Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah, Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti?

26 Mei 2016   11:36 Diperbarui: 26 Mei 2016   11:51 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tambahan pula, menurut para peserta itu (rupanya sudah pernah “melancong” ke luar negeri), sehingga mereka mempunyai referensi dan pengalaman sebagai pembanding, bahwa hanya satu-satunya di dunia ini, masalah budi pekerti masuk dalam KP yang harus diajarkan secara formal di sekolah. Dan itu, hanya di Indonesia!

Sementara di negara-negara yang pernah “dikunjungi”, menurut peserta itu masalah budi pekerti tidak diajarkan secara formal. Bagi mereka, budi pekerti adalah bagian yang inheren dalam pembentukan karakter anak di rumah (lingkungan keluarga). Jika penamaman nilai-nilai budi pekerti  sudah berlangsung secara baik di lingkungan keluarga, hal itu akan terus melekat dan menjadi bagian yang integral sekaligus menyatu (inheren) dalam diri anak. Maka ketika anak beranjak keluar dalam lingkungan dan kehidupan sosial yang lebih luas, si anak dapat beradaptasi dan berinteraksi dengan menunjukkan perilaku-perilaku baik yang mencerminkan proses internalisasi nilai-nilai budi pekerti yang ditanamkan sudah berjalan baiidengan baik di rumah.

Negara Rujukan

Beberapa negara menjadi rujukan pembanding ketika mereka mempertanyakan efektivitas sosialisasi GPBP di sekolah ini. Antara lain, negeri sakura, Jepang. Bagi mereka, negeri matahari terbit ini, merupakan contoh paling baik dalam hal pembentukan budi pekerti dan karakter anak, hingga terbawa sampai tua. Karakter baik itu tercermin hingga masuk pada ranah sosial yang lebih luas, tidak hanya di bidang pendidikan.

Ketika misalnya ada politisi atau pejabat pemerintahan yang tersandung masalah, meski hanya baru indikasi, bahkan masih menjadi rumor, dan nama mereka disebut dengan serta merta mereka meletakkan jabatan dan mengundurkan diri. Hal yang sangat langka kita temukan di Indonesia. Bagi warga Jepang, budaya harakiri adalah sebuah simbol “kemegahan” dalam mempertahankan prinsip kebenaran dan integritas. Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai. Warga Jepang tidak ingin hidup bercermin dan menjadi bangkai pula! Kalau kita, orang Indonesia, How do? Mereka yang sudah divonis masih bisa dilantik menjadi pejabat, di dalam penjara pula. Benar-benar negeri aneh bin ajaib!

Testimoni Mengenai PBP di Negeri Sakura

Seorang teman, yang bertindak sebagai narasumber untuk menyampaikan materi GPBP itu, yang juga pernah berkunjung ke Jepang menceritakan pengalamannya ketika menanggapi pernyataan peserta (mohon maaf ya bro, kalau saya salah kutip dan salah pula menafsirkan!). Teman tersebut bercerita bahwa ketika mereka melakukan kunjungan ke sekolah, dan melakukan “sidak” ke kelas, mereka menemukan suasana belajar dan kelas berlangsung secara dinamis dan kondusif. Apa yang direncanakan guru, berupa Rencana Pembelajaran (RP) hari itu, tuntas tas disajikan pada hari itu pula. RP tersebut pun hanya terdiri dari satu lembar halaman kertas, tidak lebih. Bandingkan di Indonesia, guru dibebankan untuk membuat RP berlembar-lembar, itu pun tidak tuntas diajarkan hari itu.

Berkaca pada pengalaman di Indonesia, bila ada “sidak” ke kelas, di mana kelas yang akan dikunjungi sudah ditetapkan sebelumnya, dan dengan begitu hampir pasti sudah disiapkan segala tetek bengeknya, sehingga terkesan baik, maka teman itu meminta untuk melihat kelas lainnya, untuk membuktikan bahwa kelas yang dikunjungi itu tidak “dipersiapkan” sebelumnya. Dan kembali teman tersebut membuktikan suasana yang sama ada pada kelas yang “disidak” itu. Tidak ada kesan manipulasi dan rekayasa. Impresiflah menurut teman itu!

Hal lain yang dapat dipetik menurut “kisah” teman itu adalah model pemberian tanggung jawab kepada siswa, serta pendidikan kemandirian yang ditanamkan sejak dini. Katanya, di Jepang anak-anak TK hanya diantar dan dijemput pada hari pertama saja masuk sekolah, selanjutnya mereka harus berangkat dan pulang sendiri. Untuk memudahkan anak-anak tersebut, maka kepada salah seorang anak diberikan tanggung jawab untuk mengkoordinir teman-temannya. Dan hal itu dilakukan berdasarkan klaster tempat tinggal mereka. Semua hal yang berkaitan dengan kelancaran pembelajaran di sekolah menjadi tanggung jawab “koordinator” itu. Termasuk masalah kehadiran, pergi dan pulang sekolah.

Mengambil pelajaran dari “kisah-kisah” berdasarkan pengalaman nyata itu, bolehkah kita bertanya, apakah hal itu sangat mungkin dapat diterapkan di sekolah di Indonesia? Jawabnya, ya sangat mungkin! Why not? Soal itu, hanya masalah political will and good will semua pemangku pendidikan. Mau gak?

Menjawab Keraguan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun