang bertindak sebagai narasumber untuk menyampaikan materi GPBP itu, yang juga pernah berkunjung ke Jepang menceritakan pengalamannya ketika menanggapi pernyataan peserta (mohon maaf ya bro, kalau saya salah kutip dan salah pula menafsirkan!). Teman tersebut bercerita bahwa ketika mereka melakukan kunjungan ke sekolah, dan melakukan “sidak” ke kelas, mereka menemukan suasana belajar dan kelas berlangsung secara dinamis dan kondusif. Apa yang direncanakan guru, berupa Rencana Pembelajaran (RP) hari itu, tuntas tas disajikan pada hari itu pula. RP tersebut pun hanya terdiri dari satu lembar halaman kertas, tidak lebih. Bandingkan di Indonesia, guru dibebankan untuk membuat RP berlembar-lembar, itu pun tidak tuntas diajarkan hari itu.
Berkaca pada pengalaman di Indonesia, bila ada “sidak” ke kelas, di mana kelas yang akan dikunjungi sudah ditetapkan sebelumnya, dan dengan begitu hampir pasti sudah disiapkan segala tetek bengeknya, sehingga terkesan baik, maka teman itu meminta untuk melihat kelas lainnya, untuk membuktikan bahwa kelas yang dikunjungi itu tidak “dipersiapkan” sebelumnya. Dan kembali teman tersebut membuktikan suasana yang sama ada pada kelas yang “disidak” itu. Tidak ada kesan manipulasi dan rekayasa. Impresiflah menurut teman itu!
Hal lain yang dapat dipetik menurut “kisah” teman itu adalah model pemberian tanggung jawab kepada siswa, serta pendidikan kemandirian yang ditanamkan sejak dini. Katanya, di Jepang anak-anak TK hanya diantar dan dijemput pada hari pertama saja masuk sekolah, selanjutnya mereka harus berangkat dan pulang sendiri. Untuk memudahkan anak-anak tersebut, maka kepada salah seorang anak diberikan tanggung jawab untuk mengkoordinir teman-temannya. Dan hal itu dilakukan berdasarkan klaster tempat tinggal mereka. Semua hal yang berkaitan dengan kelancaran pembelajaran di sekolah menjadi tanggung jawab “koordinator” itu. Termasuk masalah kehadiran, pergi dan pulang sekolah.
Mengambil pelajaran dari “kisah-kisah” berdasarkan pengalaman nyata itu, bolehkah kita bertanya, apakah hal itu sangat mungkin dapat diterapkan di sekolah di Indonesia? Jawabnya, ya sangat mungkin! Why not? Soal itu, hanya masalah political will and good will semua pemangku pendidikan. Mau gak?
Menjawab Keraguan
Semua pemangku pendidikan hendaknya mempunyai konsern yang sama dalam “memelihara” asa mempersiapkan generasi pewaris negeri dengan budi pekerti yang baik. Wajar ada keraguan, karena kita cenderung sudah terkesima dengan model pendidikan negara lain, tapi hal itu tidak harus membuat kita pesimis dan patah semangat.
Setiap negara mempunyai ciri khas dan keunikan sendiri dalam mengembangkan pendidikannya. Tak terkecuali Indonesia. Dalam interaksi antarnegara, merupakan hal yang lumrah bila antarnegara saling berbagi dan mengambil manfaat kelebihan negara lain sebagai model untuk mengembangkan pendidikannya.
Oleh karena itu, Kemendikbud sudah seharusnya menyiapkan semua pranata yang memungkinkan PBP ini berjalan lancar dan berlangsung secara alamiah (natural). Hindari hal-hal yang bersifat pemaksaan (top down). Bila tidak, kekhawatiran akan “tidak membuminya” gerakan ini bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Maka kita seperti mengulangi cerita suram tentang perubahan KP yang tak pernah selesai. Kita terus menerus berputar pada adagium, ganti rezim, ganti Kurikulum Pendidikan (KP)”. Yang menjadi korban adalah anak bangsa sendiri yang akan menjadi pewaris negeri besar nan indah elok ini.
Segera saya harus mengatakan bahwa saya percaya pada semangat dan niat baik untuk memperbaiki pendidikan kita. Apalagi bila melihat tujuan sosialisasi GPBP di sekolah ini. Konsep GPBP juga sangat mungkin dapat memberi ruang bagi peserta untuk dapat mengembangkan diri dengan sebaik-baiknya. Sehingga para peserta didik dapat tumbuh sesuai potensinya secara optimal dengan bekal budi pekerti yang baik dan luhur. Jika sudah demikian, kita boleh berharap nasib bangsa ini akan terus berlanjut di tangan generasi negeri yang bertanggung jawab dan punya karakter.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 26 Mei 2016
Artikel Terkait Lainnya :
http://www.kompasiana.com/emnoer_dm70/quovadis-pendidikan-budi-pekerti_55fcde561693731e0565e41e
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H